
TIMESINDONESIA, JAYAPURA – Dengan mengawali tulisan ini, saya ingin mengulas sedikit tentang sebuah cerita menarik dari seorang sahabat dari Timor Leste. Sahabat itu namanya Bonifasio Pinto. Ia mengisahkan tentang betapa indahnya mereka menikmati kebebasan dalam sebuah negara merdeka dan berdaulat, yakni Timor Leste.
Di sana mereka hidup dalam susana kekeluargaan, penuh persaudaraan, tanpa rasa takut, rasa ditindas atau dieksploitasi sumber daya alam, termasuk rasa tersaingi secara ekonomi seperti pada masa kolonial Portugis sekitar 400 tahun atau aneksasi Indonesia selama 24 tahun (1975-1999).
Advertisement
Ia mengakui bahwa negaranya memang baru saja (20-an tahun) merdeka dari Indonesia melalui jajak pendapat atau referendum, 30 Agustus 1999, tentu pertumbuhan ekonomi di negara itu belum begitu membaik (berada di urutan ke-10 berdasar pada Produk Domestik Bruto atau GDB per kapita dari 11 negara Asia Tenggara tahun 2024). Namun, proses kemajuan ekonomi masyarakat di sana terus digenjot oleh pemerintah dan tengah menuju arah yang lebih baik. Karena persaingan ekonomi di berbagai sektor hanya terjadi pada sesama pelaku ekonomi yang mayoritas adalah penduduk pribumi Timor Leste.
Ia membandingkan hal tersebut dengan masa pendudukan Indonesia di Timor Leste selama 24 tahun, sangat buruk kondisi ekonominya. Masyarakat asli Timor Leste sulit berkembang karena semua sektor ekonomi dikuasai oleh para warga pendatang dari Nusantara lainnya. Apalagi penduduk lokal kala itu tidak diberi kemudahan atau dukungan oleh pemerintah Indonesia berupa proteksi, afirmasi, dan pemberdayaan secara ekonomi, terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), hingga masyarakat pribumi pun harus harus termarginalisir di atas negerinya sendiri.
Menurut Pinto, kemerdekaan Timor Leste menjadi gerbang emas yang membawa atmosfer positif bagi kemajuan ekonomi masyarakat Timor Leste. Kemerdekaan merupakan wujud demokrasi dan kebebasan kepada masyarakat Timor Leste menentukan sendiri segala tata kelola pemerintahan maupun sistem ekonomi. Mereka menganggap bahwa kebebasan sejati berupa kemerdekaan menjadi sumber masa depan mereka, bukan kebebasan semu seperti otonomi khusus maupun pemekaran daerah otonomi barau (DOB).
Kebebasan menjadi pintu masuk bagi pembaruan dan penataan diri dalam segala aspek kehidupan yang tidak adil: kemiskinan, kebodohan, ketinggalan, dan diskriminasi yang sengaja dikondisikan oleh Indonesia di masa lalu. Persaingan ekonomi di Timor Leste sekarang ini, kata Pinto, tidak begitu pelik seperti pada masa Indonesia masih mengokupasi “Bumi Lorosae” itu selama lebih dari dua dekade.
“Sekarang dalam dunia ekonomi atau pasar di Timor Leste dikuasai kami sendiri (orang asli Timor Leste), kami merasa berkembang ketika kami bebas bersaing di antara kami sendiri,” kata pria yang berprofesi sebagai pegawai pelabuhan di Dili, itu. Memang benar adanya ungkapan the secret of happiness is freedom, rahasia kebahagiaan adalah kebebasan.
Semua makhluk hidup di bumi ini membutuhkan kebebasan termasuk manusia, karena tanpa kebebasan, tidak ada kehidupan, absennya keadilan, dan perdamaian menjadi sebuah keniscayaan (inevitability). Maka, siapa pun yang sengaja merenggut kebebasan setiap orang, ia telah membunuh kebahagiaan orang tersebut, padahal kata filsuf Aristoteles bahwa hakikat dari hidup manusia adalah mengejar kebahagiaan (eudaimonia).
Setidaknya, cerita di atas sedikit similar dengan apa yang digambarkan oleh seorang psikiater, dokter, dan cendekiawan Prancis keturunan Karibia, Frantz Fanon (1925-1961), perihal histori kehidupan orang-orang kulit hitam di Afrika dan Karibia pada zaman kolonialisme Eropa, seperti Aljazir, Zenegal, Haiti, Saint Martin, Saint Lucia, Gualeoupe, dan Martinique.
Kolonialisme adalah penjajahan atau dalam pengertian lain, kolonialisme merupakan paham tentang penguasaan oleh suatu negara atau bangsa terhadap daerah atau wilayah lain dengan maksud memperluas wilayah. Ekspansi kolonial dengan segala jenis motifnya, seperti mengeksploitasi sumber daya alam, sumber daya manusia (pemerasan tenaga penduduk asli untuk bekerja), penduduk (migrasi besar-besaran penduduk dari daerah asalnya ke negeri asing dan menjadikannya sebagai tanah air baru), transmigrasi ( menampung kepadatan penduduk akibat ledakan demografi).
Menurut Fanon bahwa kolonialisme merupakan salah satu akar ketidakmajuan ekonomi penduduk pribumi di negara-negara tersebut. Penduduk pribumi hidup dalam ketidakadilan dan penuh diskriminasi, tidak diberikan kesempatan atau stimulan berupa pembinaan dalam pertumbuhan sumber daya manusia, baik pendidikan formal, pelatihan, penyediaan fasilitas pelatihan, peralatan kerja, akses kredit, izin, dan segala urusan administrasi, kecuali dipakai sebagai tenaga buruh kasar, dengan sistem perbudakan, slavery.
Fanon menegaskan kolonialisme adalah akar kejahatan dan sekaligus sumber ketidakmajuan penduduk pribumi. Sampai kapan pun, penduduk pribumi tidak akan maju bila praktik-praktik kolonialisme itu masih ada. Para kolonial menipu penduduk pribumi dengan berbagai pembanguan fisik yang bermegah dan berkilauan, sambil menguras dan merampok sumber daya alam mereka, tanpa memajukan sumber daya manusia dan ekonomi penduduk pribumi.
Penjajah tidak pernah memiliki niat baik untuk memajukan sumber daya manusia maupun kemandirian ekonomi penduduk pribumi, kecuali menindas, dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam, merusak lingkungan, menghancurkan budaya, sejarah, dan melakukan pembunuhan secara perlahan (slow genocide) terhadap penduduk pribumi.
“Mau menguasai suatu daerah tertentu, pertama adalah rebut semua tanah milik penduduk asli dan kedua hancurkan semua budaya mereka,” ujar Fanon. Rasa-rasa benar apa yang dikatakan Presiden Transisi Burkina Faso Ibrahim Troare, “When people want to conguer you, they first attack your culture. We’re reviving our culture,” (ketika orang ingin menaklukkan Anda, mereka pertama-tama menyerang/menghancurkan budaya Anda. Kami menghidupkan kembali budaya kami).
Meski penduduk pribumi dimodali uang yang banyak, dibangun pasar yang mewah, jalan raya yang bagus, dan disekolahkan bidang ekonomi bisnis maupun manajemen yang baik di berbagai universitas bergengsi di dunia, tanpa dukungan sistem yang adil, penduduk pribumi akan terbentur dan sulit dalam membangun kemandirian ekonominya. Mereka tetap stagnan dan terhimpit secara ekonomi, bukan karena mereka malas dan bodoh, tetapi sistem kolonialisme memungkinkan demikian.
Apalagi dalam dunia bisnis atau usaha yang ada adalah persaingan bebas, ini akan mengancam penduduk pribumi yang belum memiliki bekal pengalaman atau pengetahuan yang cukup tentang bisnis atau usaha akan terempas dan tersingkir dari kompetisi pasar dan terjadilah apa yang disebut dalam teori utilitas John von Neumann dan Oskar Morgenstern dalam buku Theory of Games and Economic Behavior (1944), yakni,” Zero sum game”. Artinya situasi di mana keutungan dimenangkan oleh satu pihak atas kekalahan orang lain, atau singkatnya yang kuat akan hidup dan lemah akan mati (kuat makan yang lemah).
Bila terjadi itu, maka penduduk asli tidak memiliki masa depan, selain semuanya hanya akan berebutan pekerjaan di kantoran, sebagai satu-satunya sumber (lahan) masa depan mereka untuk bekerja. Namun, kantoran pun hanya dipertunjukkan wajah kamuflase yang penuh dengan intrik: kecurangan, stigma negatif, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang tiada ampun. Orang yang bisa bekerja di kantor pemerintah maupun swasta adalah mereka yang miliki keluarga dengan para penguasa atau pejabat setempat. Juga mereka memiliki relasi dengan kekuasaan, termasuk mereka yang mampu membayar (menyogok).
Jadi, penduduk pribumi tidak bisa dibiarkan begitu saja untuk ikut berkompetisi dalam pasar bebas tanpa dikawal atau diberi jaminan proteksi yang pasti, mereka tidak akan bisa bersaing dengan kaum migran (non-pribumi) yang datang dengan segala bekal pengalaman maupun pengetahuan bisnis yang mumpuni. Penduduk pribumi bisa bersaing dan sukses dalam membangun kemandirian ekonominya hanya dengan cara bersaing antar-sesama warga pribumi itu sendiri.
Solusi untuk OAP
Dari semua uraian tersebut dapat memberi gambaran yang sama dengan apa yang terjadi di Tanah Papua sejak Indonesia menyatukan Papua menjadi bagiannya melalui referendum “bermasalah” tahun 1969. Di mana selama hampir 60 tahun Papua menjadi bagian dari Indonesia, kehidupan orang Papua dalam segala aspek kehidupan, termasuk ekonomi sangat memburuk.
Bahkan di era Otonomi Khusus (Otsus) yang dianggap sebagai salah satu babak baru semi kebebasan dalam sejarah politik orang Papua pun belum memberikan impas yang signifikan bagi kemajuan ekonomi orang asli Papua (OAP). Padahal ditaksir tak kurang dari 1000 trilun rupiah dana Otsus yang telah digelontorkan ke Tanah Papua sejak tahun 2001-2024, namun angka kemiskinan masih ada bahkan kian meningkat.
Misalnya, laporan BPS Provinsi Papua, persentase penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 26,03 persen atau peringkat pertama dari 10 provinsi dari penduduk miskin terbanyak di seluruh Indonesia dan Papua Barat berada pada peringkat kedua sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia.
Segala dekadensi ekonomi penduduk asli Papua ini terjadi karena pemerintah pusat dan pemerintah daerah di seluruh Tanah Papua belum secara tegas dan konsisten melaksanakan Otonomi Khusus, sesuai filosofi lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2001 yang telah diubah menjadi UU No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yakni proteksi, afirmasi, dan pemberdayaan orang asli Papua. Padahal, secara konseptual, otonomi khusus merupakan setengah dari kemerdekaan politik suatu daerah atau wilayah.
Dimana secara totalitas dilakukan desentralisasi administratif atau devolusi, yakni pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat dari suatu negara berdaulat kepada pemerintah pada tingkat subnasional, baik tingkat regional, lokal, atau negara bagian, yang segala kebijakannya harus dilakukan secara murni dan konsekuen, seperti Inggris melakukan kebijakan otonomi khusus untuk Skotlandia dan Kanada pemberlakuan otonomi luas untuk Quebec.
Bahkan daerah berstatus otonomi khusus bisa dibilang selinear atau derajatnya sama dengan negara protektorat. Adalah merupakan suatu wilayah masih bergantung pada suatu negara berdaulat, tetapi negara berdaulat tersebut memberikan otonomi lokal dan kemerdekaan kepada warganya (CNN Indonesia, 2024). Meski masih bergantung pada berbagai keputusan dan perlindungan dari negara berdaulat yang ditandatangi dalam sebuah perjanjian bilateral antara negara protektorat dan negara berdaulat, negara protektorat memiliki kekuasaan penuh dalam melaksanakan otonominya.
Bila otonomi khusus di Papua dioperasikan secara penuh, tentu nuansanya akan sama seperti negara protektorat, walaupun negara protektorat masih terikat dengan sejumlah aturan yang diterapkan oleh negara berdaulat yang menjadi haknya, masih mengadopsi bendera negara berdaulat sebagai identitas nasional negaranya. Juga tak memiliki hubungan diplomatik dengan negara luar, kecuali atas persetujuan negara berdaulat, tetapi kebebasan dalam negara protektorat dalam penyelenggaraan pemerintahannya sangat terasa, sehingga tujuan keadilan, kesejahteraan, dan ketenteraman bagi masyarakat terwujud.
Namun, fakta implementasi Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua belum memberi dampak signifikan bagi OAP. Justru kebijakan yang dinilai oleh sejumlah kalangan nasionalis Papua sebagai “gula-gula” politik Jakarta, itu memberi citra buruk bagi kehidupan OAP, sebagai bentuk anomali dari makna Otsus itu sendiri. Tak kurang dari 20 tahun, kebijakan pemerintah Indonesia berupa Otsus kepada warga Papua yang digulirkan sejak tahun 2001, belum sepenuhnya menjawab aneka persoalan substansial rakyat Papua, termasuk kemandirian ekonomi OAP.
Otsus hanya indah dalam teks dan nikmat untuk didengar dengan tiupan-tiupan pidato penguasa Indonesia dan wejangan-wejangan manis dari elite politik lokal oportunis Otsus Papua, tetapi nihil pelaksanaannya. Otsus adalah kebijakan politik Jakarta yang kaya norma, tapi miskin makna (atau indah kabar daripada rupa). Rakyat Papua belum merasakan Otsus, mereka justru seperti kembali hidup di era sebelum pelaksanaan Otsus (1963-2021), atau hidup dalam sistem kolonial, yang merupakan salah satu bentuk kendali yang dilakukan langsung oleh pemerintah Indonesia (pusat) tanpa ada bentuk pembebasan.
Maka, mau menguji kemajuan dan kemandirian ekonomi orang asli Papua (OAP), tentu harus ditempuh adalah negara melalui pemerintah yang berkuasa harus mengintervensi proses aktivitas pasar dengan mengeluarkan berbagai regulasi yang bisa memproteksi eksistensi penduduk pribumi Papua, terutama dalam bidang ekonomi (sebagai wujud diskriminasi positif).
Sebagaimana dikatakan Adam Smith (1729-1790), akonom kenamaan Inggris melalui gagasannya yang terkenal pada Abad ke-19, yakni “laissez faire, laissez passer (serahkan segala kegiatan ekonomi kepada pasar). Smith berpendapat agar pemerintah sebagai pemegang kendali politik negara melakukan intervensi dan campur tangannya seminimal mungkin dalam perekonomian (Deliarnov, 2015).
Misalnya, pertama, pemerintah hentikan semua penduduk migran (non-pribumi) untuk melakukan segala aktivitas bisnis atau dagang yang telah adan bisa digeluti serta dilakukan oleh penduduk pribumi. Termasuk mengendalikan arus mobilisasi penduduk migran yang terus masuk ke Tanah Papua, hingga berekses pada perebutan potensi ekonomi atau bisnis orang asli Papua.
Kedua, memberikan kemudahan izin, segala urusan administrasi, maupun kredit bagi penduduk asli Papua (meski pemerintah telah menaikan platform kredit usaha rakyat /KUR tanpa jaminan menjadi 100 juta dari sebelumnya 50 juta, tapi dalam faktanya masih banyak kesulitan bagi OAP). Ketiga, bila Otsus sebagai semi dari kebebasan atau kemerdekaan, benar-benar tidak bisa memperbaiki hidup rakyat Papua dalam segala aspek kehidupan, termasuk ekonomi, maka diharapkan negara melalui pemerintah yang berkuasa harus bersikap arif, bijak, dan objektif untuk memahami bahwa air dan minyak tidak pernah bisa menyatu.
Artinya penduduk pribumi Papua tidak bisa bersaing dengan penduduk imigran (non-Papua), karena sistem yang di-design oleh negara mengalami kekeringan moral yang diciptakan untuk tujuan-tujuan implisit, kamuflatif, diskriminatif, dan sarat kepentingan politis, yang telah gagal memanusiakan dan mengindonesikan orang Papua.
Karena itu, saatnya dibutuhkan keberanian penguasa Indonesia untuk memberikan kebebasan “penuh" yang levelnya lebih tinggi dari sekadar kebebasan semi yang bersifat semu dari kebijakan politik berupa Otonomi Khusus kepada orang Papua. Hal itu dilakukan agar orang asli Papua bisa bebas bersaing antar sesama orang Papua sendiri dalam segala aspek kehidupan, terutama demi kemajuan dan kemandirian ekonominya. Kebebasan penuh seperti apa yang dimaksud, tentu pembaca sendirilah yang punya otoritas untuk menjawabnya! Liberte.
***
*) Oleh : Thomas Ch. Syufi, Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |