
TIMESINDONESIA, NUSA TENGGARA BARAT – Teringat dahulu, saya pernah membuat semacam quote tentang optimisme dan pesimisme. Saat itu saya mengatakan: "Lebih menyenangi pesimisme progresif tinimbang optimisme yang latah dan gamang". Artinya tetap saja memantik optimisme. Sebelum optimisme yang sesungguhnya datang, bolehlah kita berkutat sejenak pada perasaan pesimis tetapi pesimisme yang progresif. Untuk berjeda sejenak, merancang bangun perspektif kepentingan komunal, menuju kegemilangan.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, Indonesia telah mengalami fase-fase gelombang demokrasi prosedural krusial: Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pemilu yang memilih berbagai jenjang kepesertaan partai politik, perseorangan, kepemimpinan nasional dan lokal. Pemilu yang menentukan arah kebijakan bernegara dan berdaerah, sebagai bangsa yang besar dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Advertisement
Melalui pemilu, warga pemilih diberikan hak memilih sesuai kehendak dan pilihan bebasnya. Hingga diturunkannya artikel opini ini, pemilu legislatif dan pemilu presiden telah terlaksana dengan relatif baik dan lancar, dengan gugusan bangsa yang besar, topografi kepulauan dan lautan luas. Indonesia telah ke-13 kalinya menyelenggarakan pemilu, tak mudah menyelenggarakannya, terlewati dengan baik dan lancar, kendati senantiasa ada perbaikan dan evaluasi menyeluruh dari waktu ke waktu.
Ibarat hujan menyejuki tanah tandus, petrikornya mengaromai optimisme publik, untuk bergegas dari ketertinggalan menuju kemelesatan. Dari hiruk pikuk gemuruh menuju Indonesia yang maju, tentram dan damai. Hal itulah yang tampaknya menjadi nukil gambaran, betapa kita terkadang sulit membayangkan kebersatuan dengan ragam perbedaan yang multipolar, tetapi bisa dan nyata. Dari sisi religiusitas, etnik, bahasa, tradisi, kelas sosial, kepentingan politik dan sebagainya. Optimisme pemajuan Indonesia Raya.
Bila ditilik dari keadaan yang menggejala dan potensi solusinya yang lebih besar, maka kendala-kendala yang mesti digegas diantaranya sebagai berikut: Pertama, rekonsiliasi antar komponen bangsa untuk kemajuan komunal. Penyatupaduan segala warna kepentingan, untuk merajut persamaan dan memaklumkan perbedaan. Mengutamakan rajutan persamaan dan menghargai adanya perbedaan yang ada di masyarakat sebagai khazanah rahmat dari Tuhan. Semacam permakluman kita berhamba yang ditugaskan ke bumi untuk saling mengenal dan berinteraksi sosial.
Kedua, oikonomia utang yang menggunung untuk dientas gradual. Dimana-mana utang kerap menjadi penghambat dari lajunya suatu agenda pemajuan negara. Ketika utang telah bisa dientas, maka muncul optimisme otomatis dari negara menyusun roadmap pemajuan, menyongsong Indonesia Emas 2045. Sekaligus meretas asumsi "kritik pesimisme" sebagai Indonesia Cemas.
Utang negara merupakan utang kerakyatan, sebagaimana uang negara yang diidentikkan pula dengan uang rakyat. Gradual utang yang bisa rescheduling untuk dientas, dapat memberikan spirit optimisme, seiring pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Indonesia laik diperhitungkan sejajar dengan negara-negara berkembang, bahkan negara maju nantinya.
Ketiga, penyegaran infrastruktur Ibu Kota Negara (IKN) dari perlunya intervensi kepedulian lingkungan hidup dan lapis-lapis ekologik serta keberpihakan secara manusiawi terhadap masalah yang berkaitan dengan pertanahan milik privat rakyat serta areal pertanahan publik. Sebagaimana regulasi terkini, IKN telah menjadi produk perundang-undangan. Adapun dalam penerapannya, diharapkan dapat memberikan stimulan kelegaan bagi semua pihak. IKN menjadi semacam momentum monumental sejarah baru yang diukir sesuai kehendak zaman dan arah kebijakan nasional.
Keempat, tumbuh kembang sendi-sendi berdemokrasi. Kesinambungan demokrasi dibutuhkan sebagai penopang aktivasi dari piranti-piranti yang secara periodikal dilakukan penyegaran melalui jalan pemilu. Hal demikian tentu indah, ketika fungsi trias politika optimal, civil society mengalami supremasi, pers independen dan bertanggung jawab. Pun demikian adanya keseimbangan serta kesinambungan untuk membangun dari segenap potensi sumber daya manusia Indonesia dengan kekuatan sumber daya alam yang gemah ripah lohjinawi toto tentrem kertoraharjo. Pada masa mendatang, disinyalir sendi-sendi demokrasi bertautan erat dengan perkembangan haluan berbangsa bernegara. Kian kuatnya sistem berdemokrasi berdampak bagi kokohnya negara. Seiring arus deras globalisasi yang mengarah pada optimasi peran-peran multikorporasi. yang menopang pelaksanaan good corporate governance.
Akhirnya, prospektus tak terhenti pada untaian prospektus belaka, tetapi menuntut kekomunalan yang menggerakkan pendulum demokrasi ke arah yang lebih menjanjikan. Lebih baik lagi dari periode ke periode. Tiap periodesasi kepemimpinan nasional, telah memberikan warisan luhur bagi terkereknya pendulum demokrasi. Lebih berorientasi pada mercusuarnya Indonesia yang berkemajuan.
Optimisme pemerintahan, menuntun optimisme publik sebagai bentangan jalan baru yang progresif dan berkeadilan. Kendati bukan tanpa rintangan, tetapi bukan pula tidak bisa. Rajutan pertalian antarkomponen bangsa merupakan urgensi dari kokohnya bernegara, selain sensitifitas kerakyatan serta kompetisi sehat peran-peran di kancah global kenegaraan. Kepemimpinan nasional 2024-2029 memulai, sekaligus meneruskannya. Tonggak baru optimisme Indonesia berkemajuan.
***
*) Oleh : Mujaddid Muhas, M.A., ASN Diskominfotik Provinsi NTB
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |