Mendiskusikan Ulang Dilema Moral Ilmu di Tengah Isu Perang Nuklir

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Pada Minggu malam (14/04), Iran menggempur Israel dengan 170 drone, 30 rudal jelajah, dan 110 rudal balistik. Sontak saja, serangan tersebut membuat dunia dilanda kekhawatiran menuju perang dunia ketiga (World War III). Bagaimana tidak, perang tersebut bukan saja hanya akan menjadi perang regional Timur Tengah milik Iran vs Israel, tapi juga akan meluas dan melibatkan sekutu dari kedua belah pihak.
Israel sendiri pasti akan didukung oleh sekutu dekatnya Amerika Serikat, bahkan sejak Oktober 2023, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia sudah menunjukkan dukungannya kepada Israel, sebagaimana dilansir The Guardian. Sementara Iran, sudah mendapatkan dukungan dari Rusia melalui pernyataan Presiden Putin. Bukan tidak mungkin juga, posisi Tiongkok yang sedang terlibat perang dagang dengan Amerika Serikat serta posisi Korea Utara yang dekat dengan Rusia akan membentuk aliansi mendukung Iran.
Advertisement
Yang membuat khawatir adalah laporan International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICANW) yang menyatakan bahwa Rusia, Amerika Serikat, Tiongkok, Perancis, Inggris, Israel, dan Korea Utara adalah daftar negara-negara yang mempunyai senjata nuklir..
Sehingga, kecemasan perang dunia ketiga yang berujung pada perang nuklir memanglah kekhawatiran yang masuk akal. Nuklir merupakan senjata pemusnah masal yang apabila diledakkan bisa menghancurkan peradaban manusia. Louis Lord Mountbatten pernah mengingatkan bahwa: “jika perang dunia ketiga adalah berjuang dengan senjata nuklir, yang keempat akan diperjuangkan dengan busur dan anak panah.”
Selain itu, fisikawan Albert Einstein yang punya hubungan dekat dengan “bapak” bom atom“, Robert Oppenheimer, pernah menyampaikan bahwa “saya tidak tahu dengan apa senjata perang dunia ketiga akan diperjuangkan, tetapi perang dunia keempat akan diperjuangkan dengan kayu dan batu.” Penggambaran busur dan anak panah atau kayu dan batu menggambarkan bagaimana daya rusak yang akan ditimbulkan apabila perang nuklir terjadi.
Inilah salah satu dilema dalam perkembangan ilmu kemajuan teknologi dan ancaman dehumanisasi. Satu sisi, perkembangan ilmu tidak bisa disembunyikan dan tak terelakkan. Sisi lain, muncul pertanyaan, bagaimana moralitas ilmu? Bagaimana ilmu menentukan nilainya terhadap kemanusiaan?
Jawaban tersebut dapat dipetakan dalam dua polar pendapat. Pertama, yaitu sekelompok ilmuwan yang meyakini bahwa tugas utama ilmuwan adalah menemukan pengetahuan. Adapun akibat yang ditimbulkan di masa depan merupakan kebebasan manusia menggunakannya terserah bagaimana dan untuk apa manusia mempergunakannya.
Sementara itu, pendapat kedua mengatakan bahwa ilmu pengetahuan haruslah berlandaskan pada asas-asas moral. Ilmu pengetahuan harus bernilai untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Dilema moral yang dialami ilmuwan memang menempatkannya pada situasi yang getir sebab dia harus memilih dan bersikap atas nilai ilmu. Pada dasarnya ilmu memanglah netral atau paling tidak diminimalisasi bias kepentingannya. Akan tetapi, ketika ilmu sudah diproduksi dan ilmuwan tidak boleh menyembunyikan atau memutarbalikkan penemuannya, di sinilah ilmu menjadi dependen. Ilmu menjadi tergantung kepada penggunanya, termasuk otoritas negara sebagaimana yang terjadi pada peristiwa bom nuklir perang dunia II.
Oleh karena itu, meskipun ilmu netral atau bebas nilai, ilmuwan tetap saja pada akhirnya harus bersikap dan memilih pilihan moralnya. Menjawab itu, ilmuwan seharusnya tidak membiarkan perkembangan ilmu berjalan sendirian. Ilmu haruslah terus bergandengan tangan dengan kemanusiaan supaya ilmu tidak menjadi bumerang yang justru akan mendehumanisasi kemanusiaan itu sendiri.
***
*) Oleh : Asep Sandi Ruswanda, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |