Refleksi Hardiknas: Sudahkah Merdeka Belajar Membentuk Generasi Emas?

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Setiap 2 Mei, masyarakat Indonesia memeringatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan itu rutin dilaksanakan sejak ditetapkan ditetapkan Presiden Sukarno melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959 pada 28 November 1959. Pemilihan tanggal Hardiknas itu merujuk kepada kelahiran Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional pada 2 Mei 1889.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Menristekdikti) melalui Surat Nomor 11911/MPK.A/TU.02.03/2024 tentang Pedoman Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2023 yang dikeluarkan 22 April 2024 menyebutkan tema Hardiknas 2024 adalah “Bergerak Bersama Lanjutkan Merdeka Belajar.”
Advertisement
Seyogianya, peringatan Hardiknas itu dapat membakar semangat kita semua untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Perlu upaya konkrit untuk mengajak masyarakat semakin giat belajar, menuntut ilmu.
Seperti yang telah Allah firmankan di dalam Q.S.Al Mujadilah ayat 11 yang artinya,”Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.”
Di tengah optimisme menjadikan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional, bukankah perlu merefleksikan kembali seberapa hebat kurikulum ini membentuk generasi berkualitas, bertakwa, dan berkarakter mulia? Bukankah pendidikan yang baik bukan hanya bicara capaian-capaian dalam angka dan materi, melainkan yang lebih utama ialah bagaimana generasi ini terdidik dengan benar dan tepat?
Konsep merdeka belajar diambil dari filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional kita. Beliau mengatakan:
“Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedangkan merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.”
“Dengan adanya budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.”
Dari dua kutipan di atas bisa disimpulkan bahwa merdeka belajar adalah usaha mengembalikan tujuan pendidikan agar siswa bisa menjadi manusia merdeka, yaitu manusia yang beradab yang mempunyai budi pekerti dan bisa menguasai diri sendiri. Pada titik ini, istilah merdeka dan mandiri bertemu.
Secara terminologi, Merdeka Belajar dalam bahasa Inggris dekat dengan istilah “Independent learning”, kemudian untuk siswanya menjadi "independent learner" (pembelajar mandiri, siswa mandiri, atau pelajar merdeka). Merdeka dan mandiri itu ada sedikit perbedaan arti. Tapi sangat dekat artinya.
Dalam mendukung pemulihan pembelajaran dicetuskanlah Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. Karakteristik utama dari kurikulum ini, meliputi hal-hal berikut.
Dikutip dari situs kemendikbud bahwa pertama, berfokus pada materi esensial sehingga pembelajaran lebih mendalam. Kedua, waktu lebih banyak untuk pengembangan kompetensi dan karakter melalui belajar kelompok seputar konteks nyata (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Ketiga, capaian pembelajaran per fase dan jam pelajaran yang fleksibel mendorong pembelajaran yang menyenangkan dan relevan dengan kebutuhan pelajar dan kondisi satuan pendidikan. Keempat, memberikan fleksibilitas bagi pendidik dan dukungan perangkat ajar pendidikan dan melaksanakan pembelajaran berkualitas. Kelima, mengedepankan gotong royong dengan seluruh pihak untuk mendukung implementasi Kurikulum Merdeka.
Hari ini, dunia pendidikan kita masih begitu miris terhadap kerusakan generasi. Berdasarkan hasil Asesmen Nasional 2021 dan 2022 atau Rapor Pendidikan 2022 dan 2023, sebanyak 24,4% peserta didik mengalami berbagai jenis perundungan (bullying). Sementara itu, menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), ada 30 kasus bullying sepanjang 2023. FSGI juga mencatat sepanjang 2023, ada 46,67% kekerasan seksual terjadi di sekolah dasar. Ini hanyalah angka-angka yang tampak, belum kasus yang tidak terlaporkan.
Apakah Kurikulum Merdeka mampu menjawab persoalan krusial sesungguhnya yang tengah dihadapi pendidikan? Misalnya, perundungan, kekerasan seksual, pergaulan bebas, hingga kehamilan di luar nikah. Makin ke sini, generasi kita makin jauh dari karakter dan akhlak mulia.
Apakah Kurikulum Merdeka juga mampu membentuk karakter mulia yang sangat diharapkan ada pada diri generasi hari ini? Boleh saja di atas kertas terjadi peningkatan capaian belajar atau penilaian yang bersifat materi. Akan tetapi, capaian karakter dan kepribadian mulia masih sangat jauh dari harapan kita. Ini karena kerangka kurikulum yang sudah berganti sebelas kali, masih berasas pada kapitalisme yang sekuler materialistis sehingga tujuan pendidikan menjadi kehilangan arah hanya berfokus pada capaian materi yang semu.
Nyatanya, potret hari ini pendidikan dalam semua aspek, baik guru maupun siswa terlibat dalam kemaksiatan dan pelanggaran hukum. Ada guru merudapaksa siswanya, ada siswa merundung temannya, ada orang tua melaporkan guru hanya karena tidak terima sang anak ditegur gurunya. Lebih parahnya, ada siswa menganiaya guru hingga meninggal. Kriminalitas di dunia pendidikan masih kerap terjadi. Dengan berbagai masalah ini, apakah Kurikulum Merdeka mampu menuntaskan problematik yang pelik ini? Lalu bagaimana dengan Islam?
Islam, Masa Depan Pendidikan
Sepanjang penerapannya, Islam telah menjelma menjadi satu-satunya sistem yang mampu melahirkan generasi cerdas nan beradab. Islam memprioritaskan pendidikan sebagai modal awal membangun sebuah peradaban. Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang (1) berkepribadian Islam, (2) menguasai pemikiran Islam dengan andal, (3) menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi), (4) memiliki keterampilan yang tepat dan berdaya guna.
Adapun mengenai kurikulumnya, pendidikan Islam dibangun berdasarkan akidah Islam. Pelajaran dan metodologinya diselaraskan dengan asas tersebut. Guru harus memiliki kepribadian dan akhlak yang baik, menjadi uswah bagi para siswa. Bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi ia juga pembimbing yang baik. Agar guru melakukan tugasnya dengan baik dan profesional, mereka diberi fasilitas pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, sarana dan prasarana yang menunjang metode dan strategi belajar, serta jaminan kesejahteraan sebagai tenaga profesional, yakni gaji yang memadai.
Semua itu tidak bisa dilakukan tanpa peran negara sebagai penyelenggara utama pendidikan. Negara berkewajiban mengatur segala aspek terkait pendidikan, mulai dari kurikulum hingga hak mendapat pendidikan yang layak bagi setiap warga negara. Sarana dan prasarana sekolah hingga kesejahteraan guru pun dijamin oleh negara. Hal-hal pokok seperti ini tidak akan pernah kita jumpai di negara yang mengadopsi sistem sekuler kapitalisme sebagai ideologinya.
Merdeka Belajar hanyalah produk dari kebimbangan arah pendidikan hari ini. Ada masalah pada karakter generasi, tetapi malah dijawab dengan Kurikulum Merdeka yang belum menyentuh masalah pokok pendidikan.
Sudah berganti kurikulum, berpindah metode, hingga dikomandoi bermacam menteri, toh problem pendidikan masih saja berkelindan dan tidak pernah tuntas terselesaikan. Oleh karenanya, untuk memecahkan kebuntuan dan kebekuan problem pendidikan, negeri ini semestinya mengambil Islam sebagai solusi fundamental.
Tidak ada satu sistem pendidikan mana pun selain Islam yang mampu membawa peradaban emas yang cemerlang, baik dari pendidikan sumber daya manusianya maupun ilmu yang dicapainya. Saatnya berbenah secara fundamental, yakni menerapkan sistem pendidikan Islam secara kafah rahmatan lil alamin.
Demikian refleksi di Hari Pendidikan Nasional ini. Selamat hari Pendidikan Nasional 2024. Terima kasih kepada semua anak didik, guru, tenaga kependidikan, komite sekolah, kepala sekolah, orang tua dan seluruh stake holder yang tengah berjuang mempertahankan kualitas pendidikan hingga saat ini. Karena pendidikan ini adalah milik kita bersama. Mari berjuang bersama-sama untuk menuju kejayaan generasi emas yang cemerlang.
***
*) Oleh : Bambang Cahyono, S.Pd., M.H., Guru Pendidikan Agama Islam di SDN Manduro 2 Kabuh, Jombang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |