TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ismail Haniyah (1962-2024), pemimpin Hamas yang terbunuh di Iran, adalah "the face of Hamas diplomacy," wajah diplomatik terkemuka kelompok Palestina tersebut selama konflik yang sedang berlangsung di Gaza, di mana ketiga putranya tewas dalam serangan udara Israel. Para diplomat sering kali memandang Haniyah seorang moderat yang dekat dengan pemimpin spiritual Hamas, Syekh Ahmad Yassin.
Diangkat pada tahun 2017 sebagai Kepala Biro Politik Hamas, Haniyah bermanuver antara Turki dan Qatar, memfasilitasi negosiasi meskipun ada pembatasan perjalanan dari Gaza. Sebelumnya, ia menjadi Perdana Menteri Otoritas Palestina (2006-2007).
Advertisement
Tiga putra Haniyeh-Hazem, Amir, dan Mohammad-syahid pada tanggal 10 April dalam serangan udara yang juga menewaskan empat cucunya. Meskipun menegaskan bahwa putra-putranya bukan pejuang, ia memprioritaskan kepentingan Palestina. Perjalanannya termasuk pertemuan dengan pemimpin tertinggi Iran dan pembicaraan mediasi di Mesir.
Shuttle Diplomacy
Ismail Haniyah telah menjadi tokoh kunci dalam upaya mencari solusi damai untuk konflik Israel-Palestina. Salah satu strategi yang ia gunakan adalah "diplomasi ulang-alik" atau shuttle diplomacy, yaitu serangkaian pertemuan dan negosiasi dengan berbagai pihak terkait, baik di dalam maupun di luar Palestina.
Istilah shuttle diplomacy ini pertama kali dipakai untuk menyebut upaya Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger pada 5 November 1973 yang ikut membantu pengakhiran konflik bersenjata pasca-Perang Yom Kippur. Hasilnya adalah Perjanjian Interim Sinai (1975) dan kesepakatan Dataran Tinggi Golan antara Israel dan Suriah (1974). Indonesia juga mempraktikkan itu, misalnya terkait perselisihan AS-Rusia pasca Rusia menyerang Ukraina.
Diplomasi ulang-alik Haniyah dimulai sejak ia menjabat sebagai pemimpin Hamas pada tahun 2006. Ia melakukan perjalanan ke berbagai negara, termasuk Mesir, Qatar, Turki, Lebanon, dan Malaysia untuk bertemu dengan para pemimpin politik dan agama, serta organisasi internasional. Tujuan utama dari diplomasi ini adalah untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan negara-negara Arab dan internasional, serta mencari dukungan untuk perjuangan Palestina.
Strategi yang digunakan pejuang lulusan Islamic University of Gaza tersebut dalam diplomasi ulang-aliknya adalah membangun dialog dan komunikasi dengan berbagai pihak. Ia menekankan pentingnya dialog dan negosiasi sebagai jalan keluar dari konflik. Ia juga berusaha untuk membangun konsensus di antara berbagai faksi Palestina, termasuk Fatah, untuk mencapai persatuan dan kekuatan dalam menghadapi Israel. Rekonsiliasi Hamas-Fatah di Beijing tidak lepas dari kiprahnya.
Dalam diplomasinya, Haniyah menjaga hubungan dengan Iran dan bertindak sebagai negosiator untuk gencatan senjata dan berbagai bantuan lainnya. Sejak awal 1990-an, Republik Islam Iran telah mensponsori organisasi Hamas dengan bantuan militer dan pelatihan serta bantuan keuangan. Iran tetap menjadi pelindung utama Hamas, menyediakan dana, senjata, dan pelatihan bagi mereka.
Menurut laporan Departemen Luar Negeri AS tahun 2020, Iran menyediakan sekitar $100 juta setiap tahunnya untuk kelompok Palestina, termasuk Hamas (Washington Post, 9/10/2023). Angka $100 juta sama dengan Rp1.450.000.000.000 (satu triliun empat ratus lima puluh miliar rupiah) berdasarkan kurs (1 USD = Rp14.500).
Pada tahun 2023, menurut sumber keamanan Israel, seperti ditulis Samia Rakhoul di Reuters (16/10/2023), Iran telah meningkatkan pendanaannya secara signifikan untuk Hamas menjadi $350 juta per tahun atau sama dengan Rp 5.150.000.000.000 (lima triliun seratus lima puluh miliar rupiah).
Diplomasi ulang-alik Haniyah telah memberikan dampak yang signifikan terhadap konflik Israel-Palestina. Ia telah berhasil membangun hubungan yang lebih baik dengan beberapa negara Arab, seperti Mesir dan Qatar, yang telah membantu dalam mediasi antara Hamas dan Israel. Ia juga telah berhasil mendapatkan dukungan internasional untuk perjuangan Palestina, termasuk dari organisasi internasional seperti PBB.
Namun, diplomasi ulang-alik Haniyah juga menghadapi tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah penolakan Israel terhadap Hamas sebagai mitra dialog. Israel menganggap Hamas sebagai organisasi teroris dan menolak untuk bernegosiasi dengannya. Selain itu, terdapat perbedaan pendapat di antara berbagai faksi Palestina mengenai strategi yang harus digunakan untuk mencapai kemerdekaan.
Meskipun menghadapi tantangan, diplomasi ulang-alik Ismail Haniyah tetap menjadi upaya penting dalam mencari solusi damai untuk konflik Israel-Palestina. Ia telah berhasil membangun hubungan yang lebih baik dengan beberapa negara dan organisasi internasional, serta mendapatkan dukungan untuk perjuangan Palestina. Namun, untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan, diperlukan komitmen dari semua pihak yang terlibat, termasuk Israel, untuk berdialog dan mencari solusi damai.
Pembunuhan Haniyah
Pembunuhan pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh oleh Israel, yang terjadi beberapa hari setelah pembunuhan pemimpin militer Hizbullah, Fuad Shukr, merupakan pertaruhan yang dapat menimbulkan konsekuensi yang mengerikan-tetapi juga dapat mengarah pada skenario de-eskalasi bagi Timur Tengah yang berada di ambang ledakan total.
Kekhawatiran utama Israel adalah balas dendam Hamas terhadap 115 sandera yang tersisa yang ditawan di Gaza. Bahaya lainnya adalah pembunuhan tersebut dapat menggagalkan pembicaraan untuk membebaskan para sandera dan mengakhiri perang-yang bagaimanapun juga terperosok dalam rawa politik Israel.
Proksi Iran di Lebanon, Suriah, Irak dan Yaman yang termasuk dalam "axis of resistance" atau poros perlawanan sangat mungkin semakin agresif menyerang Israel atau memilih objek vital strategis tertentu dari Israel pasca kematian Ismail Haniyah.
***
*) Oleh : Yanuardi Syukur, Wakil Ketua Islamic and Middle East Research Center (IMERC) CSGS SKSG UI.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |