Kopi TIMES

Pernikahan Tidak Lagi Primadona: Memahami Fenomena Penurunan Angka Pernikahan

Rabu, 15 Mei 2024 - 10:23 | 40.26k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Saat ini telah terjadi fenomena yang cukup mencolok dalam satu dekade terakhir yakni penurunan angka pernikahan. Perubahan paradigma sosial, prioritas yang bergeser, dan dinamika ekonomi yang berfluktuasi telah mempengaruhi banyak individu, khususnya generasi muda, untuk menunda atau bahkan memilih untuk tidak menikah.

Dulu, menikah di usia muda dianggap sebagai norma dan keharusan, namun kini banyak remaja dan dewasa muda yang melihat pernikahan sebagai salah satu dari banyak pilihan hidup, bukan sebagai keharusan. Kecenderungan ini bukan hanya sekedar pergeseran budaya, tetapi juga mencerminkan respons adaptif terhadap kondisi ekonomi dan peluang sosial yang berubah.

Advertisement

Di sini, kita akan menggali lebih dalam bagaimana faktor-faktor seperti pendidikan, independensi finansial, dan perubahan nilai-nilai sosial berkontribusi pada tren global ini.

Sebelumnya perlu untuk diketahui dahulu bahwa menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, terjadi penurunan dalam jumlah pernikahan yang tercatat di beberapa daerah di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2020, di tengah pandemi COVID-19, jumlah pernikahan di Indonesia mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selain faktor pandemi, penurunan ini juga dipengaruhi oleh perubahan sosial dan ekonomi yang lebih luas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di tingkat global, lembaga seperti Pew Research Center telah melaporkan penurunan angka pernikahan di banyak negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat pernikahan telah mencapai titik terendah dalam beberapa dekade terakhir. Data dari Pew menunjukkan bahwa pada tahun 2019, hanya 6,5 pernikahan per 1.000 orang, turun dari sekitar 8,2 per 1.000 orang pada tahun 2000.

Pendidikan memainkan peran penting dalam mengubah pola dan keputusan pernikahan di kalangan generasi muda. Dengan meningkatnya akses terhadap pendidikan, terutama bagi perempuan, terjadi perubahan signifikan dalam cara individu memandang pernikahan.

Saat ini, banyak remaja dan dewasa muda yang memprioritaskan pencapaian akademis dan pengembangan karir sebelum memutuskan untuk menikah. Hal ini berakar pada kesadaran bahwa pendidikan yang lebih tinggi sering kali membuka lebih banyak peluang kerja dan potensi penghasilan yang lebih besar, yang pada gilirannya menawarkan keamanan ekonomi sebelum membina rumah tangga.

Selain itu, pendidikan tinggi juga cenderung membentuk perspektif yang lebih luas dan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang berbagai aspek kehidupan. Individu yang berpendidikan tinggi seringkali memiliki aspirasi yang lebih luas yang melampaui batasan tradisional dan konvensional.

Mereka cenderung memiliki keinginan kuat untuk menjelajahi dunia, mencari pengalaman baru, dan mencapai tujuan pribadi sebelum menetap. Kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dalam setting pendidikan yang beragam juga membuka mata mereka terhadap kemungkinan-kemungkinan hidup yang tidak terbatas hanya pada pernikahan.

Faktor lain yang mendorong penundaan pernikahan karena pendidikan adalah pergeseran dalam nilai-nilai sosial yang ditularkan melalui lingkungan akademik. Di universitas dan lembaga pendidikan lainnya, diskusi tentang kesetaraan gender, kemandirian, dan pilihan hidup individu sering menjadi topik utama. Hal ini mempengaruhi cara pandang mahasiswa terhadap pernikahan, dimana mereka menjadi lebih kritis dan selektif dalam menentukan kapan dan dengan siapa mereka akan menikah. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi alat untuk memperbaiki status ekonomi, tetapi juga medium yang mengubah cara pandang terhadap kehidupan pribadi dan social.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Selain pendidikan, Independensi finansial menjadi salah satu faktor kunci yang mempengaruhi fenomena penurunan angka pernikahan, terutama di kalangan generasi muda. Di era modern, pencapaian kemandirian ekonomi dipandang sebagai prasyarat penting sebelum memasuki jenjang pernikahan.

Banyak individu, khususnya mereka yang berpendidikan tinggi, menunda pernikahan hingga mereka merasa secara finansial stabil dan mampu menopang hidup mereka sendiri serta calon keluarga. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya, di mana menikah dan memulai keluarga sering kali dilakukan tanpa menunggu stabilitas finansial yang lengkap.

Tren ini juga diperkuat oleh kesadaran bahwa pernikahan—dengan semua tanggung jawab yang menyertainya—memerlukan sumber daya finansial yang tidak sedikit. Dari biaya pernikahan, pengeluaran untuk rumah tangga, hingga biaya pendidikan anak menjadi pertimbangan yang serius. Remaja dan dewasa muda saat ini lebih memilih untuk fokus pada pengembangan karir dan peningkatan pendapatan sebelum berkomitmen dalam sebuah pernikahan. Mereka lebih memilih untuk investasi pada aset pribadi, seperti pendidikan lanjutan, rumah, atau tabungan, yang akan membantu mereka lebih mandiri dan siap menghadapi masa depan.

Selain itu, dengan meningkatnya partisipasi wanita dalam angkatan kerja dan peningkatan kesetaraan gender, banyak wanita kini lebih memprioritaskan karir dan kemandirian finansial daripada menikah muda. Perspektif ini mengubah struktur sosial dan mempengaruhi keputusan dalam membentuk sebuah keluarga. Kemandirian finansial bukan hanya menawarkan keamanan, tetapi juga memberikan kebebasan dalam membuat pilihan hidup, termasuk keputusan untuk menikah atau menunda pernikahan.

Pada akhirnya semua faktor ini mencerminkan perubahan paradigma dalam pandangan terhadap pernikahan, di mana menikah tidak lagi dilihat sebagai keharusan sosial melainkan pilihan hidup yang dipertimbangkan secara matang. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES