Memberangus Kemerdekaan Pers Berarti Membelokkan Tujuan Bangsa

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sebagaimana kita ketahui pilar demokrasi itu ada 4, antara lain eksekutif, legislatif, yudikatif dan Pers. Keempat pilar tersebut memiliki makna yang strategis dan urgen keberadaannya. Maka jika eksistensi salah satu pilar tersebut dimatikan, maka telah membelokkan arah pembangunan sebuah bangsa, dan ini berbahaya
Kemerdekaan Pers dalam melakukan tugas dan fungsi memberikan chek and balance dalam pelaksanaan pemerintah. Pemerintah perlu keseimbangan dalam menjalankan tugas dan fungsi, agar apa yang dilakukan sesuai dengan track yang benar. Pengebirian berupa pembatasan fungsi Pers khususnya dalam liputan eksklusif investigasi jurnalistik akan berdampak negatif pada penindakan kasus korupsi. Hasil liputan investigasi seringkali membantu aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan atau penanganan perkara korupsi.
Advertisement
Data dan Informasi mendalam yang dihasilkan para jurnalis juga ikut memberikan informasi kepada penegak hukum untuk mengambil tindakan atas peristiwa dugaan kasus korupsi maupun pelanggaran lainnya. Selain itu, dalam konteks penuntasan kasus korupsi, liputan investigatif kerap kali bisa membongkar aspek yang tidak terpantau, sehingga jadi trigger bagi penegak hukum menuntaskan perkara.
Berikut ini beberapa pasal krusial dalam RUU Penyiaran yang harus kita lawan dan kita tolak bersama sama antara lain sebagai berikut:
Pertama, Pasal 8A ayat 1 huruf (q). Pada pasal 8A ayat 1 huruf (q) di draf RUU tentang Penyiaran versi 27 Maret 2024 tertulis Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang "menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran".
Pasal ini tumpang tindih dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers, yang menyebutkan bahwa sengketa pers semestinya diselesaikan oleh Dewan Pers. Ketentuan ini sudah tertera di pasal 15 ayat 2 huruf (d) yang berbunyi Dewan Pers ‘memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers’.
Kedua, Pasal 42 ayat 2. Pasal 42 ayat 2 di draf RUU tentang Penyiaran versi 27 Maret 2024 tertulis "penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Sama seperti pasal sebelumnya, pasal 42 ayat 2 di draf RUU tentang Penyiaran ini juga tumpang tindih dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers, yang menyebutkan bahwa sengketa pers semestinya diselesaikan oleh Dewan Pers.
Ketiga, Pasal 50 B ayat 2 huruf (c). Berikutnya pada pasal 50 B ayat 2 huruf (c) di draf RUU tentang Penyiaran versi 27 Maret 2024 termaktub masalah Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai "penayangan eksklusif jurnalistik investigasi". Kami menganggap pasal larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi merupakan bukti nyata pembungkaman terhadap kebebasan pers.
Padahal jurnalisme investigasi merupakan salah satu produk pers, produk wartawan, dalam mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita yang bersifat investigatif, atau sebuah penelusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan. Selain itu, investigasi merupakan penelusuran terhadap kasus yang bersifat rahasia.
Keempat, Pasal 50B ayat 2 huruf (k). Pasal karet lainnya yang ada di draf RUU tentang Penyiaran versi 27 Maret 2024 yakni pasal 50B ayat 2 huruf (k) yang mengatur Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Kami menduga pasal karet ini bertujuan untuk menyandera wartawan, bahkan sangat mungkin seorang wartawan nantinya dijebloskan ke penjara, dengan dalih pencemaran nama baik mengacu pada pasal di draf RUU tentang Penyiaran ini dan pasal yang ada di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang kita ketahui bersama di dalamnya terdapat sejumlah "pasal karet" yang dapat mengancam kerja-kerja kewartawanan.
Kelima, Pasal 51E. Kemudian di draf RUU tentang Penyiaran versi 27 Maret 2024 juga terdapat pasal bermasalah, yakni pasal 51E yang tertulis "sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Pasal ini dengan jelas dan terang benderang, bahwa potensi kriminalisasi terhadap wartawan itu nyata dan sangat mungkin terjadi.
Keenam, RUU Penyiaran tersebut bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Pelarangan konten liputan investigasi jurnalistik dalam RUU Penyiaran tidak sejalan dengan nilai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai prinsip Good Governance. Karena karya liputan investigasi merupakan salah satu bentuk paling efektif yang dihasilkan dari partisipasi publik dalam memberikan informasi dugaan pelanggaran kejahatan atau kebijakan publik kepada jurnalis. Produk jurnalisme investigasi juga bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis.
Ketujuh, SIS dalam RUU Penyiaran soal liputan investigasi dapat menghambat pencegahan korupsi. Karya liputan investigasi jurnalistik yang ditayangkan di media tidak hanya sekadar pemberitaan. Tapi lebih dari itu, karya tersebut juga bentuk pencegahan korupsi khususnya di sektor publik. Sebab, hasil liputan yang dipublikasikan di media massa akan menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan korupsi. Tak hanya itu, para koruptor yang berniat melakukan kejahatan bisa jadi akan semakin takut karena khawatir tindakannya terbongkar.
Kedelapan, RUU Penyiaran membungkam kemerdekaan pers dan mengancam independensi media. Dengan larangan penyajian eksklusif laporan jurnalistik investigatif maka pers menjadi tidak profesional dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan (watchdog).
Dari kajian draf tersebut di atas, kita semua warga negara Indonesia jelas akan melihat permainan dan penyelewengan pelaksanaan pemerintah besar besaran ketika fungsi jurnalistik di bredel. Penyelewengan anggaran tidak terkontrol, kreasi awak media untuk melakukan investigasi dibatasi.
Seharusnya pemerintah dan DPR-RI berfikir jauh kedepan agar bangsa ini tetap eksis. Kita semua melihat, fungsi jurnalistik yang memberikan advokasi kebijakan sekarang saja mereka sering tutup mata dan anti kritik. Apalagi ketika RUU Penyiaran dengan berbagai pemberangusan peran dan fungsinya dibatasi, maka arah pembangunan jelas melenceng, korupsi semakin subur dan para aparatur negara berpesta pora melakukan KKN.
Kita semua cinta NKRI, maka dukungan terhadap pembatalan RUU Penyiaran yang jelas membatasi fungsi jurnalistik harus dilakukan bersama sama.
***
*) Oleh : HM Basori M.Si, Direktur Sekolah Perubahan, Training, Research, Consulting, and Advocasy
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |