Kopi TIMES

Membentengi Serbuan Tekstil China

Senin, 01 Juli 2024 - 09:43 | 49.22k
Edyanus Herman Halim, Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Riau
Edyanus Herman Halim, Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Riau
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, RIAU – Sejak 2023, industri tekstil dalam negeri sudah mati suri. Pemicunya serbuan tekstil dari China. Bukannya membenahi kelemahan di Pemermendag No 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, justru beleid revisi UU tersebut yaitu Permendag No 8/2024 justru menghilangkan kewenangan Kementrian Perindustrian (Kemenperin) yakni kewajiban pertimbangan teknis sebagai syarat memperoleh persetujuan impor. 

Terjadi ambivalensi mengingat antara kementrian perdagangan dan perindustrian tidak sejalan. Korbannya adalah industri tekstil dalam negeri dan para pekerja yang selama ini menggantungkan hidup keluarganya dari sektor tersebut.

Advertisement

Kebijakan ini, tidak saja membuka ruang relaksasi ketentuan impor namun membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri bangkrut dan menutup pabrik. Secara otomatis para pekerja di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Atau menyetir pendapat Danang Girindrawardana (Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia) seperti injeksi mati, tidak mati tetapi pelan-pelan akan mati.

Sakitnya lagi, impor tekstil atau pakaian asal China sebagian masuk melalui jalur illegal yang terlihat dari perbandingan data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data ekspor China. Data General Custom Administration of China tahun 2022, ekspor TPT (HS 50-63) China ke Indonesia mencapai 6,5 miliar Dolar AS. Sedangkan BPS mencatat angka impor TPT dari China hanya 3,55 miliar Dolar AS. Bahkan ada yang masuk secara tidak sah seperti diungkapkan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) bahwa setiap tahun sekitar 28.480 kontainer TPT illegal masuk Indonesia.

Pertumbuhan Semu

Triwulan I tahun 2024, industri TPT mulai memperlihatkan kinerja yang positif, terlihat dari kontribusi terhadap PDB yang tumbuh 2,64% secara YoY. Secara Kuartal to Kuartal terjadi kenaikan 5,92% dibandingkan Kuartal IV 2023 yang mengalami kontraksi -1,15%. Berlanjut pada capaian nilai ekspor yang tumbuh 0,19% atau USD 2.95. Di sisi lain, investasi TPT juga naik khususnya PMA naik 70,2% atau setara USD 194,3 miliar.

Kabar baik ini tentu tidak bisa menjadi judsment general bahwa situasi industri TPT baik-baik saja. Pertumbuhan positif tersebut hanyalah satu faktor dari ekosistem industri tekstil dalam negeri. Mengapa demikian? saat bersamaan PHK industri TPT terus bertambah karena pabrik tutup. Data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menunjukan sepanjang tahun ini (Januari-Juni 2024) ada 13.800 pekerja di TPT yang di PHK. Data ini hanya pabrik yang menjadi tempat anggota KSPN. Ditempat lain terjadi pula PHK namun tidak di update bahkan tidak melapor kalau sudah di PHK.

Fenomena diatas berpotensi akan terus bertambah mengingat permintaan yang turun drastis bahkan beberapa industri sama sekali tidak ada pesanan. Dalam waktu 3 sampai 6 bulan ke depan, diprediksi 10.000-20.000 kontainer impor berupa produk jadi, yang isinya tekstil jadi, garmen, akan masuk lagi ke Indonesia.

Singkatnya volume impor tekstil yang makin besar mencerminkan turunnya utilisasi industri TPT dan pasti berdampak pada PHK. Kontraksi juga tidak lepas dari tekanan daya beli. Dengan fakta-fakta itu, sudah saatnya pemerintah serius untuk menata industri TPT dari hulu-hilir.

Reformasi Kebijakan

Pertama, pemerintah segera mereview kembali semua aturan yang berkaitan dengan pertekstilan terutama izin impor tekstil. Termasuk beleid bebas pajak bagi tekstil yang masuk ke Indonesia sangat merugikan pelaku lokal dan UMKM, terjadi ketidakadilan karena mereka dikenakan berbagai pajak. Hasil review bisa berupa revisi atau muncul aturan baru yang muatannya adalah bagaimana menciptakan harmonisasi antar kementrian/lembaga yang terkait dengan pertekstilan dari hulu-hilir. Jika situasi berlarut-larut bukan tidak mungkin akan terjadi deindustrialisasi.

Kedua, Kemenperin harus mengoptimalkan pengawasan pasar TPT, termasuk melibatkan pihak kepolisian terlebih untuk pemberantasan tekstil illegal yang beredar di pasaran. Dan secara paralel mengevaluasi kinerja industri TPT secara keseluruhan dalam rangka pengembangan dan konektivitas industri tersebut dimasa akan datang. 

Ketiga, keluhan atas mahalnya listrik hampir dialami oleh semua pengusaha. Dan khusus untuk tekstil, sudah pernah diusulkan agar ada insentif keringanan pembayaran listrik. Keringanan itu berupa relaksasi pembayaran tagihan listrik, penetapan satu tarif listrik (tarif luar waktu beban puncak bagi industri yang beroperasi 24 jam), dan termasuk pelonggaran penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Kalau ini bisa dilakukan akan memberikan dampak pengganda.

Terakhir, dalam kerangka peningkatkan daya saing, pelatihan sumber daya manusia (SDM) industri, restrukturisasi mesin dan peralatan industri serta hal urgent lainnya menjadi keniscayaan.

***

*) Oleh : Edyanus Herman Halim, Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Riau.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES