
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pondok pesantren (ponpes) adalah model lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang kini terus berkembang dan banyak memberikan kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehadiran ponpes tidak hanya mencetak santri yang berilmu dan bertakwa, tapi juga mencetak santri menjadi entrepreneur dan pembisnis kreatif, inovatif dan berdaya guna.
Ponpes tidak hanya mengajarkan kitab kuning berbasis tauhid, fikih, akhlak dan tasawuf. Santri juga tidak hanya menghafal Al-Quran, tapi santri juga dibekali kemampuan untuk berwirausaha untuk mengelola pertanian, peternakan, perikanan, atau membuat produk kreatif bisa dijual dan dipasarkan, baik secara tatap muka atau online.
Advertisement
Santri tidak hanya hidup dengan kesederhanaan, tapi juga hidup mandiri tanpa menyusahkan orang lain. Mental berwirausaha perlu ditanamkan ke jiwa santri agar lebih berdaya guna untuk dirinya sendiri, bahkan memberdayakan orang lain untuk bisa sama-sama maju.
Pendidikan pesantren berbasis entrepreneur menjadi dasar yang tercermin dari kisah Nabi Muhammad SAW ketika masih kecil, remaja dan dewasa. Saat itu, Muhammad (Dalam konteks sejarah ketika sebelum jadi nabi dan rasul) sudah mempunyai mental entrepreneur. Ketika masa kecil hingga remaja, Muhammad adalah seorang pekerja, pembisnis dan pedagang. Kesederhanaan, kemandirian, dan berdaya guna sudah tampak dalam dirinya.
Ketika usia 8 tahun, Muhammad sudah mempunyai kemandirian untuk bekerja menjadi pengembala kambing dan domba. Banyak orang-orang yang percaya kepadanya untuk menitipkan kambing dan dombanya untuk dipelihara. Pada saat itu, orang-orang disekitarnya tidak meragukan kredibiltas Muhammad karena perangainya dihiasi sifat mulia seperti kerja keras, pantang menyerah, jujur, dan apik menggembala kambing dan domba. Berbeda dengan anak-anak sebayanya.
Setidaknya, ada beberapa hal positif yang didapat dari hasil mengembala domba, yaitu tidak melatih diri dari tataran fisik dan psikis, tetapi juga teknis, operasional, konseptual dan manajerial. Hal inilah yang juga membentuk mental entreprenuer Muhammad.
Dengan menggembala domba, Muhammad juga membantu ekonomi sang paman, Ali bin Abi Thalib. Muhammad tidak ingin menyusahkan pamannya dan ingin membantu perekonomiannya. Ketika usia 11 tahun, Muhammad diajarkan berdagang dan berbisnis oleh sang paman dan melakukan perniagaan ke Syam. Modal ini menjadi bekal Muhammad menjadi pedagang dan pembisnis sukses ketika usia muda.
Beranjak usia 25 tahun, Muhammad sudah diberikan amanah untuk membawa barang dagangan seorang pemilik saudagar yang cantik, Siti Khadijah, yang kelak akan menjadi istrinya. Siti Khadijah terpesona dengan kerja keras, kejujuran, kedisplinan dan cara Muhammad berdagang. Bekal ini sudah ia dapatkan ketika diajarkan sang Paman agar menjadi seorang pedagang dan pembisnis yang piawai, kredibel, dengan dihiasi sifat yang cerdas, benar, jujur, dapat dipercaya, dan dapat menyampaikan dengan baik.
Sebelum wahyu turun menjadi nabi dan rasul, sejarah banyak mengkisahkan bahwa Muhammad adalah seorang pengembala (pekerja), enterpreneur, dan pembisnis andal. Ketika di usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW mendapat wahyu kemudian sudah fokus berdakwah, baik secara sembunyi dan terang-terangan.
Seyogyanya, kisah Nabi Muhammad SAW ketika kecil, remaja dan dewasa menjadi cerminan untuk para pengasuh ponpes untuk mengajarkan santri kemandirian yang dibekali dengan kemampuan entrepreneurship.
Keunggulan ponpes memang mempunyai corak yang berbeda-beda, semua bisa disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki. Setidaknya, ketika mereka sudah lulus dari ponpes, tidak hanya menjadi guru, ustadz, dan ulama, tapi juga sekaligus menjadi pengusaha, pembisnis dan pedagang.
Pendidikan pesantren berbasis entrepreneurship bisa menjadi bagian kurikulum ponpes atau sekolah. Ponpes pun bisa berkolaborasi dengan lembaga pemerintah, swasta, komunitas dan aktivitas-aktivitas kemasyarakatan yang bisa memberikan pengetahuan, pengalaman, inspirasi, sehingga santri akan mempunyai kemampuan hidup (life skill), nilai-nilai (soft skill), teknis dan operasional (hard skill).
Entrepreneurship akan membentuk mental santri yang mempunyai etos kerja yang tinggi, hidup mandiri dan berdaya guna. Santri akan memiliki kreativitas dalam menghasilkan produk inovatif. Santri bukan hanya mempunyai pengetahuan agama yang mumpuni yang berkiprah di masyarakat, tapi juga mempunyai jiwa wirausaha yang mempunyai visi jauh ke depan untuk memberikan kemaslahatan yang lebih luas.
***
*) Oleh: Deni Darmawan, Da’i MUI Angkatan Ke-24, Guru Agama Intercultural School dan Dosen Universitas Pamulang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |