Urgensi Penyelesaian Sengketa Masyarakat melalui Jalur Non Litigasi
TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Di zaman modern ini, banyak permasalahan yang terjadi di sekitar kita, meskipun terkadang tidak disadari, bahkan diharapkan terjadi. Namun, kehidupan mengharuskan kita siap menghadapi berbagai masalah, termasuk di bidang hukum.
Hukum dibuat untuk menghindari dan menyelesaikan masalah. Sebagai contoh, peraturan lalu lintas mengatur cara berkendara dan memanfaatkan jalan umum secara bersama untuk menuju tujuan tertentu dengan saling menghormati dan mentaati aturan. Apabila ada warga negara yang tidak mentaati aturan, timbullah permasalahan.
Advertisement
Aturan hukum memang dibuat untuk menertibkan kehidupan masyarakat. Namun, sengketa atau konflik antara dua orang atau lebih tetap tidak bisa dihindarkan. Banyak konflik antar warga masyarakat diawali oleh perebutan hak atau tidak terpenuhinya kewajiban.
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara individu, kelompok, atau organisasi terhadap suatu objek permasalahan. Menurut Winardi, pertentangan atau konflik terjadi antara individu atau kelompok dengan kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu pihak dengan pihak lain.
Jenis-Jenis Sengketa
Secara umum, sengketa terbagi menjadi dua, yaitu perdata dan pidana. Perkara perdata terbagi menjadi dua jenis utama: Wanprestasi (Ingkar Janji) yang diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Sementara itu, perkara pidana meliputi semua perkara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau undang-undang di luar KUHP.
Sengketa dapat diselesaikan secara damai. Kadang, konflik yang terjadi dapat menimbulkan ketegangan berkepanjangan, mengakibatkan kerugian bagi kedua belah pihak. Untuk menghindari perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting), pihak-pihak yang bersengketa dapat mencari cara penyelesaian sengketa yang dapat menyelesaikan konflik.
Dalam penyelesaian permasalahan hukum, dikenal penyelesaian sengketa secara litigasi, yaitu melalui pengadilan atau institusi kepolisian, dan penyelesaian sengketa secara non-litigasi, yaitu di luar pengadilan atau kepolisian.
Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi
Penyelesaian sengketa non-litigasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui cara di luar pengadilan yang menghasilkan kesepakatan win-win solution. Kelebihan proses ini adalah kerahasiaannya karena persidangan dan hasil keputusan tidak dipublikasikan. Selain itu, proses penyelesaian sengketa yang lamban akibat prosedural dan administratif dapat dihindari.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum dikenal sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Alternatif ini melibatkan prosedur yang disepakati para pihak, seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Definisi ini tertuang dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan dengan mengesampingkan litigasi.
Beberapa jenis alternatif penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:
Pertama, Konsultasi: Tindakan personal antara klien dan konsultan yang memberikan pendapat untuk memenuhi kebutuhan klien.
Kedua, Negosiasi: Penyelesaian sengketa melalui diskusi langsung antara pihak-pihak yang bersengketa.
Ketiga, Mediasi: Penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut mediator sebagai penengah.
Empat, Konsiliasi: Upaya mempertemukan pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa melalui negosiasi dengan melibatkan konsiliator.
Lima, Penilaian Ahli: Penyelesaian sengketa dengan menunjuk ahli untuk memberikan pendapat terhadap sengketa yang terjadi.
Hasil penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian dituangkan dalam kesepakatan tertulis yang dilaksanakan dengan itikad baik para pihak. Selain kelima cara tersebut, penyelesaian sengketa non-litigasi juga dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase. Menurut UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum berdasarkan perjanjian arbitrase tertulis oleh para pihak.
Dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, arbitrase didefinisikan sebagai penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan berdasarkan perjanjian arbitrase. Dalam prosesnya, sengketa diputuskan oleh arbiter yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak yang bersengketa.
Syarat utama arbitrase adalah perjanjian tertulis dan kesepakatan hukum serta tata cara penyelesaian sengketa. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, serta jika tidak dilaksanakan, dapat diputuskan oleh pengadilan negeri atas permohonan pihak yang bersengketa.
Penyelesaian Sengketa Oleh Kepala Desa
Penyelesaian sengketa oleh kepala desa juga merupakan bentuk penyelesaian di luar pengadilan, sering kali didominasi oleh hukum adat setempat. Biasanya, sengketa di desa diajukan kepada kepala desa untuk diselesaikan secara damai. Peran kepala desa penting dalam menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa. Kepala desa bertugas mendamaikan perselisihan sesuai Pasal 15 ayat (1) huruf k PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Penyelesaian sengketa non-litigasi oleh kepala desa secara hukum dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui perdamaian atau arbitrase.
Dalam penyelesaian sengketa, kepala desa bertindak sebagai mediator. Jika tidak ada lembaga adat, kepala desa dapat meminta bantuan tokoh agama atau tokoh masyarakat untuk membantu mendamaikan pihak yang bersengketa. Dengan menggunakan pendekatan adat, agama, dan tokoh masyarakat, kepala desa dapat lebih mudah mendamaikan pihak yang bersengketa.
Dengan konsep ini, kepala desa sebagai Kepala Persekutuan Hukum bertanggung jawab menjaga ketentraman, membuat dan menjaga hukum kelompoknya, serta mendamaikan perselisihan untuk menciptakan kedamaian dan keserasian dalam masyarakat. (*)
***
*) Oleh : Ahmad Royani S.H, M.H., Dosen Fakultas Hukum Unisla.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |