
TIMESINDONESIA, PADANG – Tiktok merupakan perusahaan hosting yang berasal dari Tiongkok yang disebut juga dengan Douyin. Naiknya traffic Tiktok ditandai dengan kondisi pandemi tahun 2020 yang membuat masyarakat menghabiskan screentime lebih banyak dari biasanya karena adanya larangan untuk bepergian untuk menghentikan penyebaran virus.
Saat ini, Tiktok memiliki lebih dari 2 miliar pengguna yang telah tersebar di seluruh dunia. Pada Oktober 2020, Tiktok telah dinobatkan sebagai merek dengan pertumbuhan tercepat ketiga pada tahun 2020 oleh Morning Consult setelah Zoom dan Peacock, sedangkan Cloudfare menempatkan Tiktok sebagai situs web terpopuler di tahun 2021, melampaui Google.
Advertisement
Tiktok merupakan layanan hosting yang memiliki fitur audio visual singkat dan memungkinkan masyarakat untuk bisa terus terhubung secara global tanpa harus saling mengikuti di dalam jaringan. Berbeda dengan media sosial populer sebelumnya seperti Facebook, Twitter, dan Instagram yang berprinsip menghubungkan akun-akun yang saling mengikuti.
Tiktok berorientasi kepada keseragaman perubahan yang sangat masif dalam hal pergantian konten sehingga membuat menciptakaan Fear of Missing Out (FOMO). Masyarakat merasa teralienasi dari akunnya sendiri jika screen time aplikasi ini terlalu rendah per hari sehingga ia merasa tidak terlibat di dalam komunitas digital.
Jika beberapa tahun yang lalu sempat heboh dengan fakta bahwa generasi boomer lebih percaya broadcast hoax Whatsapp, maka hari ini kita menemukan itu di dalam wajah media sosial Tiktok.
Gerakan menyebarkan kebenaran lebih berdampak daripada broadcast person to person di Whatsapp karena terorganisir dengan baik dengan layanan audio visual yang membuat komunitas tetap dipaksa untuk terhubung di dalam jaringan.
Cara masyarakat digital mengkonsumsi dan menyerap informasi tergambar dalam Teori Post-Truth. Post-Truth atau pasca-kebenaran adalah bagaimana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding dengan daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi.
Di era ini, kebenaran tidak lagi disepakati bersama sebagai kebenaran umum karena masyarakat lebih memilih mengabaikan fakta obyektif yang kuat dipengaruhi oleh sentimen budaya digital sebagai penyebab utama.
Kondisi ini banyak sekali menciptakan distandarisasi norma keluarga, bias gender, kampanye politik, romantisasi perilaku anak muda, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, keberhasilan Prabowo-Gibran mendulang suara sebanyak 58% pada Pemilu 2024 salah satunya adalah dengan melakukan gerakan sosial berbasis FYP Tiktok dengan Gen Z sebagai sasaran tayangannya.
Prabowo-Gibran menciptakan branding 'gemoy' (menggemaskan), menggunakan baju berwarna biru pastel sebagai simbolisasi anak muda, serta joget sebagai media kampanye politik. Hal ini sejalan dengan basis konten user Tiktok yang menggabungkan antara musik dengan tarian kreasi kontemporer berdurasi singkat, sehingga mudah untuk dipraktikkan.
Berbanding terbalik dengan pemilu 2019 yang kontras terhadap isu agama dan politik identitas, pemilu 2024 merupakan salah satu gerbang utama politik dengan aras masyarakat digital sehingga membuat Prabowo-Gibran berhasil memenangkan suara melalui romantisasi konten politik yang ramah dengan kultur anak muda.
Beralih kepada aspek kehidupan sehari-hari, Tiktok telah bertransformasi menjadi standarisasi anak muda dalam berperilaku memproduksi ilmu pengetahuan. Alih-alih berpedoman kepada sumber kebenaran obyektif seperti buku, artikel, jurnal, atau hasil penelitian, masyarakat lebih mudah untuk percaya secara afektif kepada FYP yang muncul di dalam beranda Tiktok mereka.
Gagasan mengenai relasi gender dalam pernikahan; bagaimana peran suami dan istri, pengelolaan keuangan, romantisasi hubungan percintaan, jalan alternatif merawat hubungan; polarisasi energi feminin-maskulin, pengkerdilan karakter gender melalui konsep redflag-beige flag-greenflag, pengalaman buruk berumah tangga yang disebarluaskan sehingga menjadi ketakutan dini anak muda serta menciptakan kampanye 'anti-menikah', dan masih banyak lagi pengetahuan yang selalu di reproduksi oleh pembuat konten demi menciptakan engagement di dalam tayangannya.
Melimpahnya informasi-informasi yang tersedia dan secara tidak langsung dikonsumsi oleh publik menyebabkan ketidakmampuan masyarakat dalam mencerna kebenaran obyektif karena media sosial selalu digunakan setiap waktu.
Akibatnya, bagaimana komunitas digital dalam memproduksi pengetahuan pada akhirnya diseragamkan oleh semua individu yang tidak merefleksikan kultur, pandangan, serta bagaimana proses sosialisasi yang selama ini ia alami seumur hidupnya sehingga hal tersebut digunakan sebagai sebuah standarisasi yang siap digunakan di dunia nyata.
Pada akhirnya, user Tiktok dengan tayangan terbanyak serta pengikut terbanyak terotomasi menjadi pemilik kebenaran walaupun secara instrumental ia tidak sahih dianggap memiliki pengetahuan mengenai apa yang disampaikan.
Pertanyaan menarik adalah jika terjadi keseragaman pola pikir berbasis FYP Tiktok yang ada di seluruh dunia, akankah keberagaman budaya dan pengetahuan akan memudar dan masyarakat budaya akan berganti cepat menjadi masyarakat budaya digital? ini menjadi sebuah refleksi bersama.
***
*) Oleh : Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |