
TIMESINDONESIA, PADANG – Studi mengenai ketenagakerjaan dewasa ini telah banyak dimediasi oleh platform online sebagai cara terbaik untuk mampu mengelola dampak digitalisasi khususnya pada pasar tenaga kerja dan sektor ekonomi secara umum. Pasar tenaga kerja berada di tengah-tengah transformasi dramatis, dengan standar pekerjaan yang semakin banyak ditambah dengan “gig work” sementara yang dimediasi oleh platform online, mulai dari pengiriman makanan hingga pengembangan perangkat lunak.
Studi dari Oxford Institute mengamati tantangan yang dihadapi oleh pekerja gig, dan perekonomian secara keseluruhan, dengan perkembangan ini pekerja digital ini. Studi yang dilakukan oleh tim tersebut menemukan bahwa platform ketenagakerjaan online mendorong inklusi pasar tenaga kerja karena rendahnya hambatan masuk bagi pekerja.
Advertisement
Platform bertindak sebagai lingkungan pemberi sinyal yang memungkinkan para pekerja untuk memberikan informasi kepada klien asing mengenai kualitas mereka, sehingga memungkinkan mereka yang berasal dari negara-negara berkembang untuk mengatasi sebagian dampak stereotip negara yang negatif.
Meskipun wilayah perkotaan biasanya menarik pencari kerja, sehingga memperlebar kesenjangan dengan wilayah pedesaan, studi Oxford Institute menunjukkan bahwa pekerja pedesaan di AS mulai menggunakan pasar tenaga kerja online secara tidak proporsional, sehingga melawan tren ini.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa pemeringkatan pekerja secara otomatis melalui algoritma berdasarkan data reputasi merupakan hal yang penting dalam pengoperasian platform ketenagakerjaan online. Meskipun hal ini menawarkan fleksibilitas, otonomi, dan variasi tugas yang tinggi kepada pekerja, algoritma juga dapat mengakibatkan upah rendah, isolasi sosial, jam kerja yang tidak sosial dan tidak teratur, kerja berlebihan dan kelelahan.
Kondisi kerja yang buruk sebagian disebabkan oleh lemahnya daya tawar pekerja gig online dan ketergantungan pada perusahaan platform. Platform ketenagakerjaan menciptakan bentuk-bentuk baru ketergantungan pekerja melalui struktur pasar monopoli, seperti penguncian data reputasi, dan dengan platform yang menyembunyikan data klien dari pekerja, sehingga mencegah mereka meninggalkan platform.
Penelitian pada tahun 2019 oleh Profesor Lehdonvirta dan Dr Alex J. Wood berpendapat bahwa meskipun platform pencarian kerja sering kali secara sah dianggap sebagai sebuah vendor pencari kerja oleh klien mereka, perusahaan platform harus memahami bahwa mereka berada dalam hubungan ketergantungan; dan oleh karena itu para pekerja tidak boleh ditolak haknya untuk berwakil secara kolektif.
Pekerja mandiri juga dianggap oleh undang-undang persaingan usaha UE bukan sebagai pekerja melainkan pelaku usaha, dan oleh karena itu perundingan bersama yang dilakukan oleh para pekerja tersebut mungkin dicegah oleh peraturan persaingan usaha UE.
Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh pembuat kebijakan dan regulator adalah bahwa statistik pasar tenaga kerja konvensional dan indikator ekonomi tidak cocok untuk mengukur pekerjaan gig (gig work) secara online, sehingga ukuran gig economy sulit untuk dinilai. Untuk mengatasi hal ini, Oxford Institute mengembangkan Indeks Tenaga Kerja Online, sebuah indikator ekonomi yang mendekati statistik pasar tenaga kerja konvensional.
Dengan melacak pasokan pekerjaan di platform online hampir secara real-time, perusahaan ini mengukur tenaga kerja online di berbagai negara dan jenis pekerjaan, dan mempublikasikannya dalam visualisasi online yang interaktif. Indeks Ketenagakerjaan Online kini dikelola oleh Organisasi Perburuhan Internasional, menyediakan informasi yang digunakan oleh para peneliti dan organisasi internasional di seluruh dunia.
Sedangkan di Indonesia, transformasi digital di Indonesia didorong oleh menurunnya biaya teknologi digital dan investasi besar-besaran di sektor digital, telah mengubah sifat lapangan kerja. Sejak 2002, konten digitalisasi dalam pekerjaan meningkat pesat, meskipun bersifat rutin dan sektor pekerja manual telah berkurang dengan cepat era digitalisasi.
Setidaknya ada tiga jalur yang bisa digunakan oleh transformasi digital untuk meningkatkan kesenjangan upah: Pertama, perubahan teknologi digital cenderung bersifat skill yang intensif, peningkatan keterampilan premi diukur sebagai rasio upah antara pekerja terampil dan tidak terampil sebagai permintaan akan keterampilan meningkat.
Kedua, perubahan teknologi digital menggantikan lapangan kerja tingginya konten tugas rutin melalui otomatisasi, seperti pekerjaan pabrik dan pekerjaan penjualan. Ketiga, proyek investasi baru di berbagai sektor digital mendukung keterampilan dan keterampilan yang lebih tinggi pekerja yang berpendidikan lebih baik.
Bukti dari Indonesia menunjukkan bahwa pekerja dengan keterampilan lebih tinggi dan pendidikan lebih baik, termasuk para profesional kerah putih, memperoleh lebih banyak keuntungan dari transformasi digital dibandingkan bagi mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan tingkat rendah atau menengah, misalnya pekerja kerah biru buruh dan pekerja penjualan dan administrasi.
Untuk mempercepat transformasi digital di Indonesia, penting untuk melengkapi liberalisasi investasi di sektor ini dengan kebijakan untuk meningkatkan hasil pendidikan dan memfasilitasi pembelajaran, membuat kebijakan pasar dapat beradaptasi dengan perubahan sifat pekerjaan dan meningkatkan akses dan kualitas koneksi internet.
***
*) Oleh : Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |