
TIMESINDONESIA, PADANG – Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan oleh Presiden Jokowi pada Rabu (28/2) lalu. Berbekal Keppres Nomor 13/TNI/2014, Capres nomor urut 02 yang berpasangan dengan putera sulung Presiden Jokowi itu dianggap berjasa bagi kemajuan TNI serta berbakti kepada bangsa dan negara.
Empat bintang di bahunya adalah anomali atas rekam jejak Prabowo yang dipecat dari dinas militer karena melakukan pelanggaran berat, sementara politik kekuasaan kemudian menjadi alat penyucian dosa bagi Prabowo atas kasus pelanggaran HAM yang tak pernah diadili.
Advertisement
Anomali
Tarikh 20 November 1998 barangkali selalu diingat Prabowo dalam karir militernya. Pada tanggal itu, Presiden Habibie menetapkan Keppres Nomor 62/ABRI/1998 tentang pemecatan Prabowo Subianto dari dinas keprajuritan ABRI. Keppres tersebut memang menyatakan bahwa Letjen Prabowo Subianto diberhentikan dengan hormat dan berhak atas hak pensiun sebagai perwira tinggi, namun itu tidak menjernihkan persoalan tentang betapa penganugerahan pangkat Jenderal Kehormatan merupakan sebuah anomali atas Prabowo Subianto.
Jamak diketahui bahwa Keppres tersebut bermula dari Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP yang dibentuk oleh Menhan/Pangab, Wiranto, atas dugaan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Prabowo. Dewan yang dipimpin oleh Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo itu tersusun dari Letjen Djamari Chaniago sebagai Sekretaris, dan 5 orang Letjen lainnya sebagai anggota, dua di antaranya adalah SBY dan Agum Gumelar.
Melalui tiga kali sidang, DKP menilai Prabowo terbukti melakukan sederet pelanggaran yang beberapa di antaranya merupakan pelanggaran berat, seperti kesalahan analisa tugas, melaksanakan operasi yang bukan wewenangnya, indisipliner dan pengabaian hierarki, penangkapan dan penahanan aktivis, termasuk tindak pidana militer. Atas berbagai pertimbangan yang ditemukan dalam sidang, Keputusan DKP bertanggal 21 Agustus 1998 itu merekomendasikan pemecatan Prabowo dari dinas keprajuritan. Inilah akar Keppres pemecatan Prabowo.
Bahkan beberapa bulan sebelum dipecat, pada hari-hari awal lengsernya Soeharto, ketika kerusuhan dan penjarahan merebak di banyak tempat, Prabowo justru bermanuver terhadap keamanan keluarga Presiden Habibie yang membuatnya berang. Di masa kritis itu, Prabowo menggerakkan pasukan Kostrad dari luar dan dalam Jakarta, di mana sebagian pasukan terkonsentrasi di kawasan Patra Kuningan, kediaman pribadi Habibie. Celakanya, pergerakan pasukan itu dilakukan tanpa sepengetahuan serta izin Panglima ABRI, dan mengakibat pasukan Kostrad dan Paspampres yang berjaga di Patra Kuningan saling berhadapan.
Tindakan inilah yang menyulut kemarahan Habibie dan memerintahkan Wiranto untuk mengganti Pangkostrad sebelum matahari terbenam di Jakarta keesokan harinya, tulis Habibie dalam Detik-detik yang Menentukan (2006).
Di sinilah anomali terlihat jelas. Dengan logika apa Prabowo yang dipecat karena pelanggaran berat bisa dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan? Jikalau bukan soal tendensi politik, lantas jasa sebesar apa yang telah dilakukannya?
Di sisi lain, dalih tidak adanya putusan pengadilan yang menyatakan Prabowo harus bertanggung jawab secara hukum atas hilangnya beberapa aktivis tidak pula cukup untuk menjadi dalil bahwa ia tidak bersalah.
Penyucian Dosa
Sekalipun Prabowo belum pernah dan tampaknya tidak akan pernah diadili atas kasus kejahatan HAM berat, secara bersamaan ia juga tidak dapat dikatakan tak bersalah karena Prabowo tidak pernah diadili di pengadilan. Meski bukan pengadilan militer, setidaknya Keputusan DKP merupakan setengah pembuktian atas kejahatan yang dilakukan Prabowo. Namun Prabowo terus berdalih, dan politik adalah alat penyucian bagi sang Jenderal.
Dalam empat edisi pilpres yang diikutinya, Prabowo selalu diterpa isu yang sama; pelaku pelanggaran HAM. Sialnya, dalam politik berlaku kredo klasik, bahwa tidak ada kawan abadi sebagaimana tidak ada musuh abadi, keberpihakan atau berseberangnya posisi politik disandarkan pada kalkulasi untung-rugi.
Pada pilpres 2009 misalnya, Prabowo yang berpasangan dengan Megawati dibela mati-matian oleh PDI-P atas isu kejahatan HAM yang dilakukannya. Selang 5 tahun kemudian pada pilpres 2014, PDI-P yang mengingkari Perjanjian Batu Tulis dan memasangkan Jokowi-JK berbalik badan dengan menyerang Prabowo atas isu yang pernah dibelanya, hal sama kembali terjadi pada pilpres 2019. Partai-partai yang berpindah koalisi sepanjang tahun turut latah dalam pola politik ini. Lima tahun sebelumnya mencerca, lima tahun setelahnya membela, begitupun sebaliknya.
Kini keadaan kembali berbeda. Orang-orang yang pernah berseberangan secara politik, bahkan secara moral dengannya, berhasil dihimpun oleh Jokowi untuk membangun kekuatan pemenangan. Sebutlah SBY, Agum Gumelar, dan Wiranto yang ada di balik Keputusan DKP, hingga Budiman Sudjatmiko yang dulu beroposisi dengan Orde Baru. Dosa Prabowo Subianto disucikan melalui politik.
***
*) Oleh : Ilhamdi Putra, Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Manajer Riset LBH Pers Padang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |