
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Demokrasi menjadi kata yang memenuhi ruang publik akhir-akhir ini. Di dunia maya, di ruang akademik, di temempat ibadah, gedung parlemen, panggung diskusi sampai gerakan jalanan semua meneriakkan kata demokraasi. Mereka tampil dan mematutkan diri sebagai pejuang dan penyelamat demokrasi.
Demokrasi seolah menjadi mantra sakti yang diperebutkan semua orang karena dianggap dapat menyelamatkan kepentingan masing-masing atas nama rakyat. Satu pihak tampil sebagai pejuang dan penyelamat demokrasi sambil menuduh pihak lain sebagai penghancur dan perusak demokrasi.
Advertisement
Perbincangan mengenai demokrasi sebenarnya sudah berlangsung sepanjang sejaran peradaban manusia. Mulai dari filosof Aristotels yang meneliti konstitusi Yunani Kuno abad 6 sd 4 SM, Plato yang membahas kekuasaan negara, dilanjutkan oleh Montesquieu, John Locke, hingga munculnya pemikir politik modern, seperti Abraham Lincoln, Joseph A Schemer, Sidney Hook dan lain-lain, demokrasi terus menjadi bahan perbicangan.
Demoakrasi menjadi topik yang menarik dalam sejarah perdaban manusia, karena terkait dengan sistem politik dan kekuasaan yang berhubungan langsung dengan nasib manusia. Dengan kata lain demokrasi membahas kekuasaan yang bersentuhan langsung dengan keadilan, kesejahateraan dan kebebasan rakyat yang sering dibajak dan dirampas oleh absolutisme negara.
Sebagaimana yang dipikirkan John Locke, konsep demokrasi muncul untuk melawan kekuasaan negara yang secara alamiah (stte of nature) memiliki watak absolut. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan, perlu dibentuk sistem negara demokrasi, karena dengan sistem demokrasi rakyat bebas menentukan kehendaknya dan menggunakan hak pilihnya. Melalui demokrasi, negara dapat menjalankan fungsinya untuk mensejahterakan rakyat, melindungi hak rakyat baik hak milik (property) maupun hak asasi (kehiduan, keyakinan dan kebebasan). Hal ini dapat terjadi karena dalam sistem demokrasi rakyat memiliki kontrol dan hak menghentikan pemerintahan jika negara tidak dapat menjalankan fungsinya secara baik.
Filosof lain yang berbicara mengenai konsep demorasi adalah Aristotels. Prinsip demokrasi menurut Aristotels adalah kebebasan wargara negara untuk mengontrol kekuaasaan negara melalui pembagian kekuasaan. Menurut Aristoteles melalui kebebasanlah warga negara dapat dapat saling berbagaii kekuasaan di dalam negaranya sendiri.
Gagasan pembagian kekuasaan negara inilah yang melahirkan kosep Trias-Politika oleh Montesquieu. Menurut Montesquieu, dalam sistem demokrasi, kekuasaan politik negara dibagi menjadi tiga lembaga yang berbeda dan terpisah satu sama lain yaitu legislatif, sebagai pembuat undang-undang; eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dan Yudikatif yang mengadili jika terjadi penyimpangan terhadap undang-undang.
Kalau dicermati, sistem pembagian kekuasaan ini sudah ada dalam tradisi bangsa Nusantara. Seperti tercermin dalam naskah Amanat Galunggung, suatu ajaran kehidupan bernegara bagi masyarakat Sunda. Menurut naskah Amanat Galunggung kekuasaan harus dibagi dalam tiga institusi yang disebut dengan istilah Rama-Resi-Ratu. Ketiga simbol kepemimpinan masyarakat Sunda ini dikenal dengan istilah Tri Tangtu, yang berarti tiga yang menyatu.
Menurut naskah Amanat Galunggung, Rama lembaganya di sebut Pakraman: merupakan lembaga negara yang merepresentasikan unsur Tuhan. Tugas Rama adalah bidang moral, etik dan spiritual. Sosok yang dapat menjadi Rama atau duduk dalam lembaga Pakraman adalah manusia yang sudah meninggalkan kepentingan duniawi yang serba materi dan mengendalikan nafsu sehingga mampu menjaga rasa asih dan memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Pakraman ini milirip dengan lembaga Yudikatif.
Resi lembaganya disebut karesian, merupakan representasi dari unsur alam yang menyediakan kepentingan hidup bagi manusia. Resi adalah sosok profesional dalam bidang masing-masing, misalnya ahli pendidikan, militer, pertanian, perdagangan dan lain-lain. Missinya adalah asah, fungsinya adalah menaungi, mengayomi, memelihara, mengawasi dan nengntorol kekuasaan ratu. Fungsi Legislatif.
Ratu lembaganya disebut keratuan atau Kraton, adalah representasi unsur manusia yang bertugas untuk mengasuh (mengelola/menjalankan) seluruh kegiatan dan kekayaan negara yang dikenal dengan missi asuh Karena missinya sebagai pengasuh, maka dalam tatanan kekuasaaan Sunda para ratu ini disebut Pamong atau Pangereh, bukan pemerintah, meskipun dia menjalankan fungsi sebagai eksekutif. Pembagian kekuasaan ini tercantum dalam naskah amanat Gaunggung Rekto III.
Meski masing-masing lembaga memiliki tugas dan peran yang berbeda, namun ketiganya tak dapat dipisahkan. Kedudukan ketiganya setara, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Demikian juga kewajiban yang dibebankan kepada ketiganya, semua sama yaitu menegakkan kebaikan dan kemuliaan hidup. Sistem pembagian kekuasa ala Amanat Galunggung ini memang tidak sama persis dengan konsep trias politica Montesquieu namun prinsip dan etik yang terkandung di dalamnya sama.
Secara normatif substantif, demokrasi merupakan nilai dan spirit universal yang terkait dengan upaya penegakan harakat dan martabat kemanusiaan di hadapan kekuasaan. Dengan kata lain demokrasi merupakan upaya mengendalikan kekuasaan agar dapat menjaga tegaknya nilai-nilai dan martabat manusia serta mewujudkan kesejahteraan.
Meski memiliki nilai dan spirit unversal namun praktek dan format untuk mengatualisasikan demokrasi berbeda, harus sesuai dengan kondisi (sosial, politik, budaya) zaman dan tempat. Ada demokrasi langsung, seperti era yunani kuno; demokrasi perwakilan, demokrasi terpimpin dan berbagai model dan sistem demokrasi lainnya. Sejarah demokrasi menunjukkan penerapan model dan bentuk demokrasi berbanding lurus dengan taraf perkembangan sosial budaya masyarakat. Semakin modern penerapan demokrasi akan semakin rasional.
Penulis menganalogikan hubungan demoakrasi dengan masyarakat/bangsa seperti hubungan antara vitamin/gizi dengan tubuh/fisik seseorang. Tubuh yang sehat akan terwujud jika tercukupi asuan gizi dan vitamin. Demikian juga, bangsa atau masyarakat yang sehat akan terwujud kalau demokrasinya berjalan dengan baik.
Kebutuhan untuk memenuhi gizi dan vitamin harus disesuaikan dengan kondisi tubuh dan taraf perkembangan fisik manusia. Untuk memenuhi gizi dan vitamin seorang bayi atau balita cukup minum ASI, susu formula, bubur atau makanan halus lainnya. Mereka tidak harus makan beef steak, hamburger, hot dog, pizza, minum suplemen dan sejenisnya demi memenuhi gizi dan vitamin.
Hal yang sama terjadi pada demokrasi, penerapan model dan bentuk demokrasi harus disesuikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Masyarakat yang secara sosiologis masih berada dalam taraf primitif-mistis-tradisional akan mengalami kesulitan jika harus melaksanakan demokrasi deliberatif, karena demokrasi model ini mengandaikan masyarakat yang sudah modern, rasional dan independen. Menerapkan demokrasi deliberatif di kalangan masyarakat/bangsa yang masih tradisional-emosional seperti memberi makan steak dan hamburger pada bayi.
Jika analogi ini dugunakan, maka kita akan dapat memahami terjadinya distrosi demokrasi dalam sistem politik Indonesia kita hari. Munculnya berbagai penyimpangan dalam Pemilu mengindikasikan adanya ketidaksesuaian (incompatibilitas) antara realitas sosial budaya sebagian masyarakat Indonesia dengan sistem demokrasi yang diterapkan. Ibaratnya seperti memberi makan sate gule pedas pada anak balita.
Bukannya tumbuh sehat karena terpenuhi gizinya, yang terjadi justru mencret dan sakit perut.
Apa yang terjadi mengisyaratkan pentingnya membangun sistem demokrasi yang kompatibel dengan realitas sosia dan konstruksi budaya yang terjadi di kaangan masyaraata Indonesia yang beragam dari sisi perkembangan sosiologisnya. Masyrakat Indonsesia bukan seperti masyarakat Barat yang secara sosiologis homogen yaitu masyarat modern yang rasional. Secara sosiologis masyaraat Indonesia masih banyak yang berada pada posisi tradisional bahkan primitif, atau dalam istilah Van Puersyen beerada pada taraf kebudayaan mistis. Pada masyarakat seperti ini tidak cocok diterapkan sistem demorasi deliberatif seperti yang ada di Barat.
Memaksakan penerapan demokrasi deliberatif di tengah masyarakat tradisional mistis tidak saja dapat menimbulkan terjadinya penyimpangan tetapi juga menghilangkan nilai-nilai dan spirit dari demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain memaksakan penerapan sistem demorasi yang tidak kompatible dengan konstruksi sosial budaya masyarakat atau bangsa sama dengan mengancam demokrasi itu sendiri. Dan ini merupakan pameraan kegilaan yang sia.sia. Sekali lagi demokrasi adalah pengelolaan kekuasaan untuk harkat dan martabat manusia dan mewujudkan kesejahteraan, bukan semata-mata kontestasi kebebasan yang lebih mencerminkan pameran kegilaan. Demokrasi bukan demograzy.
*) Oleh : Ngatawi Al-Zastrouw, Dosen Pasca Sarjana UNUSIA dan Kepala Makara Art Center UI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |