Mengurai Efek Domino Penurunan Pernikahan Terhadap Struktur Keluarga dan Masyarakat

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena penurunan angka pernikahan telah mengundang perhatian di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tren ini, yang semakin nyata terlihat melalui statistik dan pengamatan sosial, tidak hanya mencerminkan perubahan preferensi individu tetapi juga membawa dampak luas yang merambat ke berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Dari pergeseran demografis hingga transformasi ekonomi dan sosial, dampak penurunan angka pernikahan mempengaruhi struktur keluarga, dinamika pasar kerja, hingga kebijakan publik. Artikel ini akan mengeksplorasi berbagai konsekuensi dari fenomena ini, mencoba mengurai bagaimana penurunan angka pernikahan dapat membentuk masa depan masyarakat dan tantangan yang mungkin dihadapi dalam menanggapi dinamika baru ini.
Advertisement
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena penurunan angka pernikahan telah menjadi subjek yang menarik perhatian banyak peneliti dan pembuat kebijakan. Data statistik menunjukkan tren global yang signifikan terhadap penundaan atau penolakan terhadap konsep pernikahan tradisional.
Misalnya, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, tingkat pernikahan telah turun dari hampir 10 pernikahan per 1.000 orang pada tahun 1980-an menjadi sekitar setengahnya pada tahun terakhir. Di Asia, negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan juga melaporkan penurunan serupa, dengan banyak orang muda yang memilih untuk fokus pada karier dan pendidikan daripada terburu-buru menikah.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), telah terjadi penurunan jumlah pernikahan, khususnya selama dan pasca pandemi COVID-19. Pada tahun 2020, tercatat penurunan sekitar 10% dalam jumlah pernikahan dibandingkan tahun sebelumnya, yang tidak hanya dipicu oleh pembatasan sosial tetapi juga oleh perubahan nilai dan prioritas di kalangan muda. Faktor ekonomi, khususnya kesulitan finansial yang dialami banyak keluarga selama pandemi, juga berkontribusi pada penurunan ini.
Selain itu, tren peningkatan pendidikan tinggi dan partisipasi wanita dalam tenaga kerja telah mengubah perspektif tentang pernikahan di kalangan generasi muda, yang semakin melihat pernikahan tidak lagi sebagai keharusan melainkan pilihan hidup.
Pengamatan sosial dan diskusi akademis menunjukkan bahwa perubahan nilai sosial juga berperan dalam penurunan angka pernikahan. Lebih banyak individu, terutama di perkotaan, yang menganggap pernikahan sebagai bagian dari pencapaian pribadi yang dapat ditunda atau bahkan diabaikan demi tujuan lain seperti perjalanan, pendidikan lanjutan, dan pengembangan karier.
Selain itu, akses ke teknologi dan platform online untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang lain telah memberikan alternatif baru dalam membangun hubungan interpersonal, yang mungkin tidak selalu berujung pada pernikahan
Tren penurunan angka pernikahan yang terus menerus dapat membawa dampak negatif yang signifikan terhadap masyarakat dalam berbagai aspek. Salah satu dampak yang paling jelas adalah terjadinya penurunan tingkat kelahiran.
Sebuah masyarakat dengan tingkat kelahiran yang rendah akan mengalami penuaan populasi, yang memicu berbagai tantangan sosial dan ekonomi. Misalnya, dengan bertambahnya jumlah lansia dibandingkan dengan angkatan kerja yang lebih muda, beban untuk menyediakan layanan kesehatan dan pensiun menjadi lebih berat.
Hal ini dapat meningkatkan tekanan pada sistem keuangan publik dan membutuhkan penyesuaian kebijakan yang mungkin tidak populer, seperti peningkatan pajak atau penurunan manfaat.
Dampak kedua yang terkait dengan penurunan angka pernikahan adalah perubahan struktur keluarga dan komunitas. Tradisionalnya, keluarga dianggap sebagai unit dasar masyarakat, yang berperan tidak hanya dalam reproduksi tetapi juga dalam sosialisasi anak-anak dan dukungan antargenerasi. Namun, dengan menurunnya pernikahan, model keluarga konvensional mengalami pergeseran, dan mungkin ada peningkatan dalam jumlah rumah tangga tunggal atau orang dewasa yang hidup sendiri. Ini dapat menyebabkan penurunan kohesi sosial dan meningkatkan isolasi sosial, yang memiliki konsekuensi negatif untuk kesejahteraan emosional dan psikologis individu.
Selain itu, dampak ekonomi dari penurunan angka pernikahan juga tidak dapat diabaikan. Pernikahan seringkali mendorong stabilitas ekonomi melalui pembentukan rumah tangga yang lebih efisien secara ekonomi, di mana sumber daya seperti perumahan dan konsumsi dapat dibagi.
Dengan penurunan tren pernikahan, bisa terjadi penurunan dalam pembelian properti dan barang-barang tahan lama, mempengaruhi sektor-sektor ekonomi yang bergantung pada pembentukan rumah tangga baru. Ini juga bisa mempengaruhi pola tabungan dan investasi, dengan potensi implikasi jangka panjang bagi pertumbuhan ekonomi.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |