
TIMESINDONESIA, MALANG – Profesor sejarah abad pertengahan di Baghdad pernah berkata "Kenangan kita tak ada lagi. Tempat lahir peradaban, tulisan, dan hukum, musnah terbakar. Sisanya tinggal abu." Sambil berjalan keluar meninggalkan gedung universitas modern, sebab ada penjarahan buku (Baez, 2021:2).
Kesempatan setiap orang berbeda, ada yang dapat mengenyam pendidikan baik secara formal maupun tidak formal, keduanya terdapat kelebihan dan kekurangan dalam pandangan umum. Namun, setiap manusia perlu belajar walaupun tidak sekolah dengan label pendidikan. Dengan kata lain pendidikan dari dalam rumah semisal, dari bacaan, forum. Lantas pendidikan itu membangkitkan kualitas diri serta menemukan identitas kemampuan dirinya.
Advertisement
Manusia dikatakan selesai dengan diri sendiri ketika menemukan kemampuan dirinya. Ketika ingin menentukan tempat nyaman dalam pengembangan diri yang mendukung, tentu itu kesempatan yang tidak dapat didapatkan setiap banyak orang. Tentu dengan segala kemungkinan dan tidak mungkin dan itu dengan sadar didapatkan.
Menurut Jung (Stein, 2020: 35) sebagai titik pusat virtual dari kesadaran, ego bersifat bawaan, tetapi untuk menjadi pusat yang aktual dan efektif, ia membutuhkan benturan-benturan antara tubuh fisik-psikis dengan lingkungan yang menurut respons dan adaptasi agar ia dapat bertumbuh.
Pertumbuhan manusia pada dasarnya punya kecenderungan untuk mengenalkan diri. Namun pada taraf ini terkait kemampuan diri. Dengan kata lain identitas ingin dikenali sebagai manusia manusia dengan dalih ini merupakan dari bentuk eksistensi dirinya, terkait kelebihan mengenai kemampuan dirinya. Salah satu contohnya seorang ahli pengarang, sastrawan, penulis, dan para kreativitas lain sekurang-kurangnya pernah terbesit untuk mengenalkan atau paling tidak diceritakan kepada orang terdapat untuk meminta saran serta memberikan sebuah komentar atas karya yang dibuat. Hal ini dilakukan setelah dirasa sudah jadi bahkan siap dinikmati orang lain sebagai bentuk mengenal dan mengetahui.
Dalam mengenali diri terhadap kemampuan yang dimiliki tidak semua dapat dilakukan sendiri, terkadang butuh orang lain untuk bisa menemukan atau memantik agar kelebihan dirinya dapat dikembangkan dan mampu menjawab setiap persoalan yang ada dalam dirinya. Tentu, seperti halnya seorang bisa menyelesaikan masalah dengan sendiri ada, ada banyak orang juga bisa menyelesaikan diri perlu bantuan orang lain.
Menggali potensi diri dalam diri kadang dengan sendiri bisa, akan tetapi juga banyak yang perlu bantuan orang lain. Rupa-rupanya guru dalam mengantarkan kita menemukan potensi diri paling kerap. Mulai dari pemahaman terkait ilmu dasar sosial yang terkait etika dan etiket, sejak kecil rasa-rasanya seorang guru mengajarkan ini agar menjadi pribadi baik dalam kehidupan.
Selaras dengan adagium "sepandai-pandainya manusia, jika kelilipan masih membutuhkan orang lain untuk menutupi, atau butuh alat lain untuk menyembuhkan." Manusia secara moralitas sosial butuh orang lain, namun juga dengan pemahaman terhadap sains juga butuh hal lain, semisal membaca teks, membaca teori, dan membaca benda-benda terkait yang ingin dipahami.
Dari perjalanan manusia yang lebih berpendidikan atau bijak dalam menyikapi hidup di muka bumi, perlu namanya pedoman untuk bisa serta menjadi insan sesuai kodratnya, paling tidak bisa menjaga bumi dan isinya, jika belum mampu merawat lantaran belum memiliki modal memadai terkait ilmu dan pengalaman.
Adapun yang dapat dilakukan paling sederhana bagi manusia secara umum. Bisa jadi manusia yang memahami teks (tulisan atau yang masih belum) memiliki keterampilan membaca itu sangat perlu. Lebih penting mampu meng komprehensif kan teks pada kondisi kontekstual juga. Sekurang-kurangnya keterampilan membaca yang paling sederhana dilakukan, yaitu membaca sekitar kita (lingkungan), membaca diri terhadap masalah-masalah yang menimpa serta mencari solusinya. Dalam mencari inilah ragam cara manusia melakukan dengan baik dan benar sesuai kemampuan dirinya serta kondisi serta waktu.
Jika seorang akademisi mungkin, atau mungkin saja, atau bisa jadi tidak, ketika menghadapi sebuah masalah terhadap dirinya tentu mencarinya di sebuah kitab suci, buku, atau jurnal, baik jurnal popular dan ilmiah, atau mencari mentor yang tepat.
Pendidikan yang Mungkin
Pendidikan tak akan menjamin segala masalah dapat diatasi dengan dunia pendidikan, paling tidak membesar kemungkinan menyelesaikan masalah pelik secara personal atau struktural dapat diatasi dengan skema analisis menemukan benang merah sebuah masalah, lalu menemukan solusinya. Sekurang-kurangnya di dunia pendidikan secara tidak langsung mempelajari itu, secara sadar atau tidak itu dipelajari. Dengan kata lain di dunia pendidikan dilatih untuk menjadi manusia terstruktur. Ya, walaupun pada dunia realitas kerap terkait dengan hal praktikal. Paling tidak dengan sadar kalau hidup di dunia bisa struktural, liberal, dan juga bisa absurditas.
Pendidikan secara langsung kerap ingin menanamkan sebuah kesadaran kompleks. Kala kesadaran itu tertanam manusia berpendidikan punya sikap untuk berperilaku dengan sebuah konsep yang tertanam. Agar tetap stabil menghadapi masalah dengan sadar jika semua hal dapat dikerjakan dengan cara-cara paling bijak serta tepat. Paling tidak pendidikan begitu akrab dengan masalah kehidupan manusia--dan paling tidak mampu menjawab masalah itu dengan solusi melalui pola pikir positifnya.
Jung's (Stein, 2020: 35) berpendapat terkait ego, yang membuat ego manusia bertumbuh salah satunya adalah apa yang dinamakan sebagai benturan. Dengan kata lain, konflik, masalah, kesulitan, kesedihan, penderitaan. Hal-hal inilah yang membuat ego berkembang. Tuntutan yang harus dipenuhi seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik dan psikis akan mengusik pusat potensial di dalam kesadaran dan memperkuat kapasitasnya dalam bekerja, agar dapat memusatkan kesadaran dan mobilisasi organisme yang bersangkutan ke arah tertentu.
Pernyataan di atas seolah-olah memberi sebuah gambaran kompleks manusia, yang Sekurang-kurangnya cocok pula ketika dikaitkan dengan harapan seorang dalam mengampu dunia pendidikan secara formal maupun non-formal. Dengan membebaskan kaitan dengan tujuan pendidikan untuk mendapat kerja lebih layak, hal itu bonus dari hasil ego yang lebih dulu diatasi oleh manusia. Pendidikan sekurang-kurangnya mampu memahami dan mengenali ego.
Literasi yang Mungkin
Memahami literasi secara khusus, saya kira dapat dikatakan kemampuan memecahkan sebuah masalah yang dengan sadar diketahui benang merahnya. Semisal problem kita dengan sadar adalah materi (kebutuhan sekunder), maka dengan sadar pula dapat melakukan sesuatu hal dengan praktikal, sesuai apa yang dihadapi. Dengan kata lain berliterasi mampu menganalisis, hasil observasi diri, dan tidak berlebihan bersikap.
Literasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, edisi 2023); literasi merupakan kemampuan menulis dan membaca, arti lainnya; literasi pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; dalam arti lain, literasi kemampuan individu dalam mengelola Informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Semua artian di atas sekurang-kurangnya bentuk personal untuk mencapai tahap lebih baik dalam hidup, setelah menemukan core penting berliterasi di bidang apapun.
Literasi dalam pandangan agama-agama kerap dikaitkan dengan kecakapan baca kitab suci mereka. Hal itu tidak dihindari tugas literasi itu oleh para pengikut agama lain. Dengan kata lain, kalau literasi sebuah keharusan dilakukan oleh umat beragama. Paling tidak mampu mengusung tugas tersebut. Jika di agama Islam tugas tersebut secara langsung diturunkan kepada Nabi Agung Muhammad Saw. Dalam riwayatnya surat pertama turun kepadanya "Al-Alaq ayat 1-2" yang artinya "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan seluruh makhluk."
Potongan ayat tersebut dalam Islam sangat punya penekanan perintah tersendiri, dalam memaknai lebih dalam kata "bacalah" bentuk kata tugas secara etimologi, kata "baca" terdapat pada jenis kelompok kelas kata 'verba' yang artinya kata kerja yang bertindak, lalu dapat partikel jenis "lah" yang memiliki arti lain kalimat perintah. Sehingga "bacalah" merupakan perintah yang seolah-olah sangat dianjurkan dan dianjurkan dilakukan oleh karena itu "lah" menekan. Hal ini sebuah usaha yang Allah Swt., dalam kitab suci memerintahkan untuk membaca, tentu membaca dalam artian luas, dengan tetap sadar menyebutkan nama Tuhan Yang Maha Esa segala kemudahan dan kesempurnaannya.
Pendidikan dan literasi sebenarnya kesempatan yang perlu dikembangkan bagi siapapun. Entah itu bisa jadi dasar hidup atau tidak sama sekali tidak ada kaitan dengan hidupnya. Dengan kata lain beruntunglah dan bersyukurlah punya kesempatan mengenyam pendidikan yang dekat dengan akses; lingkungan baik, buku, dan fasilitas yang mampu mengasah pengembangan diri. Sejalan dengan pendapat Goenawan Mohamad, kemampuan membaca itu sebuah rahmat. Kegemaran membaca; sebuah kebahagiaan. Semoga kami masyarakat dapat rahmat itu.
Adapun, bagi yang belum dan tidak punya kesempatan sama karena banyak faktor, salah satunya mahalnya pendidikan akhir-akhir ini jadi kegelisahan bersama. Mari bergeraklah semua para pendidik di Indonesia untuk tetap memberikan edukasi dengan cara-cara menyebarluaskan kemudahan belajar dengan mudah dan menggunakan media sosial dan akses lainnya. Tentu masalah pendidikan akhir-akhir ini ramai karena pendidikan mahal. Paling tidak kita semua sadar tetap memberikan pelajaran kepada khalayak umum yang tidak punya kesempatan sama untuk terus belajar. Terus sebar platform belajar dengan platform mudah diakses, berharap ini alternatif belajar dan bisa membuat kita semua sukses.
“Mari kita gaungkan bahwa pendidikan itu penting. Jika sadar bahwa pendidikan penting, kita sadar pula jika tidak pentingnya berpendidikan itu, tapi tidak punya semangat belajar, maka belajar teruslah yang lebih penting.” Tetaplah yakin dan sadar, bahwa dengan keduanya kita bisa beradaptasi, siapa yang beradaptasi akan bertahan, bertumbuh, berkembang, dan berbuah, serta dapat dipetik, lalu tumbuh lagi. (*)
***
*) Oleh : Akhmad Mustaqim, Tenaga Pendidik dan Pengajar enrichment book writing Thursina IIBS Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |