TIMESINDONESIA, BANDUNG – Kemerdekaan beragama di Indonesia kembali menjadi sorotan dengan berbagai pelanggaran hak yang terjadi baru-baru ini. Surat larangan bernomor 900/Y8/Pem-des-VIII/2024 dari Kepala Desa Parakansalak, Sukabumi, Rini Mulyani, bersama Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan Parakansalak, melarang Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengadakan Semarak Bazar Kemerdekaan RI ke-79. Hal ini mencerminkan sebuah tren pelarangan terhadap kegiatan keagamaan yang berlanjut dari kasus-kasus serupa di berbagai daerah.
Pada Maret 2024, terjadi pembubaran ibadah jemaat Gereja Tesalonika di Teluknaga, Kabupaten Tangerang, saat mereka sedang beribadah di rumah anggota jemaat di Kampung Melayu Timur. Video insiden ini viral pada Agustus 2024, menampilkan perundungan terhadap jemaat gereja oleh beberapa oknum masyarakat.
Advertisement
Pemerintah Kabupaten Tangerang saat ini telah mengatasi masalah ini dengan menyediakan tempat sementara untuk ibadah mereka. Namun, situasi ini menunjukkan adanya ketegangan dan pelanggaran hak beragama yang perlu ditangani lebih serius.
Kasus lain yang mengemuka adalah pelarangan ibadah doa Rosario di rumah indekos mahasiswa Universitas Pamulang (UNPAM) di Babakan Setu, Tangerang Selatan. Tindakan kekerasan dari beberapa oknum masyarakat yang diprovokasi oleh ketua RT setempat menyebabkan luka pada mahasiswa UNPAM.
Selain itu, pelarangan jilbab bagi pasukan pengibar bendera untuk peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-79, seperti yang dilansir oleh BPIP, menambah kontroversi yang tidak semestinya terjadi menjelang 17 Agustus.
Janji Konstitusi dan Realita
Peringatan kemerdekaan Indonesia di Ibu Kota Negara Baru Nusantara (IKN) seharusnya menjadi simbol kemerdekaan yang tidak hanya dirayakan, tetapi juga diimplementasikan dalam hak-hak dasar warga negara, termasuk hak beragama dan berkeyakinan.
Meski Indonesia telah merdeka dari penjajahan asing, kebebasan beragama dan berkeyakinan seringkali menghadapi tantangan baru yang dilegitimasi oleh berbagai keputusan pemerintah dan aparat.
Pada 17 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen kepala daerah untuk pendirian rumah ibadah sesuai konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjamin kebebasan beragama. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinannya. Ini mencerminkan peran negara sebagai pelindung hak beragama.
Namun, realita di lapangan seringkali berbeda. Negara dan aparat, seharusnya menjadi pelindung hak beragama, sering kali menjadi kompromis terhadap kelompok mayoritas, mengabaikan hak kelompok minoritas. Ini terlihat dari berbagai kasus pelarangan dan penggusuran rumah ibadah, serta tindakan diskriminatif yang diterima kelompok minoritas.
Contoh nyata adalah pelarangan kegiatan Jemaah Ahmadiyah dan penutupan masjid Ahmadiyah di Garut bulan Juli 2024. SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri serta Peraturan Gubernur yang membatasi kegiatan Ahmadiyah sering kali dijadikan justifikasi untuk pelarangan kegiatan keagamaan. Masalah ini juga terlihat pada aturan diskriminatif di sekolah-sekolah negeri yang mewajibkan jilbab, dengan 120 aturan daerah tentang jilbab, 73 di antaranya masih berlaku.
Tanggung Jawab Negara dan Perlindungan Hak Minoritas
Will Kymlica, filsuf politik, menekankan pentingnya melindungi hak minoritas, termasuk hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara dan aparatnya harus memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak minoritas untuk menjaga keberlangsungan hidup dan identitas mereka. Kymlica menyoroti bahwa negara dan aparatnya harus memiliki perspektif hak asasi manusia (HAM) dan keberagaman dalam setiap tindakannya.
Namun, penurunan skor Indeks HAM 2023 oleh Setara Institute, yang mencerminkan penurunan skor dari 3.7 di tahun 2022 menjadi 3.4 untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan, menunjukkan adanya tren pelanggaran hak beragama yang meningkat. Ini mengindikasikan bahwa masalah pelanggaran hak beragama semakin memburuk dan memerlukan perhatian lebih serius dari pemerintah dan aparat.
Setelah 79 tahun merdeka, Indonesia seharusnya dapat memberikan jaminan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk semua warganya. Namun, praktik diskriminatif dan pelarangan terhadap kelompok minoritas menunjukkan bahwa kemerdekaan beragama masih menjadi masalah besar.
Penting bagi negara untuk menegakkan konstitusi dan komitmennya terhadap hak asasi manusia, serta memastikan bahwa kemerdekaan ini benar-benar dirasakan oleh seluruh warga negara, tanpa terkecuali.
Sebagai negara multikultural, Indonesia harus menghargai keragaman suku, ras, agama, dan kepercayaan. Melindungi hak minoritas dan memastikan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang adil dan demokratis. Kemerdekaan beragama adalah hak semua orang, dan Indonesia harus memastikan bahwa hak ini benar-benar dihormati dan dijaga. (*)
***
*) Oleh : Fanny Syariful Alam, Koordinator Regional Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) Bandung.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |