Kopi TIMES

Merawat Semangat Kebudayaan Nasional: Refleksi HPN 2024

Senin, 29 Juli 2024 - 14:40 | 29.86k
Akhmad Mustaqim, Tenaga pengajar Unira Malang & Pegiat komunitas Paguyuban Literasi Malang.
Akhmad Mustaqim, Tenaga pengajar Unira Malang & Pegiat komunitas Paguyuban Literasi Malang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Dunia sastra Indonesia terdapat beberapa perbedaan dari segi memperingati Hari Puisi Nasional (HPN). Ada yang memperingati yang jatuh pada tanggal 26 Juli, kelahiran penyair Indonesia bernama Chairil Anwar yang disebut “angkatan 45” sekaligus katalisator puisi modern Indonesia bersama Asrul Sani, Rivai Apin, dkk. Namun, ada pula yang memperingati HPN tanggal meninggalnya Chairil Anwar yang jatuh pada 28 April. 

Perbedaan tanggal memperingati HPN tidak perlu diperdebatkan benar salah di antaranya. Tentu terpenting dalam memperingati focus untuk mempelajari semangat berkarya, sekaligus mereduksi ingatan semangat para pendahulu kepedulian terhadap kebudayaan secara umum dan secara umum di puisi secara kontekstual.

Advertisement

Di Hari Puisi Nasional, kapanpun itu, seolah-olah ada moment puitik dalam hidup saya. Bayanganku, sosok Chairil Anwar adalah anak muda gaul dan pemberani. Ingatan itu melekat di kantong hati. Pada kesempatan lain, jika ingat pada Chairil Anwar kala itu, karena belum mengetahui foto pemuda bohemian berambut belah tengah, ngudud rokok, foto candid kalau kata anak sekarang. Dibayangan, Chairil Anwar adalah ustad muda yang alim, nasionalis, lantaran dikenalkan dengan penafsiran puisi berjudul “Aku” dan “Doa” yang begitu agamis dan nasionalis. 

Kedua puisi tersebut, secara pribadi tidak begitu paham dengan artinya, serta belum pula menikmati, waktu itu. Waktu berjalan maju dan membaca puisi tersebut semakin terbuka dalam usaha untuk memahami. Dibantu oleh seorang guru bahasa Indonesia terkait tafsir memaknai puisi tersebut, yang menyedihkan sekaligus menyenangkan, setelah memahaminya. 

Sebuah catatan singkat ini berusaha menemukan peta puisi Indonesia. Dalam hal ini tentu terkait  wajah puisi dan prosa modern Indonesia, erat dengan wajah modernisme sosial dan artistik. Untuk mengenal dua istilah itu perlu, bahkan tentu mengingat kembali lalu dapat membaca ulang manifesto kebudayaan berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang terbit di majalah Siasat 22, Oktober 1950. 

Sebab manifesto tersebutlah yang menjadi pintu masuk cikal bakal cahaya kecil sebuah corak baru dalam perkembangan kebudayaan secara umum dan secara khusus dalam sebuah puisi. Para bengawan pelopor manifesto itu disebut sebuah “angkatan 45”. Siapa saja di dalamnya antara lain; Asrul Sani, Rivai Apin, Pramoedya Ananta Toer, dan Chairil Anwar dkk., Mereka adalah sastrawan dan seniman hidup di masa pendudukan Jepang seterusnya.

Kemerdekaan Indonesia kala itu, membuat semangat dalam banyak aspek. Salah satunya dunia perpuisian serta kebudayaan. Tentu untuk mencapai identitas sebagai bentuk negara yang sekian lama dijajah, setelah lepas ingin menemukan jalan baru yang sesuai dengan arah identitas negara. Dengan hal ini sastrawan “angkatan 45” membuat kredo/manifesto agar dapat  menyalakan bara semangat revolusi kebudayaan secara luas untuk menemukan identitasnya.

Cikal bakal memunculkan semangat baru, dapat dicermati dari kredo kebudayaan yang membuat generasi hari ini punya patron sekaligus menerobos batas konvensi di dunia kesusastraan. Kredo tersebut dikenal dengan “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang terbit tahun 1950 di majalah Siasat. Walaupun tidak menjadi patokan utuh, namun sebagai alternatif sumber lahirnya identitas budaya Indonesia yang menjadi nasional dapat diperhitungkan sekaligus direnungkan.

Marilah baca isi “Surat Kepercayaan Gelanggang” di bawah ini:  

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak sebetulnya pemeriksaan ukuran nilai.

Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.

Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaah lah kami membawa sifat sendiri.

Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

Semangat Perubahan Para “Angkatan 45” 

Setelah membaca itu mari renungkan. Secara garis besar ada semangat orientasi identitas orisinalitas bentuk. Ahli waris kebudayaan dunia merupakan bentuk perluasan sumber-sumber bacaan, sumber-sumber ciptaan, yang bukan Barat. Di tahun 1950 ada corak politik budaya “Angkatan 45” yang liberal, sebab musabab suara kiri dominan, yang ada ketidaksetujuan, yang masa itu baru semangat negara kemerdekaan di negara demokratik dan nasionalisme. A. Teeuw mengatakan kalau semangat para sastrawan “Angkatan 45” merupakan corak politik budaya atau budaya politik.  

Para sastrawan “Angkatan 45” punya semangat modernisasi artistik yang sekaligus kritik terhadap modernisasi sosial-yang didahului oleh generasi sebelumnya “Pujangga Baru.” Lalu semangat dibawa oleh kedua Angkatan tersebut terdapat corak perbedaan. Jika “Pujangga Baru” semangat umumnya orientasi perubahan sosial. Sehingga karya-karya sastra khususnya terdapat corak ide itu lebih penting dari sebuah bentuk karya atau formula karya. 

Dengan kata lain semangatnya “modernisme sosial”. Sedangkan “Angkatan 45” menekankan pada formalisme modernisme artistik. “Sebuah puisi itu dapat dilihat dari sebuah penggunaan bahasa Indonesia di generasi tersebut. Prinsip nasionalisme itu terdapat dalam puisi, prosa, dan lukisan” (Dewanto dan Zen Hee, podcast, November 2021). 

Pujangga baru terdapat semangat modernisme sosial. Alat untuk memajukan masyarakat. Kemajuan masyarakat yang digaungkan adalah perubahan sosial melalui sarana sosial politik, ekonomi. Kesadaran itu seolah-olah di generalis, bahwa masyarakat akan menerima semua, padahal tidak semua dapat menerimanya. Dengan kata lain tidak berlaku pada seniman, sastrawan, dan penyair. Misalnya pada sebuah dunia kesenian (Dewanto dan Zen Hee, podcast, November 2021) . 

Modernisasi artistik dalam “Pujangga Baru” dalam sebuah puisi. Pada puisi sebagai alat untuk perubahan sosial, bahwa tidak begitu penting formalisme (bentuk puisi) kesadaran tersebut ada pada Amir Hamzah. Padahal unit terkecil dari puitika terletak pada “kata dan frasa”. Caranya, bermacam-macam (Dewanto dan Zen Hee, podcast, November 2021). Pada sebuah puisi tersebut dapat dilihat dari sebuah disonansi (bunyi-bunyi tidak merdu). Jika memandang jenis puisi soneta dalam sebuah puisi dirusak (bukan ngawur) melainkan perlu menyelesaikan alat berupa bahasa dan intensitas (subjek/penyair) kedekatan dengan kehidupannya—yang perlu disadari.  

Angkatan 45 Membawa Semangat Modersme Artistik 

Mencermati puisi Chairil Anwar pada “Senja Pelabuhan Kecil” yang secara bentuk modernisme artistik adalah bentuk formal sastra itu sangat penting, bukan sekadar alat menjadi modernisasi sosial di dalamnya. Puisi yang dikenalkan modernisme Amerika Utara: TS. Eliot dan WH. Auden. Puitis penerusan dari Amir Hamzah bahwa tenaga puisi itu “kata dan frasa” bukan kalimat (Dewanto dan Zen Hee, podcast, November 2021). 

Semangat dibawa oleh “Angakatan 45” paling sederhana dalam bentuk puiis terkait bentuk yaitu tidak mematuhi konvensi puisi lama yang terdiri dari Batasan misalnya; bersampiran, syair, dan berpantun. “Angkatan 45” mencoba menawarkan secara jelas untuk memiliki identitas sebagai perkembangan-yang tidak mengekor. Jika dipandangan secara khusus semangat individu sebagai negeri merdeka yang mampu membuat identitas baru di bidang sastra. Dengan kata lain eksistensi para penyair, novelis, pelukis, dan pekerja seni lainnya. 

Dalam satu contoh puisi. Mari perhatikan puisi di bawah ini. Nirwan Dewanto mengatakan “jika memandang dari corak warna lokal secara isu dan ide. Secara bentuk puisi ini mengarah pada jenis puisi soneta yang disonansi, pada puisi ini sebuah khawatirin–visi tentang alam” (Dewanto dan Zen Hee, podcast, November 2021). Mari kita baca di bawah ini:  

Senja di Pelabuhan Kecil
Karya: Chairil Anwar

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

diantara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap 1946.

Pada generasi “Angkatan 45” ini tidak hanya dalam puisi yang digaungkan, namun ada pula perubahan secara bentuk dari karya sastra lainnya. Atau dengan kata lain telah bebas dari konvensi bentuk puisi lama yang dipengaruhi oleh “Pujangga Baru”. Tetapi, dalam prosa juga ada sebuah perubahan modernisme artistik. Hal ini yang dikenal saat itu adalah penulis Idrus di prosa.

Idrus adalah sastrawan “Angkatan 45” yang tidak dapat dihilangkan dalam pembaharu di karya prosa. Idrus dalam gaya bercerita memunculkan gaya bercerita yang lugas baru (kelugasan baru), dengan kata lain tidak terkurung dengan moralitas-yang kental generasi sebelumnya yaitu “Pujangga Baru”. Secara isu mengambil posisi lain kala itu dari isu nasionalisme yang saat itu negara masih baru merdeka, misalnya pada sebuah kemerdekaan kala itu, tapi tidak ada orientasi citraan proklamasi tetapi ada keburukannya (Dewanto dan Zen Hee, podcast, November 2021).

Dalam kredo/manifesto dapat disebut sebagai kosmopolitanisme yang pula dapat kritik dari dalam yaitu sastrawan Asrul Sani, ia punya auto kritik dari dalam terkait pernyataannya yang ada di dalam “Angkatan 45” dalam kredo “Surat Kepercayaan Gelanggang”. (Dewanto dan Zen Hee, podcast, November 2021) membicarakan “saat  mengisi seminar di Belanda membicarakan garis besar terkait identitas “Kita Harus Kembali ke desa”. 

Kebetulan Asrul menulis Cerpen dengan ide tentang desa (lokal), salah satu judul “Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat”. Kosmopolitanisme mesti dekat dengan kita, sehingga di depan kita ini perlu menemukan identitas, yang kala itu dapat dikatakan: bentuk pencarian warna kebudayaan nasional.” Ujar Nirwan Dewanto. 

Semangat nasional yang seperti apa diharapkan oleh para pendahulu? Lalu seperti apa kebudayaan nasional? Apa yang kita rasakan sekarang ini, atau ada lagi yang lain dengan formulasi. Saya kira, kita akan banyak meniru pola hidup seperti penyair Chairil Anwar di sekitar kita, hidup bebas dan bohemian, tapi hanya sedikit yang dapat meniru proses dalam berkarya khusus dalam membuat puisi sebaik Chairil Anwar. Marilah rayakan HPN 2024, membaca karya dan jika berkarya sebaik-baiknya, jangan sekadar gaya hidupnya, Al-Fatihah untuknya. 

***

*) Oleh : Akhmad Mustaqim, Tenaga pengajar Unira Malang & Pegiat komunitas Paguyuban Literasi Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES