Kopi TIMES

Selebrasi Kemerdekaan dan Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Karakter

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 11:15 | 19.50k
Dr. H. Muchamad Sidik Sisdiyanto, S.Ag., M.Pd., Direktur KSKK Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI
Dr. H. Muchamad Sidik Sisdiyanto, S.Ag., M.Pd., Direktur KSKK Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Persoalan mendasar yang dihadapi sekolah-sekolah kita sekarang ini adalah persoalan moral. Persoalan-persoalan lainnya bersumber dari persoalan ini. Bahkan reformasi akademis bergantung pada bagaimana kita mengedepankan karakter”. William Kilpatrick dalam Why Johnny Can’t Tell Right from Wrong.

Momentum HUT RI ke-79 tidak hanya sekadar peringatan seremonial penuh ratapan dan nyanyian kebangsaan akan heroisme perjuangan masa lalu, bukan pula sekadar perayaan yang dimeriahkan dengan berbagai festival meriah, lebih dari itu tiap momentum HUT RI seyogianya tumbuh menjadi sebuah kesadaran kolektif untuk berbenah.  Banyak aspek yang selama ini ditanggalkan dan jarang dipikirkan, terutama menyangkut soal pendidikan. Berbenah adalah kata kunci untuk mengisi ruang-ruang yang selama ini jarang disorot dan dievaluasi dalam dunia pendidikan kita. 

Advertisement

Selama ini, kehadiran pendidikan lumrah dikenal sebagai ruang untuk menyiapkan kualitas SDM ke arah yang lebih baik. Paulo Freire bahkan menyebutnya sebagai proses humanisasi. Suatu proses memanusiakan manusia ini mesti diwujudkan dengan tujuan untuk melawan setiap praktik dehumanisasi. Sebab tujuannya ini, Driyarkara menyebut humanisasi merupakan tingkat kebudayaan tertinggi yang sudah saatnya diakui dan dinyatakan sebagai perbuatan fundamental. 

Meski demikian, selama 79 tahun sejak pertama kali diproklamasikan, bangsa Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari berbagai praktik dehumanisasi. Berbagai persoalan akut dan krisis multidimensi masih saja kita jumpai, yang musababnya, sangat bertaut erat dengan subjek orang terdidik. Alih-alih menjadi penyangga martabat suatu bangsa, tidak jarang kalangan orang terdidik justru menjadi pemicu krisis. 

Orang-orang terdidik yang hanya terjebak pada aksentuasi spirit formalisme yang kaku, bukan menjadikan esensi pendidikan sebagai prioritas, hanya akan menjadi generasi yang bermental menerobos, bersifat tak percaya kepada diri sendiri, sifat tak disiplin, serta sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab.  Dengan demikian, pendidikan sejatinya bukan hanya soal  pengetahuan, lebih dari itu juga tentang  karakter. Aspek inilah yang mesti dipikirkan kembali di setiap momentum peringatan hari lahir bangsa. Bagaimanapun pendidikan karakter sangat dibutuhkan dalam rangka menciptakan generasi yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Paradigma Pendidikan Karakter

Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, jauh hari telah mengajukan konsep tentang pendidikan karakter atau budi pekerti dalam dunia pendidikan kita.  Terminologi karakter, bagi Ki Hadjar, merupakan bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan yang lalu menimbulkan spirit.  Sementara budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dalam paradigma Ki Hadjar, adanya budi pekerti yang menubuh pada diri setiap manusia akan menjadikannya mereka sebagai manusia merdeka, yang memiliki kendali atas dirinya sendiri. 

Ki Hadjar menyebut bahwa pendidikan karakter dapat ditempuh melalui sistem Trisentra, yakni tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang begitu penting dalam kehidupan peserta didik. Ketiganya: alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan.  Alam keluarga memiliki peran yang cukup signifikan bagi proses pembentukan karakter peserta didik. Bagaimanapun dari lingkungan keluargalah segala hal yang asali bermula. Ini berarti menyangkut peran orang tua dalam proses transmisi nilai-nilai keadaban bagi anaknya. 

Sementara alam perguruan berperan dalam mengupayakan kecerdasan intelektual serta menyalurkan ilmu pengetahuan (balai-wiayata). Mengembangkan ide-ide kreatif dan mampu memantik peserta didik berpikir kritis sudah menjadi tanggung jawab yang mesti dilakukan dengan baik oleh pihak sekolah.

Sedangkan alam pergerakan merupakan kancah atau arena bagi peserta didik untuk mengaktualisasi diri dan mengembangkan potensinya. Bagi Ki Hadjar, ketiga pusat pendidikan tersebut mesti tahu kewajibannya sendiri-sendiri serta mengakui hak pusat-pusat lainnya. Hal ini bertujuan agar ketiganya dapat berjalan beriringan satu sama lain. Melalui sinergi antar ketiga elemen ini, akan tercipta peserta didik yang senantiasa menjadi manusia merdeka, kreatif, bermoral, dan senantiasa bersikap arif dalam menapaki jalan hidupnya. 

Dalam konteks pendidikan karakter, persoalan moral menjadi substansi yang terus-menerus diperjuangkan. Ia menjadi landasan berpijak bagi setiap generasi bangsa.  Landasan moral yang kuat menjadi modal bagi terselenggaranya kehidupan yang diidealkan.  Karena itu pendidikan karakter yang utuh mesti mengolah tiga aspek sekaligus, yakni pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action). Dunia pendidikan kita yang kini telah terinstitusionalisasi dalam bentuk pendidikan formal, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sudah seyogianya mampu mengolah ketiga aspek moral di atas dengan baik. 

Ketiga aspek karakter di atas tersebut saling bertaut satu sama lain. Mampu bekerja sama secara simultan dan kompleks sedemikian rupa. Tidak cukup hanya sekadar mengetahui soal kaidah-kaidah moralitas yang telah menjadi konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan juga bagaimana konsensus moralitas tersebut benar-benar menjadi spirit dalam bertindak. Tidak mudah memang untuk mencapai hal ini, terlebih dalam situasi yang kini serba pragmatis, pendidikan karakter yang berorientasi terhadap pembentukan moralitas generasi bangsa tersebut mesti ditempuh melalui beberapa hal.

Dalam bukunya, “Educating for Character”, Thomas Lickona (1992) memerikan bahwa pendidikan karakter harus melibatkan metode, teknik, dan materi yang membuat seorang peserta didik memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik yang diawali oleh pengetahuan akan nilai kebaikan (knowing the good), sehingga mampu mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik (loving the good), untuk kemudian melakukan perbuatan baik (acting the good). Dalam hal metode, misalnya, seorang pendidik dapat menggunakan metode afektif yang menekankan pada kelekatan emosi; metode kognitif yang menekankan pada aspek proses berpikir; serta metode observasi yang dibangkitkan melalui proses imitasi. 

Selain ketiga contoh metode di atas, tugas seorang pendidik juga harus menemukan metode-metode yang sekiranya dianggap relevan, terutama dengan mengeksplorasi teori-teori perkembangan, terutama perkembangan moral manusia. Dengan menyesuaikan terhadap perkembangan zaman inilah metode pendidikan karakter akan senantiasa efektif diimplementasikan dalam berbagai derap dinamika bangsa. 
Pendidikan Karakter dalam Menyongsong 79 Kemerdekaan.

Menyongsong 79 tahun kemerdekaan, harapan bangsa Indonesia sejatinya mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya, sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta turut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Harapan mulia ini tentu dapat diwujudkan hanya dengan menyiapkan pembangunan SDM yang bermutu. Salah satu unsur pembangunan SDM yang sangat penting adalah pembangunan karakter, khususnya karakter unggul generasi bangsa. 

Karakter unggul yang dimaksud dalam konteks pembangunan SDM adalah mencakup sifat-sifat kompetitif, responsif, profesional, mandiri, visioner, cerdas, kreatif, keunggulan akademik dan lain sebagainya. Ini menandakan bahwa sudah saatnya orientasi pendidikan kita mengarah terhadap formulasi pendidikan karakter yang semakin adaptif dengan perkembangan zaman. 
Jika merujuk terhadap konsepsi Trisentra pendidikan Ki Hadjar Dewantara di atas, maka pembentukan pendidikan karakter saat ini perlu didukung oleh kerja sama berbagai pihak. Pendidikan karakter dalam prosesnya juga perlu dilakukan secara konsisten dan persisten. Hal ini penting dilakukan agar stimulus mengenai perilaku berkarakter dapat masuk dan ditahan dalam ingatan jangka pendek. 

Selain itu, reaktualisasi pendidikan karakter dalam menyongsong 79 kemerdekaan sangat ditentukan oleh sejauh mana sistem pendidikan kita mendukung terhadap orientasi yang demikian. Kurikulum Madrasah yang sudah ditetapkan melalui KMA 450 Tahun 2024 ini menjadi salah satu jalan terhadap berbagai tuntutan tersebut. Kurikulum Madrasah ini sejalan dengan Kurikulum Merdeka yang digagas oleh Kemdikbudristek. Hanya saja di Madrasah Kemenag memiliki ke-khasan misalnya dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), di Madrasah, diperkaya dengan Rahmatan Lil ‘Alamin, sehingga menjadi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Rahmatan Lil’ Alamin (P5RA). Nilai ini inheren dengan konsepsi paradigma Ki Hadjar Dewantara mengenai merdeka belajar, yakni pendidikan yang mengajarkan tercapainya perubahan dan dapat bermanfaat bagi lingkungan masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Karakter yang demikian, bagi Ki Hadjar, akan terbentuk apabila pendidikan dimaknai sebagai proses kultural untuk mendorong peserta didik agar memiliki jiwa mandiri dan merdeka, membentuk watak peserta didik agar supaya berjiwa nasional dan inklusif terhadap perkembangan global, mendidik berarti berupaya mengembangkan potensi, minat, dan bakat yang menjadi kodrat masing-masing peserta didik, serta membangun pribadi peserta didik agar berjiwa pionir-pelopor. 

Di samping itu, hal yang tak boleh ditanggalkan adalah bagaimana seorang pendidik juga mampu berpegang teguh pada semboyan ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita), dan tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya). Dengan mengembangkan sikap demikian, terbentuknya generasi yang cerdas, berjiwa nasionalis, dan berakhlak mulia bukan menjadi sesuatu yang mustahil kita harapkan untuk menyongsong Indonesia emas di masa-masa yang akan datang. Semoga. 

***

*) Oleh: Dr. H. Muchamad Sidik Sisdiyanto, S.Ag., M.Pd., Direktur KSKK Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES