Menghormati Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Bersifat Final

TIMESINDONESIA, MALANG – Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang final sering dipersoalkan. Problemnya antara lain ketika para pencari keadilan merasakan adanya ketidakadilan Putusan MK. Tidak ada lain yang dapat dilakukan kecuali menerima dan melaksanakan Putusan tersebut. Kendati keadilannya dibelenggu dan dipasung oleh Putusan MK, para pencari keadilan, khususnya Pemohon tidak punya pilihan lain. Pada titik ini, persoalan pada aspek keadilan pada sifat βinal Putusan MK dijumpai, khususnya keadilan bagi pencari keadilan.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan konstitusi, mempunyai karakter khas yang membedakannya dengan peradilan umum atau peradilan biasa. Salah satu sifat khas tersebut ialah sifat putusan MK yang ditentukan bersifat βinal dan tidak ada upaya hukum lainnya.1 Sifat ini berbeda dengan putusan lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung (MA) yang menyediakan mekanisme upaya hukum lain, termasuk melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) dan/atau melalui Grasi. Mengenai sifat final Putusan MK, ditegaskan pada Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Advertisement
Ketentuan tersebut kemudian diderivasikan ke dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK. Pasal 47 UU MK mempertegas sifat final tersebut dengan menyatakan bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sifat βinal menunjukkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu (1) bahwa Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; (2). karena telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara (interparties). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan MK.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dalam praktik, sifat Putusan MK yang final tersebut kerapkali dipersoalkan. Terlebih lagi, pernah terdapat beberapa perkara yang diajukan ke MK terkait sifat βinal tersebut yakni perkara Nomor 36/PUU-IX/2011 yang diajukan Salim Alkatiri, meskipun akhirnya MK dalam putusannya menolak permohonan tersebut.
Pada tanggal 25 Februari 2014, MK menggelar sidang perdana untuk memeriksa permohonan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945. Habibburahman selaku Pemohon dalam permohonannya mendalilkan, MK berwenang melakukan PK atas putusannya sendiri.
Pemohon berpijak dari pemaknaannya atas ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Menurut Pemohon, frasa “pada tingkat pertamadan terakhir” dapatlah juga dimaknai bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD “pad tingkat pertama” dan juga “pada tingkat terakhir” atau biasa disebut sebagai tingkat “Peninjauan Kembali”.
Jadi, menurut Pemohon, peninjauan kembali merupakan upaya hukum terakhir yang diberikan kepada pencari keadilan. Karena keadilan berada di atas Undang-Undang, maka hukum tidak boleh hanya terpaku pada formil hukum belaka, dan dalam hal ini, ketentuan sifat final Putusan MK bersifat formil belaka.
Bahkan sampai saat ini, proses gugatan juga kembali terjadi pada sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden diawali dengan pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh kedua kubu yang merasa ada ketidaksesuaian atau pelanggaran selama pemilihan presiden.
Gugatan tersebut diajukan berdasarkan peraturan yang diatur dalam UU tentang Pemilihan Presiden yang memungkinkan peserta untuk mengajukan gugatan jika merasa terdapat kecurangan atau pelanggaran yang bisa mempengaruhi hasil pemilihan.
Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menangani sengketa hasil pemilihan presiden, kemudian mengadakan serangkaian sidang untuk mendengarkan argumen kedua belah pihak serta bukti-bukti yang disampaikan. Dalam kasus Pilpres 2024, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 1 Anies-Muhaimin dan Pasangan Nomor Urut 03 Ganjar-Mahfud, dengan alasan bahwa bukti yang disampaikan tidak cukup untuk mempengaruhi hasil pemilihan secara substansial.
Meski MK menolak gugatan ini, ada ketidaksepakatan di antara hakim, dengan tiga dari mereka menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion), yang menunjukkan adanya perbedaan pandangan terkait materi gugatan. Namun, mayoritas hakim memutuskan penolakan atas gugatan tersebut, mengakhiri proses hukum dalam sengketa pemilu ini.
Menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final adalah fundamental dalam sistem hukum Indonesia, karena ini memastikan kepastian hukum dan memperkuat prinsip kedaulatan hukum.
Putusan MK yang final, menurut undang-undang, tidak dapat diganggu gugat, sehingga memperjelas bahwa setiap keputusan yang diambil merupakan penyelesaian akhir atas sengketa yang dihadapi. Hal ini membantu dalam menjaga kestabilan sistem hukum dan politik negara, serta menegaskan bahwa semua pihak, tanpa kecuali, harus mengakui dan mematuhi keputusan tersebut untuk mempromosikan tatanan masyarakat yang adil dan beradab. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |