
TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Tahun 1883, Fredrick Niesztche memperkenalkan konsep ideal manusia yang melampaui definisi manusia; dia menyebutnya Huberman. Lema Jerman ini dialihbahasakan ke dalam Bahasa Inggris dengan beberapa lema yang berbeda. Ada yang menggunakan kata superman, ada juga yang memilih menggunakan kata overman.
Dengan menggunakan personifikasi sosok Zarathustra, salah satu filosof besar abad ke-19 ini menawarkan konsepsi ideal mengenai manusia. Bukan sekadar manusia kebanyakan yang menurutnya secara fisis tidak berbeda dengan primata. Manusia super yang menurutnya akan sejalan dengan tujuan hidup di bumi; shall be the meaning of the earth (Nietzsche, 2006).
Advertisement
Tulisan ini tidak hendak mendiskusikan lebih jauh gagasan tersebut. Apalagi menuju pada implikasi yang paling kontroversial dari logika berfikir manusia super yang bisa jadi dianggap menyerang pondasi teologis manusia. Kita cukupkan sampai di sini, meskipun tulisan ini tetap akan membicarakan manusia super
Pada ranah yang lebih esoteris, konsepsi manusia super juga diperkenalkan oleh salah satu pemikir agung dalam Islam, Imam Al-Ghazali. Figur yang menyandang beragam keahlian ini memperkenalkan istilah khawash dan awam saat menjelaskan gradasi orang yang melaksanakan puasa. Dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumiddin, Al Ghazali membagi tiga tingkatan puasa, puasa orang biasa (shaumul awam), puasa orang super (shaumul khawash) dan puasa supernya orang super (khawash al-khawash). Yang ketiga ini given; hanya status yang diberikan kepada seorang nabi
Puasa awam berhenti pada sebatas pelaksanaan rutinitas penghambaan. Sebatas lapar dan haus serta tidak berhubungan seksual di siang Ramadhan. Yang harus kita gapai adalah puasa kedua, puasa orang super. Jasmani dan Rohani berpuasa. Seluruh anggota tubuh juga ikut berpuasa
Menahan diri dari Tindakan yang melukai integritas adalah puasa super. Menghindari kolusi, kecurangan, kebencian, permusuhan dan segala atribut negatif lain adalah substansi dari puasa manusia super. Potret idealitas Muslim yang mampu membangun keseimbangan lahir-batin serta kecakapan individual-sosial adalah manusia super yang salah satunya muncul dari laku puasa super
Jika dikaitkan dengan gagasan Niesztche di atas, maka manusia super yang sesuai dengan kebermaknaan manusia di bumi bisa tercapai sebetulnya dengan menjalankan puasa super. Sebab, puasa super meletakkan agama dan ketuhanan dalam pengertiannya yang komprehensif. Agama yang misalnya, menurut Hasan Hanafi (2016), senantiasa berpihak kepada mereka yang membutuhkan keadilan. Tak pelak, puasa super mengandung komponen revolusioner karena berani berdiri Bersama mereka yang mendapatkan ketidakadilan, baik karena system politik maupun struktur kebudayaan
Demikian juga, puasa super mengandaikan pembelaan penuh kepada kelompok lemah ataupun dilemahkan (al-dhu’afa wa al-mustadh’afin). Mereka yang kelaparan karena kondisi fisik maupun hambatan sistem politik-budaya harus mendapatkan pembelaan. Pengabaian kepada kelompok ini bahkan Nabi Muhammad letakkan sebagai salah satu indicator cacatnya keimanan. Kata Nabi Muhammad “Tidaklah beriman seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan”.
Ramadhan sebagai Starting Point
Kini Ramadhan segera berlalu. Puasa sebagai sebuah ritual juga ikut pergi. Namun, manusia super diawali darinya.
Ramadhan bukan puncak penghambaan diri. Tetapi garis permulaan untuk memulai superioritas diri. Superioritas yang salah satunya diukur dari bagaimana agama direpresentasikan dalam koherensi keyakinan, sikap, pikiran dan tindakan.
Tugas manusia super adalah memastikan bahwa agama dengan segala atribut di dalamnya tidak menampakkan diri dalam keasingan. Agama menjadi asing karena laku para pemeluknya yang menampilkan agama dalam citra yang justru jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Agama yang justru tampak tidak berpihak kepada kultivasi lingkungan dunia. Padahal, visi utama kemanusiaan adalah menjadi khalifah di bumi
Dulu Niesztche meneriakkan kematian tuhan. Kini, bukan tidak mungkin teriakan serupa hadir, misalnya, dalam bentuk pengabaian terhadap agama. Terutama ketika agama semakin terasing dari isu isu faktual kemanusiaan. Tugas kita adalah mengembalikan agama kepada kemanusiaan, dan Ramadhan adalah titik tolak (starting point)
Idul Fitri bukan puncak berlalunya perjuangan puasa Ramadhan, tetapi awal untuk meneguhkan keberlanjutannya. Jejak puasa Ramadhan harus terus hidup dalam aktivitas keberagamaan yang menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan. Di setelah Ramadhan, superioritas manusia super justru harus terus menyala dengan terus menampakkan cara beragama yang berpihak pada mereka yang butuh pembelaan.
*) oleh: Dodik Harnadi, Pegiat Kajian Kitab Ihya Ulumiddin PCNU Bondowoso
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |