
TIMESINDONESIA, PADANG – Belakangan ini, isu-isu mengenai krisis pangan semakin banyak digaungkan. Hal ini tidak lepas dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals kedua yaitu Tanpa Kelaparan atau Zero Hunger. Dunia tengah berada dalam ancaman krisis pangan global lantaran terus bertambahnya penduduk dunia namun tidak seiring dengan tingkat produksi bahan pangan.
Sementara itu, hal yang bisa dibilang sangat miris, banyak orang di dunia ini yang membuang-buang makanan atau menciptakan limbah makanan (food waste). Menurut sebuah studi, Indonesia sendiri menjadi produsen limbah makanan terbesar kedua di dunia. Estimasi produksi limbah makanan Indonesia per kapita adalah 300 kilogram per tahun.
Advertisement
Salah satu sumber limbah atau sampah makanan yang umum adalah buah. Buah-buah yang busuk menyebabkan kerugian ekonomi tidak hanya bagi produsen tapi juga konsumen. Lebih buruk dari itu, sampah makanan dari buah-buah busuk itu dapat menciptakan gas cemaran yang dapat memicu peningkatan perubahan iklim.
Untuk menghindari kerugian-kerugian di atas, pengawetan buah harus dilakukan. Salah satu opsi yang dapat diambil dalam upaya ini adalah mengawetkan buah dengan pati yang juga bisa diekstrak dari buah itu sendiri.
Efektifitas Kemasan Berbasis Pati
Salah satu teknologi pascapanen untuk pengawetan buah yang umum adalah pelapisan. Buah yang telah dipanen diproses terlebih dahulu hingga bersih, sebelum kemudian dilapisi dengan berbagai pilihan bahan. Bahan pelapis yang paling umum digunakan pada buah, terutama buah impor, adalah kitosan dan lilin. Namun selain dua bahan itu, pati juga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai pelapis buah.
Pati merupakan salah satu jenis karbohidrat yang merupakan polimer glukosa. Umumnya tanaman menyimpan kelebihan glukosa dalam bentuk pati yang bisa ditemukan pada buah, biji, atau umbi. Pada suhu ruang, pati tidak terlarut di dalam air, berbentuk bubuk putih, dan tidak berbau.
Beberapa tahun ke belakang, pati sudah banyak diteliti sebagai bahan alternatif dalam pembuatan plastik ramah lingkungan hingga pelapis untuk mengawetkan buah. Hal yang menarik dari penelitian itu adalah sifat pati yang tidak beracun menjadikan produk turunannya bersifat edible atau dapat dimakan.
Gupta, dkk., (2023) dalam sebuah artikel di Journal of Agriculture and Food Research melaporkan bahwa pelapis buah berbahan dasar pati mampu memperlambat proses pematangan buah stroberi selama penyimpanan pada suhu 20℃. Pelapisan pati menurunkan susut bobot hingga jumlah bakteri yang menjangkiti buah pada periode penyimpan hingga 18 hari.
Hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Soto-Muñoz, dkk., (2023), mereka menggunakan pelapis berbahan dasar pati kentang dengan campuran natrium benzoat pada buah mandarin. Pelapis tersebut berhasil menurunkan susut bobot dan mengendalikan busuk asam pada buah mandarin yang diuji.
Dari Buah untuk Buah
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pelapis berbasis pati untuk pengawetan buah dapat dikembangkan dari buah itu sendiri. Buah-buah yang rusak dan tidak layak jual dapat diproses untuk diekstrak atau diambil patinya. Selain itu, buah-buah yang kering karena telah disimpan lama juga masih dapat diekstrak patinya.
Beberapa jenis buah seperti pisang dan alpukat memiliki kadar pati yang cukup tinggi. Dua jenis buah tersebut juga seringkali terbuang karena busuk. Baik pisang maupun alpukat merupakan buah klimakterik yang akan terus mengalami pematangan meskipun telah dipanen dari batangnya.
Oleh karena itu, pemanfaatan pati dari buah untuk mengawetkan buah dapat dikatakan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi jumlah limbah makanan, khususnya dari buah-buahan itu sendiri. Namun memang saat ini penelitian mengenai pelapis buah berbahan dasar pati masih terus dilakukan. Hal ini dikarenakan ketahanannya yang belum sebaik bahan pelapis lain seperti kitosan.
Meskipun demikian, pati memiliki potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan menjadi bahan baku pelapis buah atau bahkan makanan lainnya. Manfaat dari pengembangan tersebut adalah bagaimana manusia dapat mengurangi jumlah limbah makanan. Bagaimanapun, pengurangan limbah makanan perlu dilakukan untuk mengurangi kelaparan, meningkatkan pendapatan, pengurangan perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan pangan.
Semua hal di atas sangat erat kaitannya dengan Zero Hunger dalam Sustainable Development Goals yang menjadi narasi awal di tulisan ini. Semoga kita bisa bersiap dalam menghadapi krisis pangan global dengan teknologi pelapis makanan ini serta berbagai teknologi dalam dunia pertanian lainnya.
***
*) Oleh : Fadli Hafizulhaq, Dosen di Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |