Bumerang Kebijakan Kenaikan Tarif UKT: Buah Simalakama bagi Pengelola Prodi

TIMESINDONESIA, MALANG – "Kebijakan baik dengan niat baik namun tidak tersampaikan dengan baik, akhirnya menjadi bumerang dalam implementasinya": sebuah pembelajaran penting bagi para pengambil kebijakan pendidikan kedepannya.
Pada tahun 2024 ini APBN pendidikan Rp600 trilun lebih. Namun yang dikelola oleh Kemendikbud Ristek hampir mendekati angka Rp100 triliun. Berarti Rp500 triliun lainnya dikelola oleh kementrian lainnya yang juga menangani pendidikan disektornya seperti pendidikan di Kemenag, Kemendagri, Bappenas dll.
Advertisement
Dari Rp100 triliun tersebut Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia dialokasikan sekitar Rp40 triliun untuk menangani sekitar 4004 PT Negeri dan swasta di Indonesia. Kalau dibagi secara kasar maka rata2 sktr 10 Miliar per PT. Walau dalam praktiknya tidak demikian. Hal ini menunjukkan PT dituntut memenuhi kebutuhan anggarannya sendiri.
Kebijakan mem PTNBH kan PTN dapat dilihat sebagai upaya untuk mendeklarasikan kemandirian PTN dan mengurangi ketergantungannya pada subsidi pemerintah. Dalam praktiknya, strategi PT menaikkan dan mempertahankan jumlah mahasiswanya adalah agar cash flownya tetap aman terkendali terutama kontribusi dari uang kuliah mahasiswa. Bahkan di PTN ada total dana yang dikelola mencapai Rp2 triliyn sampai Rp3 triliun.
Sebagian besar dana yang didapat PT baik Negeri maupun Swasta masih tergantung dari UKT (uang kuliah tunggal) mahasiswa. Apalagi Kemendikbud Ristek mendorong PT terutama PTN di Indonesia memenuhi capaian target IKU/ KPI nya (key performance indicators) dan mendorong kenaikan rankingnya dalam urutan tangga World Class University.
Hal ini tentu memerlukan dana untuk menaikan kualitas agar ranking terus terdongkrak. Namun suntikan dana APBN belum mencukupi.
Salah satu jalan pintas adalah menaikkan UKT baru untuk mahasiswa baru. Namun tetap mempertahan UKT lama untuk mahasiswa lama sesuai harga lama.
Hal ini belum sepenuhnya tersosialiasasikan, sehingga ada orang tua mahasiswa lama menanyakan berapa kenaikan biaya UKT untuk putra putrinya. Timbul opini publik, PTN dan Kemendikbud Ristek (Pemerintah) menaikkan UKT. Dampaknya gelombang protes demo mahasiswa dan pendukungnya bermunculan.
Hal yang belum sepenuhnya tersampaikan adalah ada sisi baik dari rencana kenaikan UKT ini yaitu untuk cross subsidy mahasiswa dari lantar belakang orang tua berpenghasilan tinggi ke rendah.
Seperti prodi-prodi yang kami kelola. Dulu dengan tarif lama diterapkan 8 level/jenjang tarif, yaitu mulai range yang terendah Rp500 ribu (latar belakang mahasiswa dari keluarga penghasilan rendah) sampai dengan Rp8 juta (untuk mahasiswa asal keluarga penghasilan tinggi).
Pada tarif baru berubah menjadi 12 level yaitu tarif range terendah tetap Rp500 ribu sedangkan teratas Rp14 juta. Subsidi silang terjadi ketika mahasiwa berpenghasilan rendah yang dulu ditarif lama masuk kelas level 3, dan terkena UKT Rp3 juta. Maka ditarif yang baru pada level 3 malah turun tarifnya hanya terkena sekitar Rp1, 5 juta (baca: ada penurunan untuk mahasiswa keluarga berpenghasilan rendah).
Namun sebaliknya untuk mahasiwa keluarga kaya (berpenghasilan Rp50 juta lebih per bulan) ditarik UKT yang lebih tinggi yaitu Rp14 juta per semester, dibandingkan tarif lama hanya maksimal Rp8 juta per semester (ada 6 bulan) atau sekitar 1,3 juta lebih per bulan. Terjadilah subsidi silang dari mahasiswa asal keluarga berpenghasilan tinggi ke rendah.
Hanya saja pesan ini tidak sepenuhnya tersampaikan. Bahkan yang diangkat media adalah UKT naik. Kurangnya sosialisasi menyebabkan info menjadi bola liar. Niat baik kebijakan kenaikan UKT untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan subsidi silang tadi minim tersampaikan ke publik. Yang terbaca pendidikan tinggi semakin mahal dan semakin tersier menjadi barang mewah yang tam tersentuh untuk mahasiswa asal keluarga kurang mampu.
Pada klimaksnya, kebijakan ini dibatalkan oleh Mendikbud Ristek atas arahan Presiden RI, sehingga otomatis kembali ke tarif lama.
Anulir kebijakan ini menimbulkan problem tersendiri bagi kami pengelola prodi di PT, karena beberapa mahasiswa baru yang sudah diterima terlanjur membayarkan SPP nya sesuai tarif baru yang sudah diumumkan sebelumnya.
Contoh ada mahasiswa baru yang tadinya masuk level 3 dengan tarif Rp 1,5 juta dan sudah membayarkan dananya, maka dengan pembatalan kebijakan tarif baru tersebut akan dikembalikan ke tarif lama. Padahal mahasiswa tersebut jika dimasukkan ke tarif lama maka UKT nya akan jadi naik 2 x lipat yaitu sekitar Rp 3 juta.
Hal ini akan memantik protes demo baru lagi, yaitu mahasiswa baru asal keluarga kurang mampu dikelas tarif level 3 dinaikkan tarifnya karena kembali ke tarif lama.
Inilah yang menjadi buah simalakama pagi pengelola di level bawah. Oleh karena itu yang paling aman mahasiswa tersebut diturunkan kelasnya ke level tarif dibawahnya 2 atau 1, dengan konsekuensi menurunkan pendapatan PT.
Sebaliknya untuk mahasiswa keluarga berpenghasilan tinggi yang masuk kelas level tarif 12 sudah terlanjur membayar Rp14 juta maka terpaksa harus dikembalikan uangnya Rp 8 juta sesuai dengan tarif lama kelas tertinggi hanya level 8.
Konsekuensinya pendapatan PT akan terpangkas dari prediksi sebelumnya. Padahal kenaikan pendapatan tsb untuk rencana meningkatkan kualitas dan kinerja PT menuju world class university.
Lalu what is the next?
Kedepan strategi anggaran harus mencari peluang alternatif baru. PT sudah seharusnya meninggalkan strategi lama yang menggantungkan mayoritas 80-90% anggarannya dari dana uang kuliah mahasiswa dan dana subsidi APBN.
Seharusnya kemitraan trihelix, pentahelix bahkan multihelix lihat model kebijakan publik CGPMH (Collaborative Governance Plus Multi Helix by Andy Fefta W) antara PT dengan Industri dan Helix lainnya dapat dijadikan inspirasi kedepan bagi para pengambil kebijakan di Kemendibud Ristek ataupun Perguruan Tinggi untuk mengkreasikan kebijakannya sehingga kontribusi dana sektor industri kedunia pendidikan akan semakin tinggi share nya ke PT.
Ristek akan menjadi peluang kerjasama yang saling bermanfaat dan dapat dapat menyuntikkan dananya sektor industri ke PT. Usaha-usaha kreatif PT juga perlu terus berkembang.
Strategi kewirausahaan dan inovasi Iptek bermitra dengan dunia usaha perlu menjadi perhatian utama. Termasuk peluang mengumpulkan endownment fund (dana abadi) untuk pendidikan.
Kedepan, share dana UKT mahaiswa bisa tertekan sampai angka di bawah 50% dari total anggaran sebuah PT maka bolehlah kita mendeklarasikan keberhasilan kemandirian PT termasuk kemandirian dari ketergantungan UKT mahasiwa. Pada kesempatan ini kita punya peluang untuk terus menekan biaya pendidikan atau menurunkan UKT mahasiswa kedepannya.
Hal ini sejalan dengan tujuan kita bersama dan menjadi agenda utama Presiden terpilih kedepannya pendidikan berkualitas yang terjangkau bagi masyarakat terutama mahasiswa dari kalangan keluarga berpenghasilan rendah.
Strategi tersebut perlu diimbangi dengan langkah lainnya seperti strategi restrukturisasi anggaran dan kelembagaan; revitalisasi SDM; serta yg terpenting reformasi kebijakannya.
Menjadi pekerjaan rumah bagi para pengelola pendidikan untuk memperhatikan 3 peluang sinergi pengembangan program studi yaitu pendidikan jarak jauh dengan metode hybrid dan online, pendidikan pasca sarjana dan internasionalisasi pendidikan berkarakteristik Indonesia. (*)
***
*) Oleh: Andy Fefta Wijaya, Dekan FIA Universitas Brawijaya dan Guru Besar Kebijakan Publik & Ketua Forum Dekan Ilmu2 Sosial PTN se Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |