Kopi TIMES

Memupuk Budaya Meritokrasi dari Lingkungan Pendidikan

Senin, 08 Juli 2024 - 10:25 | 21.13k
Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang dan Pegiat Media NTB.
Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang dan Pegiat Media NTB.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, NUSA TENGGARA BARAT – Setiap pagi, seorang anak bangun dari ranjang lalu bersiap untuk sekolah. Ibunya berkata bahwa ia harus rajin belajar agar bisa menjadi Polisi. Demikian juga anak-anak lain yang berangkat dengan doa untuk menjadi Dokter, Pilot, Presiden, dan profesi lainnya. Dari sini kita tahu, hak untuk berdoa sesuai preferensi adalah awal dari konsep kemerdekaan. Hak bercita-cita adalah permulaan dari sebuah meritokrasi.

Kemerdekaan dan meritokrasi adalah dua landasan hidup yang terikat. Secara definitif, kemerdekaan adalah situasi bebas dari pengekangan atau intervensi pihak lain. Sementara meritokrasi adalah; kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk menempati/mendapatkan posisi tertentu sesuai standar kompetensinya. Menariknya kedua pilar ini akan tampak eksistensinya dimulai dari ruang kepala manusia.

Advertisement

Demi kebebasan dan kesetaraan ini, negara memfasilitasi kebutuhan primer setiap otak melalui pendidikan. Sehingga ide yang dilahirkan diharapkan membawa maslahat bukan hanya untuk pribadi melainkan juga untuk semua warga negara. Walaupun dewasa ini, kedua pilar tersebut mungkin belum benar-benar tegak pada beberapa sektor kehidupan. Maka menarik untuk melihat dunia pendidikan sebagai locus memupuk meritokrasi.

Program Merdeka Belajar mencoba membawa dua aspek fundamental ini dalam setiap upaya transformasi pengetahuan. Karenanya, Merdeka Belajar menekankan pendidikan karakter yang fleksibel. Sehingga tidak heran hari ini banyak pengajar yang didatangkan dari kalangan praktisi. Dunia nyata dibawa lalu dipindahkan ke bangku sekolah dan universitas. Itu adalah pemenuhan hak untuk tahu dan mengerti apa yang akan mereka hadapi.

Saat ini mereka juga berkesempatan untuk mencicipi bangku kampus/sekolah lain melalui pertukaran pelajar/mahasiswa. Mereka juga dengan leluasa memilih cara untuk lulus perguruan tinggi. Bisa dengan prestasi, karya tulis skripsi, dan upaya lain sesuai minat dan keahliannya. Ini adalah keadilan yang terstruktur dan telah hadir selama beberapa tahun kebelakang.

Output dari pendidikan sebagaimana dijabarkan di atas adalah agar setiap ilmu yang dihasilkan membentuk atmosfer baru kehidupan. Sehingga, mereka yang ingin menjadi Polisi, Dokter, Presiden, atau apapun itu dapat dihitung dan dipertimbangkan berdasarkan kompetensinya. Mereka tidak dihitung berdasarkan garis keturunan atau hartanya. Posisi equivalent inilah yang sejatinya diakui negara secara konstitusional.

Artinya, setiap orang mendapatkan ruang dan hasil sesuai kadar usaha yang dilakukan. Logika ini juga telah dipakai dalam Undang-Undang U No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Aturan ini secara eksplisit mengharuskan sistem merit sebagai dasar proses pengisian posisi ASN.  Mungkin tidak semua sisi dilayani dengan baik oleh negara. Tapi setidaknya, pada sektor pendidikan yang menjadi kebutuhan dasar, kita masih bisa menaruh harapan besar.

Dari dasar inilah penulis menggunakan istilah 'memupuk' budaya meritokrasi. Pasalnya, nilai ini telah ada dalam cara berpendidikan kita. Tentu kita bisa berdebat terkait berapa skala nilai ini terbudayakan di buku-buku siswa. Kita juga bisa berdebat sejauh mana universitas menanamkan idealisme meritokrasi ditengah gempuran nepotisme.

Bisa saja masing-masing kita menafsirkan meritokrat ini sama seperti benih, kecambah, atau bahkan pohon yang belum berbuah. Tapi yang jelas pada jenjang manapun itu, pupuk diperlukan agar nilai ini tetap tumbuh, berkembang, beranak pinak, hingga menjadi satu kesatuan norma yang betul-betul ditaati. Dengan begitu kita mengerti bahwa memupuk artinya memahami ada sistem yang perlu dilanjutkan. Sehingga kita tidak perlu berpikir lagi untuk menyemai ulang.

Merdeka Belajar harus dilanjutkan dan disempurnakan untuk menjamin hak warga negara mendapatkan kesetaraan. Keseimbangan tersebut berpengaruh besar pada keberlangsungan demokrasi. Suatu bangsa yang masa depannya bertumpu pada suara rakyat tidak akan maju jika vote-nya dihasilkan dari kepala yang tidak merdeka. Setidaknya, keberlanjutan ini adalah bentuk penolakan kita pada aktivitas Korupsi, Kolusi, dan nepotisme (KKN).

Memang sulit menyatukan persepsi terutama jika mengingat pada bagian-bagian yang kurang dari proses belajar yang telah berjalan. Masih ada gedung sekolah yang belum dibangun. Guru-guru juga terbilang masih kurang. Demikian juga persoalan harga yang ditetapkan di sebagian kecil lembaga pendidikan. Kekurangan ini tetaplah kekurangan yang mesti diperbaiki. Tapi substansi yang ingin penulis jelaskan adalah saat ini kita lebih merdeka dalam menentukan cara kita belajar.
 
***

*) Oleh : Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang dan Pegiat Media NTB.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES