
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Deretan panjang Bupati yang terseret kasus hukum entah OTT KPK atau dengan modul lain menambah rakyat kita apatis dalam memberikan dukungan kepada calon Bupati yang mencalonkan. Hingga sebuah pertanyaan muncul, masih adakah calon Bupati yang baik?
Melihat senyalemen setiap calon harus membeli rekom per kursi 300 juta, biaya operasional tim sukses, alat peraga kampanye dan amplop untuk pemilih agar memberikan suara di TPS, kelihatannya sudah tidak ada lagi bupati yang baik. Biaya politik yang tidak mengharuskan setiap Bupati terpilih untuk cerdas mengatur APBD dan kebijakan politik yang bisa menghasilkan uang.
Advertisement
Masyarakat sudah cerdas, kalau ingin dipilih harus ngasih sesuatu minimal untuk mengganti kerja sehari. Sikap seperti itu memang tidak bisa disalahkan, karena perilaku hidup hedonis, permainan anggaran dan korupsi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi seorang bupati. Maka rusaknya tatanan demokrasi karena perilaku elit politik dan pejabat pemerintah yang tidak menampilkan hidup yang sederhana.
Disisi lain masyarakat melihat perilaku nepotisme menjadi pemandangan yang sangat nampak, dimana para tim sukses, saudara kerabat dan sahabat mendapatkan tempat dalam jabatan strategis. Semua dilakukan karena cost politik yang sangat besar. Jika seorang bupati menghabiskan dana 30 sampai 50 milyar bagaimana uang sebesar itu bisa kembali kalau gaji dan tunjangannya saja sangat kecil.
Maka pertanyaannya masih adakah bupati yang baik? Jawabnya jelas tidak ada. Yang ada, adalah Bupati yang Manfaati atau Tidak Manfaati. Sebuah cerita seorang Bupati di negeri Antah Brantah, Dengan tekanan mengembalikan biaya pemilukada, seorang Bupati harus berfikir tidak hanya keras bahkan sangat keras bagaimana memainkan APBD dan kewenangan yang mestinya sebuah amanah menjadi sebuah komoditas. Seorang Bupati dalam mengelola pemerintah lebih ke manajemen untung (Bathi) dari pada manajemen pemerintah yang bersih yang bebas dari KKN
Bupati yang manfaati mengelola anggaran seolah olah untuk kepentingan rakyat dan pembangunan, tetapi tetap mengambil manfaat dari setiap kegiatan yang dilakukan melalui kepala dinas atau orang kepercayaannya. Bupati menganggarkan APBD untuk rakyat namun porsinya yang langsung menyentuh rakyat sangat kecil.
Maka sebagian masyarakat berpendapat memilih bupati mana yang memberi manfaat langsung (saat pilihan ngasih amplop) dan saat jadi masih ingat untuk bangun jalan atau fasilitas umum yang dibutuhkan. Bupati negeri antah Brantah berfikir ibarat berdagang harus untung, modal kembali masih ada sisa untuk saving ketika pensiun.
Ada apa dengan Wakil Bupati di Negeri Antah Brantah?
Wakil bupati memang diatur dalam UU tugas dan wewenangnya, namun dalam negeri antah Brantah seorang wabup tidak memiliki kewenangan apapun selama bupati tidak memberi atau bupati tidak bisa melakukan tugas san fungsi karena sakit atau kena masalah hukum. Wakil bupati hanya sebagai ban serep yang secara hak keuangan dan protokol melekat dengan anggaran bupati tetapi hanya dipakai jika dibutuhkan.
Sehebat dan secerdas seorang wabup hanya menunggu perintah bupati untuk melaksanakan suatu kegiatan karena bupati tidak bisa melakukan. Wabup yang cerdas pasti tidak ingin membeku karena kedinginan diruang AC untuk berdiam diri. Wabup bisa turun ke lapangan melihat jalan rusak dan fasilitas umum lainnya yang nanti bisa disampaikan pada dinas terkait.
Selama pemerintahan reformasi negeri antah Brantah belum ada bupati yang berdaya dan memiliki kewenangan jelas. Wabup hanya menunggu dan menunggu perintah bupati sambil menikmati mobil dinas bagus, rumah jabatan, biaya hidup dijamin, dikawal aspri dan hak protokol lainnya.
Bupati yang baik ada hanya dalam negeri dongeng, maka sistem politik dan sistem pengelolaan keuangan, kepegawaian dan eksekusi anggaran tidak dirubah, maka negeri ini rakyatnya akan tetap miskin. UU harus membagi Kewenangan Bupati dibagi dengan Wabup untuk menjaga keseimbangan berfikir dalam membangun pemerintah. Demikian juga partai partai harus menahan nafsu untuk mengeksploitasi calon dengan membayar dukungan agar cost politik tidak besar dan memberatkan.
Semoga pemegang kekuasaan diberi kesadaran dan kembali ke jalan yang benar agar peraturan perundangan dirubah menjadi yang lebih baik.
Hanya sebuah catatan sederhana tentang Bupati dan wakil bupati semoga memberi inspirasi untuk memilih pemimpin yang baik. Kebetulan yang menjabat di birokrasi segera ingat setiap amanah pasti dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah swt.
***
*) Oleh : HM Basori M.Si, Direktur Sekolah Perubahan, Training, Research, Consulting, and Advocasy
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |