Dana Indonesiana: Tonggak Literasi Berbasis Masyarakat
TIMESINDONESIA, MALANG – Setiap daerah terbentuk dengan karakteristik geografis yang berbeda. Wujud ini sekaligus menjadi sebab munculnya budaya, bahasa, termasuk keanekaragaman intelektual. Sayangnya, sisi heterogen ini kadang tidak benar-benar dikenali oleh masyarakat itu sendiri. Karena, sebagian kita tidak terbudayakan secara literasi atas semua keunikan tersebut.
Maka diperlukan sebuah pengarsipan bagi kekayaan itu sehingga tidak usang di kepala orang-orang tua, atau tergerus globalisasi. Ini adalah kesadaran dan juga kesempatan untuk mengenal eksistensi diri. Meski di satu bagian pengarsipan ini memerlukan biaya, tenaga, dan tentunya semangat. Karena itulah kita memerlukan Dana Indonesiana.
Advertisement
Dana Indonesiana adalah program yang diadakan Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek). Dana Indonesia hadir sebagai dana abadi untuk mendukung pemajuan kebudayaan secara stabil di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, banyak kesempatan yang dibuka dengan sokongan anggaran hingga ratusan juta rupiah. Sebut saja seperti kajian objek kebudayaan, beasiswa pelaku budaya, dokumentasi karya atau pengetahuan maestro, penciptaan karya kreatif, inovatif, dan masih banyak lagi.
Saya telah berdiskusi dengan beberapa orang yang ikut terjun dalam memanfaatkan skema ini. Ada yang menguak macam-macam varian makanan khas daerah, dan ada juga yang konsen di variasi pukulan alat music tradisional. Selain itu, mereka yang menyukai dunia sinematografi juga difasilitasi dalam mendukung pembuatan film dokumenter kebudayaan.
Pendanaan yang mereka dapatkan ini berkesesuaian dengan estimasi pada proposal yang diajukan setelah lolos seleksi. Tapi yang ingin penulis tekankan; ada proses kajian ilmiah di setiap peminat Dana Indonesiana. Mereka didanai untuk merealisasikan karya atau penelitian yang menjadi bagian dari keresahan diri atau masyarakat. Di samping itu, kompetisi proposal menjadi jaminan kualitas karya atau inovasi tersebut.
Proses ini sekaligus menjadi alur akademis yang mungkin jarang disadari. Pasalnya, para peserta umumnya termotivasi untuk mendanai luapan keresahannya di bidang kebudayaan. Ini bukanlah bahasa yang klise untuk diutarakan. Ini akan mudah dirasakan jika pembaca sekalian mengerti betapa banyaknya budaya yang hari ini tertinggal dan kehilangan nilai. Ambil contoh misalnya di daerah saya Sumbawa NTB.
Sebagai daerah yang menyandang istilah 3T, kemerosotan nilai budaya terutama dalam hal kesenian adalah sesuatu yang rentan. Saya berkeliling ke banyak tempat dan mendapati banyak yang tidak bisa, lupa, dan tidak lagi bisa memainkan kesenian Ratib. Kesenian ini adalah tembang pujian terhadap Tuhan dan Rasul berbahasa Arab (hadroh) maupun berbahasa daerah. Kesenian ini dilantunkan bersama tautan suara rebana.
Tendensi kepunahan itu tampak terutama ketika kita menyentuh pada pemahaman filosofis kesenian yang dimaksud. Mirisnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di satu bentuk kesenian saja. Terlebih, kini berkembang pandangan bahwa berkesenian dan wawasan kebudayaan adalah trend orang tua. Hal ini terjadi karena daerah 3T kian terkonsentrasi hanya pada upaya peningkatan kualitas penghidupan.
Padahal, berbudaya adalah berpendidikan yang membuka ruang kemaslahatan. Berbudaya adalah berliterasi secara komprehensif di setiap lini kehidupan. Singkatnya, Dana Indonesiana adalah upaya memunculkan literasi dari, oleh, dan untuk masyarakat itu sendiri. Fungsi sokongan ini tersirat dalam UU Pemajuan Kebudayaan Pasal 49 Ayat (1).
Kita pastinya sadar bahwa proses berpendidikan tidak boleh hanya terkonsentrasi di dalam lingkungan sekolah. Maka dengan upaya pelestarian budaya, Pemerintah melalui skema ini mencoba membentuk atmosfer lingkungan yang argumentatif dan ekspresif. Pasalnya, hampir setiap gerakan kebudayaan berisi narasi kritis terhadap situasi sosial yang ada. Pembaca sekalian bisa memeriksa itu dalam folklore lisan maupun tulisan di budaya atau tradisi anda masing-masing.
Budaya mewariskan toto kromo terhadap segala urusan. Kita bisa melihatnya pada penggunaan kelas bahasa misalnya ngoko dan krama di Jawa. Budaya juga mewariskan nilai-nilai agama hingga etos kerja individu maupun kelompok. Bahkan fungsi demikian akan sangat menyumbang atas tumbuhnya nasionalisme pada generasi bangsa.
Ini sangatlah selaras dengan tujuan pendidikan karakter. Sokongan melalui Dana Indonesiana adalah rekayasa holistik untuk melestarikan budaya sekaligus mengadakan pendidikan di tengah masyarakat. Karena itu, kita sebagai masyarakat menanggung konsekuensi logis untuk bisa memanfaatkan skema ini dengan baik.
***
*) Oleh : Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang dan Pegiat Media NTB.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |