
TIMESINDONESIA, MALANG – Loyalitas adalah fitur penting dalam pengaturan tempat kerja, tidak terkecuali dalam sektor publik seperti Kepolisian. Selain profesionalisme dan kompetensi, loyalitas memiliki peran signifikan dalam menentukan keberhasilan dan kinerja individu dalam pekerjaannya. Hal ini disebabkan oleh pentingnya kepercayaan publik terhadap kualitas yang diberikan oleh organisasi, yang tidak hanya tergantung pada tindakan individu di dalamnya.
Selain itu, loyalitas di kalangan aparat penegak hukum juga dipengaruhi oleh sikap mereka terhadap aktivitas profesional, staf senior, dan persepsi diri sebagai spesialis, yang menekankan kompleksitas psikologis dari loyalitas dalam situasi ini. Berbagai makalah penelitian telah membahas pentingnya loyalitas dalam lingkungan aparat kepolisian negara. Keutamaan loyalitas sering kali terjalin dengan integritas di kalangan kepolisian, sehingga menimbulkan kemungkinan konflik yang perlu diselesaikan.
Advertisement
Dalam lingkup pengadaan barang/jasa, yang mencakup menggunakan Layanan Pembelian Elektronik (LPSE) untuk melaksanakan tender, loyalitas menjadi aspek penting dalam implementasi kebijakan dan pengambilan keputusan. Namun, kompleksitas dalam praktik pengadaan sering kali menghadapi tantangan, termasuk intervensi dari pihak-pihak tertentu yang dapat merusak integritas proses pengadaan. Ada beberapa elemen utama yang mempengaruhi keberhasilan pengadaan produk dan layanan pemerintah di lingkungan kepolisian. Keterbatasan sumber daya penyidik, peraturan perundang-undangan, fasilitas, dan pengetahuan masyarakat semuanya mengurangi efektivitas penyidikan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di kepolisian.
Mengetahui akan fenomena tersebut, Deni Patri Nasrani Sitepu mencoba mengangkat tema ini dalam sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengeatahui lebih jauh tentang Loyalitas pegawai pemerintah dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Polda harapan. Dengan memahami dinamika sosial, struktural, dan budaya organisasional yang ada, diperkirakan bahwa perbaikan dalam peningkatan pemerintahan dapat dicapai melalui solusi mengedepankan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan publik.
Melalui data observasi serta wawancara terhadap para informan yang telah dilakukan serta pengumpulan dokumentasi, mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang ini mendapati bahwa para informan yang juga sebagai salah satu pegawai pemerintah ini memiliki loyalitas yang semu dimana loyalitas tersebut tidak sekedar saja namun ada beberapa alasan seperti adanya intervensi dari pimpinan sehingga mereka tidak mempunyai otoritas dan kekuasaan yang cukup untuk menolak.
Selain itu faktor lebih mengutamakan keselamatan diri (save first) atas status kepegawaiannya, dan keuntungan ekonomi diri pribadi serta kelompoknya dibandingkan jika harus mentaati etika, moral, dan hukum menjadi salah satu alasan mengapa mereka mau menuruti arahan pimpinan tersebut.
Melalui penelitian ini Deni merumuskan sebuah teori yang disebut dengan Teori loyalitas semu pegawai (Theory of Pseudo-loyalty of Government Employees) dimana teori ini menjelaskan tentang loyalitas pegawai pemerintah yang sifatnya semu kepada pimpinan yang memiliki kekuasaan otoritatif dalam proses penyediaan barang/layanan di lingkungan birokrasi pemerintah. Loyalitas semu tersebut disebabkan oleh tidak percaya pegawai pemerintah atas perintah pimpinan dalam sistem pengadaan barang/jasa di lingkungan birokrasi lembaga negara. Teori ini berasumsi bahwa loyalitas semu pegawai pemerintah tercipta karena posisinya yang tidak berdaya kepada pimpinan yang memiliki kekuasaan otoritatif.
Loyalitas semu pegawai tercipta karena adanya intervensi dari pimpinan terhadap pegawai tersebut. Loyalitas semu pegawai sesungguhnya merupakan artikulasi dari kesadaran palsu yang dimiliki oleh pegawai. Kesadaran palsu ini terpaksa dilakukan oleh pegawai karena ketidakberdayaannya atas statusnya yang lemah dalam struktur organisasi. Disamping itu juga terdapat faktor lain yang menyebabkan terjadinya loyalitas semu, yakni pegawai tersebut secara ekonomi diuntungkan.
Fenomena sebagaimana digambarkan di atas bisa juga terjadi di ruang sosial lain, sejauh persyaratan – persyaratan sosiologis sebagaimana dijelaskan dalam teori ini terpenuhi. Teori ini sekaligus menegaskan bahwa suatu sistem birokrasi yang sudah baik sekalipun, akan tetap membuka peluang aktor -aktor yang ada di dalam sistem tersebut mampu memanipulasi sistem secara ‘cerdik’. Kesimpulan semacam ini semakin memperkuat validitas perspektif teori sosiologi mikro, bahwa aktor itu tidak selalu tunduk dan patuh pada sistem yang mengaturnya.
***
*) Oleh: Deni Patri Nasrani Sitepu, mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rochmat Shobirin |