
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada 29 Mei lalu, Dewan Negara China merilis Laporan Pelanggaran HAM Amerika Serikat (AS) Tahun 2023 atau The Report on Human Rights Violations in the United States in 2023. Laporan ini menjadi salah satu respon China kepada AS yang sering melakukan tindakan unilateral terhadap China baik dalam isu maupun tindakan kebijakan.
Rincian kritik China terhadap AS bersumber dan diambil dari lembaga pemikir, media, lembaga penelitian akademis, dan statistik pemerintah AS.
Advertisement
Dalam rilis Laporan Pelanggaran HAM Amerika Serikat (AS) Tahun 2023 setebal 31 halaman itu, termasuk lima halaman catatan 155 sumber referensi dari hasil riset, survey, berita arus utama media di AS, dan lainnya. China menulis pelanggaran HAM oleh AS di internal hingga global.
Laporan yang berjumlah total 10.663 kata itu terbagi dalam enam bagian: Hak Politik dan Sipil Menjadi Pepesan Kosong, Penyakit Kronis Rasisme, Peningkatan Ketimpangan Ekonomi dan Sosial, Pelanggaran Hak Perempuan dan Anak yang Terus Menerus, Perjuangan Pilu Para Migran Tak Berdokumen, dan Hegemoni AS Ciptakan Krisis Kemanusiaan Global.
Laporan pelanggaran HAM AS di internal mulai dari setidaknya terdapat 654 penembakan massal di Amerika Serikat pada tahun 2023. Sekitar 43.000 orang terbunuh akibat kekerasan senjata pada tahun 2023, dengan rata-rata 117 kematian per hari.
Menurut laporan survei yang dirilis Pew Research Center pada 28 Juni 2023, kekerasan bersenjata di AS diakui secara luas sebagai masalah nasional yang besar dan terus berkembang, dengan 58 persen responden mendukung undang-undang pengendalian senjata yang lebih ketat dan lebih dari 60 persen responden mendukung undang-undang pengendalian senjata yang lebih ketat.
Kolumnis Al Jazeera, Belen Fernandez, dalam artikelnya U.S. Gun Violence: Capitalism is the culprit menyoroti bahwa Amerika Serikat sepenuhnya lebih mengutamakan hasil keuntungan bisnis perdagangan senjata daripada keamanan rakyatnya sendiri.
Dalam laporan tersebut juga disebutkan, pemerintah AS telah melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan membatasi kebebasan berekspresi dan mengawasi privasi warganya. Jumlah dosen yang dihukum atau dipecat karena berbicara dan berekspresi di kampus-kampus AS telah mencapai angka tertinggi dalam 20 tahun terakhir.
Seperti dalam penangkapan dan pelanggaran HAM dalam kebebasan bersuara mahasiswa dan dosen dalam kasus yang aktual terkait protes gerakan mahasiswa Pro-Palestina di kampus-kampus AS.
Selain itu, Etnik minoritas di Amerika menghadapi diskriminasi rasial yang sistemik, dan penyakit rasisme kian meluas. Kemungkinan orang AS keturunan Afrika dibunuh oleh polisi adalah 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih. Pun kemungkinan orang Amerika keturunan Afrika dipenjara oleh polisi, adalah 4,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih.
Sebuah survei yang dirilis oleh Associated Press menemukan bahwa 51 persen warga Amerika keturunan Asia dan Kepulauan Pasifik percaya bahwa rasisme adalah masalah yang "sangat" atau "sangat serius" di Amerika Serikat.
Survei lain yang dirilis pada tanggal 27 April 2023 oleh School of Social Work and Committee of 100 Universitas Columbia, sebuah organisasi non-pemerintah, menunjukkan bahwa hampir tiga perempat orang Amerika keturunan Tionghoa pernah mengalami diskriminasi rasial dalam satu tahun terakhir, dan 55 persen takut akan kebencian, kejahatan atau pelecehan akan membahayakan keselamatan pribadi mereka.
Menurut statistik kejahatan rasial yang dirilis FBI pada Oktober 2023, terdapat sebanyak 2.042 insiden kejahatan rasial berbasis agama di Amerika Serikat pada tahun 2022. Data yang dirilis oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR) pada April 2023, sebanyak 5.156 pengaduan diskriminasi terhadap umat Islam diterima pada tahun 2022, terutama terkait dengan diskriminasi pekerjaan, diskriminasi pendidikan, dan penegakan hukum yang tidak adil, dimana pengaduan terkait pendidikan meningkat sebesar 63 persen dibandingkan tahun 2021.
Pelanggaran HAM Global
Di lingkup global, dalam laporan itu menyatakan AS telah lama menerapkan hegemonisme, unilateralisme, dan politik kekuasaan (machtpolitik), sehingga menciptakan krisis kemanusiaan di mana-mana.
Pasca-Serangan 9/11, total korban tewas setelah AS melakukan kebijakan “War on Terror” di luar negeri, telah mencapai 4,5 hingga 4,7 juta jiwa. Data itu diungkapkan oleh rilis dari Universitas Brown pada Mei 2023. Jumlah kematian yang secara tidak langsung disebabkan oleh gangguan ekonomi terkait perang, kerusakan lingkungan, hilangnya layanan publik, dan infrastruktur layanan kesehatan diperkirakan berjumlah sekitar 3,6 hingga 3,8 juta orang.
Universitas Brown bulan September 2023 juga mengungkapkan bahwa Amerika Serikat telah melakukan operasi yang dikenal sebagai “127e” di negara-negara termasuk Afghanistan, Kuba, Irak, Kenya, Mali, Somalia, Suriah, Yaman, Mesir, Lebanon, Libya, Niger, dan Tunisia.
Menurut laporan di situs The New York Times pada 14 Mei 2023, program “127e” tidak menyebutkan atau menyertakan pelanggaran hak asasi manusia-seperti pemerkosaan, penyiksaan, atau pembunuhan di luar proses hukum Hegemonisme telah membuat AS menciptakan krisis kemanusiaan, melanggar kedaulatan dan hak asasi di negara-negara lain. AS disebut mengirimkan pasukan proksi dan memasok senjata ke zona konflik yang menyebabkan jatuhnya banyak korban sipil.
Menurut laporan The Washington Post pada 11 Desember 2023, amunisi AS senilai miliaran dolar mengalir ke Israel setiap tahun.
Josh Paul, mantan direktur biro urusan politik-militer Departemen Luar Negeri AS, menyatakan dalam sebuah artikel di New York Times pada 18 Oktober 2023, bahwa Amerika Serikat saat ini memberi Israel setidaknya 3,8 miliar dolar AS bantuan militer setiap tahun. Sebagian besar korban jiwa yang parah di Jalur Gaza disebabkan oleh amunisi yang dipasok AS, katanya. Termasuk suplai senjata dan militer AS ke Israel dalam konflik di Gaza.
AS memberikan lebih banyak bukti bahwa nilai-nilai universal yang dianut secara resmi oleh Washington tidak diterapkan secara universal. Ketika kepentingan nasional AS dipertaruhkan, pelanggaran hak asasi manusia tidak selalu menjadi hambatan bagi kebijakannya.
***
*) Oleh : Ahmad Syaifuddin Zuhri, Alumni Master Hubungan Internasional Nanchang University, China Direktur Sino-Nusantara Institute.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |