Kopi TIMES

Persoalan PPDB Zonasi tidak Kunjung Usai

Sabtu, 06 Juli 2024 - 13:00 | 21.18k
Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Kebijakan Publik
Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Kebijakan Publik
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali”.

Kutipan lirik lagu milik grup Band NOAH seakan cocok dengan keadaan pendidikan saat ini, terjadi lagi orang tua murid yang mengukur rumah secara manual di Depok dan Bogor karena anaknya tidak diterima di SMA Negeri, padahal jarak rumah ke sekolahnya masih dalam radius zonasi sesuai dengan ketentuan PPDB.

Advertisement

Tahun sebelumnya, kejadian serupa terjadi di Surabaya dan Bandung, orang tua tidak terima anaknya ditolak SMA lantaran jarak rumah ke sekolah dianggap tidak masuk radar zonasi, dan akhirnya orang tua murid ingin membuktikan asumsi sekolah dengan cara mengukur jarak rumah dengan cara manual.

Persoalan dalam PPDB zonasi seakan terus terjadi setiap tahunnya, sehingga banyak pihak yang menilai ide soal PPDB zonasi ini telah gagal dilakukan oleh Kemendikbudristek, dan mulai muncul gelombang bahwa regulasi PPDB harus segera diubah karena justru banyak murid yang dirugikan dengan adanya aturan ini.

Melihat persoalan PPDB zonasi yang tidak kunjung usai, saya menilai harus ada beberapa hal yang dievaluasi, namun tidak seharusnya sistem diganti sepenuhnya karena menurut saya dengan adanya PPDB zonasi justru sangat membantu banyak siswa, mungkin kita tidak pernah tahu ada berapa orang yang tertolong akibat kebijakan ini.

Melihat Kembali Regulasi 

Sebelum saya menilai masih layak atau tidak PPDB zonasi ini untuk dilanjutkan atau tidak, mari kita lihat sejarah awalnya dahulu. Jika kita flashback PPDB zonasi dilakukan sebelum adanya program merdeka belajar, karena saya ingat, saat itu sedang ada wacana penghapusan Ujian Nasional juga.

PPDB zonasi dimulai pada tahun 2017, berdasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 tahun 2017 tentang penerimaan peserta didik baru. Dalam regulasi tersebut tertulis jelas bahwa PPDB zonasi dilakukan untuk memeratakan akses pendidikan yang berkualitas  bagi siswa di Indonesia.

Alasan mendasar terbitnya regulasi ini agar distribusi siswa bisa merata, sehingga menghapus label sekolah favorit. Bayangkan, ketika itu sekolah favorit dipenuhi dengan murid berprestasi sedangkan sekolah lainnya kekurangan murid, tentu hal ini sangat miris karena ketimpangan dalam pendidikan terlihat jelas.

Namun, ketika pertama kali diberlakukan zonasi ini, justru menimbulkan banyak masalah, ketika itu banyak siswa yang ditolak masuk sekolah negeri sehingga banyak evaluasi yang dilakukan Kemendikbud karena niat awalnya untuk meratakan akses pendidikan malah membuat kekacauan.

Seiring berjalannya waktu, regulasi zonasi terus mengalami perbaikan, awalnya PPDB menerima siswa berdasarkan nilai UN serta zonasi, perlahan Ujian Nasional dihapuskan dan regulasi PPDB berubah menjadi Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018.

Dalam regulasi tersebut PPDB menggunakan poin zonasi sebagai prioritas penerimaan peserta didik, lalu menggunakan prestasi, afirmasi bagi keluarga kurang mampu, inklusi bagi kebutuhan pendidikan khusus, jalur olahraga bagi prestasi di bidang olahraga serta kesenian.

Di tahun 2022, regulasi PPDB dievaluasi dan diperbaiki kembali melalui revisi menjadi Permendikbud Nomor 43 Tahun 2022, terlihat sedikit perubahan tujuan seperti adanya Meningkatkan mutu pendidikan melalui penerimaan peserta didik yang lebih berkeadilan dan transparan.

Lalu memastikan akses pendidikan yang merata dan meningkatkan akuntabilitas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan PPDB. Lalu ada beberapa poin perubahan dalam menerima peserta didik baru. Di antaranya menjadi jalur zonasi, Afirmasi, Prestasi, Pindahan serta ketentuan lain seperti peserta didik berkebutuhan khusus dan peserta didik yang terdampak bencana alam.

Melihat beberapa poin yang berubah dan tujuan yang lebih spesifik, seharusnya PPDB zonasi yang merupakan bagian dari merdeka belajar perlu dilanjutkan, walaupun proses evaluasi dan pembaharuan harus terus dijalankan.

Masalah yang tidak Kunjung Usai

Tidak hanya itu, melihat proses perubahan regulasi PPDB yang kian membaik namun masih ada beberapa masalah yang timbul seperti yang saya sebutkan di atas, perlu ada pemahaman dan perbaikan pelaksana bagi masyarakat, maupun pemerintah khususnya dinas pendidikan.

Misalnya, mindset soal sekolah favorit yang saat ini masih ada di masyarakat. Labeling sekolah favorit di masa lalu menjadi celah untuk mengakali PPDB zonasi ini. Walaupun memang sekolah tersebut memiliki rekam jejak dan prestasi yang sangat bagus, begitu juga jaringan alumni yang luar biasa.

Mindset ini muncul juga karena orang tua dari calon siswa adalah alumni dari sekolah tersebut juga, sehingga mereka rela melakukan apapun agar anaknya masuk ke sekolah yang diinginkan padahal di luar zonasi, sehingga muncul transaksi jual beli kursi oleh oknum sekolah dan dampaknya kepada siswa yang masuk zonasi namun akhirnya ditolak.

Masalah siswa yang masuk zonasi namun tidak diterima oleh pihak sekolah ini tidak kunjung usai karena mindset soal sekolah favorit dan oknum yang menyambut baik dengan jual beli kursi masih menjamur, padahal tujuan dari PPDB zonasi sudah jelas untuk meratakan akses pendidikan.

Pemerintah khususnya pemerintah daerah dan dinas pendidikan harus menindak tegas oknum-oknum yang terbukti melakukan jual beli kursi, tidak hanya itu mereka perlu melakukan pengawasan dan memastikan seluruh sekolah memiliki proses yang sama dan setara sesuai dengan kebijakan merdeka belajar.

Terakhir, saya menilai dengan adanya PPDB zonasi, seharusnya semua sekolah memiliki kewajiban untuk terus membuat rekam jejak dan prestasi yang baik, serta memastikan agar orang tua calon siswa memahami dan mengerti regulasi ini sehingga tidak ada lagi praktik jual beli kursi di setiap masa penerimaan siswa baru.

***

*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Kebijakan Publik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES