
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Baru-baru ini, jagat dunia maya dihebohkan oleh beredarnya video pembubaran doa rosario di Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang, pada Minggu (5/5). Dikabarkan, sejumlah mahasiswa asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terlibat dalam aktivitas doa rosario tersebut dibubarkan warga setempat karena dinilai mengganggu kenyamanan warga (detiknews, 9/5/24).
Belum lama berselang, beredar pula video berisi aksi intoleran di sebuah tempat. Kali ini dilakukan oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Gresik. Sang ASN, dalam video tersebut, terlihat membubarkan kegiatan ibadah umat kristen. Dua contoh kasus mutakhir ini tentu adalah sedikit dari sekian banyak contoh kasus intoleran yang pernah dan sering dialami kelompok-kelompok minoritas di Indonesia. Peristiwa semacam ini juga serentak mengafirmasi kegagalan negara menjaga kebhinekaan.
Aksi-aksi intoleran yang pernah terjadi di Indonesia lebih sering berhubungan dengan pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Sejumlah tanggapan kemudian muncul yang kurang lebih secara paradigmatik dan hampir kaku juga dibingkai dalam pandangan keagamaan; bahwa suatu kepercayaan sedang menyerang kepercayaan yang lain. Beragama akhirnya tidak lagi membuat orang merasa aman, tetapi malah menimbulkan ancaman.
Advertisement
Agama dan Kemanusiaan
Nurcholish Madjid atau lebih dikenal sebagai Cak Nur, pernah menyebut, seperti dikutip Franz Magnis-Suseno, bahwa Islam adalah agama kemanusiaan terbuka. Menurut Magnis, pernyataan ini mengandung kebenaran bagi semua agama. Percaya kepada Tuhan mengimplikasikan penghormatan terhadap manusia. Menjunjung tinggi Tuhan tetapi merendahkan manusia adalah kontradiksi.
Penekanan pada kemanusiaan tentu memiliki beberapa implikasi. Pertama, sikap baik dan hormat terhadap orang lain tidak mungkin bersaing dengan sikap taat dan hormat terhadap Allah. Allah tidak dapat dipermainkan melawan manusia. Kalau ciptaan diremehkan, maka Penciptanya juga diremehkan. Dan kalau kita berbuat baik terhadap sesama, kita bersikap baik terhadap Tuhan (Suseno, 2015:5). Sikap ini sebetulnya menggambarkan penghargaan terhadap martabat manusia yang sama berharganya di hadapan Allah penciptanya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang menyelimutinya.
Atas pertimbangan ini pula, agama seharusnya baik dan memberi rasa aman bagi siapa saja. Orang beragama adalah dia yang bisa menghargai dan menghormati sesamanya, seiman maupun tak seiman, karena dengan itu pula ia menjunjung tinggi Penciptanya. Mengutip kembali Magnis, agama tidak boleh menakutkan. Agama yang menakutkan sudah tidak berjangkar lagi pada Tuhan yang diakui. Orang beragama tidak dapat dikatakan beragama dengan sungguh-sungguh kalau tidak dengan konsekuen menghormati orang lain dengan segala keberadaannya sebagai manusia.
Pada taraf ini, dibutuhkan semacam skill teknis tetapi dilandasi pemahaman mendalam tentang perbedaan; bahwa orang beragama mesti benar-benar mengaktualisasikan bentuk penghargaan macam mana yang harus ia buat karena memang ia betul-betul paham tentang hal itu.
Agama dan Keadaban
Ada semacam paralelitas kaku antara agama dan keadaban; bahwa agama selalu mengandaikan keadaban. Begitu pun keadaban hanya melekat pada orang beragama. Beragama berarti beradab. Atau, orang beragama dapat disebut manusia beradab atau bermoral. Filsuf Keith Ward bahkan mengeklaim, masyarakat yang kurang berkeyakinan religius pada dasarnya tak bermoral, tak bebas, dan irasional.
Searah dengan Ward, filsuf kontemporer John Caputo, menyebut orang yang tanpa agama dan tidak mencintai Tuhan tidak lebih dari orang kasar yang egois, sehingga menyiratkan bahwa masyarakat dengan jumlah orang-orang tak beragama yang lebih besar, akan menjadi tempat yang sangat menyedihkan dan tanpa cinta (Zuckerman, 2018:47). Tentu, paralelisme ini dibangun di atas keyakinan kuat bahwa agama mengajarkan keadaban bagi para penganutnya. Tidak ada agama yang menstimulasi pemeluknya untuk melakukan kekerasan atau persekusi terhadap orang atau pemeluk agama lain.
Dari segi historis, agama sebetulnya lahir dari pergolakan-pergolakan; terbentuk oleh benturan-benturan sampai pada akhirnya menemukan suatu pedoman atau semacam kaidah yang diyakini dan dipegang oleh semua penganutnya. Tak bisa dimungkiri, agama diciptakan manusia. Dalam sosiologi agama, ia merupakan salah satu institusi sosial yang tidak jauh berbeda dengan institusi-institusi yang lain. Hanya saja, ia diberi label ilahi, mistis. Sebagai institusi, ia bisa keliru. Entah karena terdapat sistem yang rusak sehingga perlu diperbaiki, atau karena cara penafsiran ajaran yang bisa saja saling bertolak belakang antar-pemimpinnya sehingga perlu diperiksa ulang, dan seterusnya.
Sisi lain menunjukkan agama tidak serta merta koheren dengan watak manusia beradab. Keadaban tidak selalu lahir dari atau oleh karena agama. Justru, masyarakat beragama bisa saja menjadi aktor kunci kekacauan di dalam sebuah negara. Agama bisa menimbulkan kekacauan dan perilaku tak beradab dalam masyarakat. Hal ini tentu diafirmasi oleh sejumlah kasus pelanggaran KBB di Indonesia bahwa masyarakat beragama pun bisa dan bahkan sering menjadi dalang kekacauan dan pemicu tindakan tak beradab.
Meskipun demikian, rentetan kasus intoleran yang terpublikasi di sejumlah media hari-hari ini tentu tidak serta merta dan dengan begitu gampang memposisikan agama sebagai dalang kekacauan. Agama tetap mengajarkan kebaikan, harmonisasi, menginspirasi pemeluknya agar selalu berbuat yang baik, karena dengan cara itu ia menjalankan perintah Tuhannya.
Adab tanpa Agama?
Sementara itu, keadaan relatif kurangnya agama di suatu negara, tidak lantas menimbulkan kekacauan masyarakat. Phil Zuckerman (2018), seorang profesor sosiologi dan kajian sekuler di California, mencatat panorama itu di sejumlah negara Skandinavia. Kondisi kurangnya agama, demikian Zuckerman, malah sebenarnya sangat terkorelasi dengan tingkat kesehatan masyarakat yang luar biasa tinggi, kesejahteraan sosial, dan ketertiban sosial moral yang sangat mengagumkan.
Hubungan antara agama dan keadaban atau, katakanlah, masyarakat yang sehat, pada akhirnya sangat kompleks. Dalam lingkup suatu masyarakat plural, cukup sulit memastikan bahwa sekularisme selalu baik bagi masyarakat dan agama selalu buruk. Pernyataan sebaliknya juga sulit dibenarkan: bahwa sekularisme selalu buruk bagi masyarakat dan agama selalu baik.
Agama, tentu saja, bisa menjadi unsur yang kuat dan positif dalam mendirikan masyarakat yang sehat, makmur, sejahtera. Sejumlah penelitian menunjukkan, di Amerika, orang yang cukup religius menunjukkan kesejahteraan subjektif dan kepuasan hidup yang lebih besar, serta gejala-gejala depresi yang lebih sedikit dibanding yang non-religius.
Namun, sisi lain menampilkan, agama justru sering menjadi salah satu sumber utama kemarahan, kekerasan, kemiskinan, penindasan, ketidaksetaraan, dan kekacauan dalam masyarakat. Banyak negara paling religius di dunia justru berada di antara negara yang paling berbahaya dan miskin. Sebaliknya, mayoritas negara demokrasi yang paling tidak religius merupakan negara-negara yang paling sejahtera dan sukses di dunia-bandingkan negara-negara Skandinavia.
Di Skandinavia, terutama Denmark dan Swedia, dengan tingkat religiositas yang sedemikian rendah, kehidupan masyarakat justru bermartabat, sejahtera, makmur, dan tentu saja minim kekerasan. Di sana, pelayanan kesehatan terjamin, pendidikan berkualitas, tingkat kriminalisasi rendah, relasi masyarakat harmonis. Panorama itu ditampilkan oleh negara dengan predikat non-religius.
Kembali ke Indonesia. Jika terpaksa disandingkan, dalam banyak aspek, tentu kita terpental jauh. Meski demikian, bisa kita bayangkan, kemajuan bidang-bidang sosial di negara-negara itu tidak terlepas dari keadaban masyarakat di dalamnya. Tanpa adab masyarakatnya, upaya pembangunan sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya, tentu akan kacau.
Beberapa ciri keadaban itu bisa disebut, ialah toleransi, kesantunan, respek terhadap siapa dan apa pun, apresiasi terhadap karya dan kemajuan orang lain, terbuka dan berani mengakui kesalahan serta belajar dari orang lain. Perlu disadari, budaya kita lahir dengan kualitas-kualitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai altruistik ini. Agama tentu lahir kemudian, setelah kita bertumbuh dalam budaya dengan karakter dan nilai-nilai kuatnya.
Bangun Keadaban
Cita-cita pemerataan tidak akan tercapai selagi manusia beragama terlampau egois; hanya memikirkan kepentingan kelompoknya dan pada saat yang sama mendepak kelompok-kelompok lain yang berbeda berkeyakinan. Jenis pembangunan mana pun, jika tidak diimbangi pembangunan manusia (beragama itu), akan tetap berjalan di tempat. Bagaimana pun juga, keadaban masyarakat non-religius di Skandinavia bisa menjadi bahan pertimbangan dan permenungan di tengah upaya membangun peradaban manusia Indonesia.
Membangun keadaban berarti mendorong terciptanya manusia-manusia dengan kualitas budi pekerti, berakhlak, santun, respek dan terbuka terhadap perbedaan-perbedaan. Keadaban menandakan pula tingkat kemajuan suatu negara. Di Skandinavia, kemajuan lahir karena ditopang keadaban masyarakatnya. Mereka telah melewati dinamika sejarah, politik, ekonomi, geografi, dan sosiologi sampai pada tingkat di mana mereka disebut sebagai negara maju pada banyak aspek.
Indonesia memiliki ciri-ciri itu. Budaya kita sebetulnya sanggup mengantar kita pada tingkat peradaban manusia yang tidak kalah jauh dengan negara-negara maju. Tentu kita tidak ingin disebut sebagai bangsa yang kurang beradab. Untuk menepis anggapan itu, perlu ada kesadaran akan nilai-nilai positif kebudayaan, penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan, cinta akan kedamaian, dan nilai altruistik lainnya yang sudah tertanam–bahkan jauh sebelum agama masuk–dalam budaya masyarakat kita.
Selain itu, untuk memperkuat penanaman kesadaran itu, pemerintah mulai dari level tertinggi sampai level terendah, perlu berenergi menciptakan situasi negara yang kondusif; memastikan rakyatnya hidup aman tanpa memilah berdasarkan interes pada identitas atau agama tertentu.
Akhirnya, kita tidak menafikan peran agama dalam kehidupan bernegara. Para tokoh agama yang tidak bisa dimungkiri posisi strategisnya dalam kehidupan masyarakat, perlu “menstabilkan” anggotanya lewat ceramah bernuansa toleran, menerbitkan aksi-aksi nyata yang melibatkan semua orang dari berbagai kalangan agama, membangun dialog kooperatif dan produktif di antara para pemuka agama.
Peran para intelektual juga signifikan dalam menggaungkan kampanye toleransi antar umat beragama. Posisi mereka strategis, karena sejauh ini, kalangan intelektual Indonesia relatif mendapat panggung untuk berbicara, dan suara-suara mereka tentu diperhitungkan serentak bisa menentukan arah kehidupan sebagai sebuah bangsa yang beradab.
***
*) Oleh : Astra Tandang, S.IP., M.A., Pengurus Pusat PMKRI Periode 2022-2024.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |