Kopi TIMES

Merdeka Belajar dan Enam Fondasi Anak

Senin, 02 September 2024 - 16:38 | 22.70k
Katarina Retno Triwidayati.
Katarina Retno Triwidayati.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Setelah mengundurkan diri sebagai dosen, saya menjadi ketua tim pengembang kurikulum di sebuah kelompok bermain. Dengan demikian, saya berkesempatan mendampingi proses pembelajaran. Dengan demikian, saya menemukan banyak hal menarik. Salah satunya, saat mendampingi tim guru dalam menyampaikan materi pembelajaran tentang “Kita Semua Bersaudara”. 

Tim guru mulanya mengajak anak-anak membahas warna. Selain menggunakan percobaan tentang warna, anak juga diajak mengidentifikasi warna kulitnya masing-masing. Lalu mereka diajak juga untuk mengidentifikasi warna kulit temannya dan mengapresiasi. Tentu saja poin yang dituju di akhir adalah mengajak anak menyadari bahwa warna kulit mereka adalah baik dan perbedaan warna kulit juga hal yang baik. 

Advertisement

Berani Berbeda

Namun ternyata, salah satu anak mengatakan bahwa dia tidak menyukai warna kulitnya dan ingin memiliki kulit berwarna putih. Dia juga mengatakan bahwa dia sedih karena memiliki warna kulit sawo matang. 

Tentu saja hal ini di luar prediksi tim guru. Sebelumnya, tim memiliki keyakinan bahwa konsep kulit putih lebih baik daripada kulit sawo matang itu hanya didapatkan oleh mereka yang telah terpapar iklan dan standar kecantikan yang menyesatkan. Tim masih meyakini bahwa anak-anak di usia 2—4 tahun itu tidak memiliki konsep yang demikian. 

Pertanyaannya, bolehkah anak mengatakan tidak suka? Bolehkah anak memaparkan pendapat yang berbeda dengan ‘kunci jawaban’ yang sudah disiapkan oleh guru?

Ketidakseragaman

Selama ini sebagian besar sekolah kita menginginkan keseragaman. Keseragaman itu memang bisa dipandang baik di satu sisi. Namun, sebenarnya, tidak bisa diterapkan begitu saja di semua lini. Salah satunya dalam proses penilaian. 

Tak heran, ketika beberapa tahun lalu Maudy Ayunda menyatakan bahwa sekolah sebaiknya memberi tes berupa tes esai, hal itu direspon beragam. Di sekolah dengan jumlah siswa yang sangat banyak, tes semacam itu tentu tidak praktis. Kepraktisan tes pilihan ganda disebabkan adanya jawaban yang pasti. Opsi yang disediakan pun memiliki rumus tertentu, misalnya jumlah pengecoh dan sebaran jawaban. Dengan demikian, mengoreksi jawaban pilihan ganda memang lebih cepat dilakukan dibandingkan mengoreksi jawaban esai. 

Dalam konteks pembelajaran yang kami lakukan di atas, jawaban anak yang menyatakan ketidaksukaannya pada warna kulit menjadi jawaban anomali. Jika soal disajikan dalam format pilihan ganda, jawaban itu terdeteksi salah karena tujuan pembelajaran adalah anak menyukai apa yang ada di dirinya. Artinya, kunci jawaban ada di poin: saya menyukai warna kulit saya. 

Padahal, kita bisa menemui dengan mudah anak-anak yang tidak menyukai dirinya. Dan hal itu bisa dibentuk dari rasa tidak puas dan tidak menerima dirinya. Mereka bisa saja minder dengan tinggi badannya, atau kelainan tertentu yang ada dalam dirinya. 

Dengan kondisi yang demikian, bagaimana bisa kita memaksa anak untuk menerima? Bagaimana bisa kita ‘memaksa’ anak mengatakan bahwa ia menyukai hal yang memang tidak disukainya? 

Merdeka Belajar

Sementara itu, dalam konsep Merdeka Belajar terdapat juga episode transisi PAUD ke sekolah dasar yang menyenangkan. Ada tiga poin dalam epidode tersebut, yaitu menghilangkan tes calistung dari proses penerimaan siswa di sekolah dasar, menerapkan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama dua minggu, dan menerapkan pembelajaran yang menerapkan enam fondasi anak. Enam fondasi anak itu berupa mengenal agama dan budi pekerti, keterampilan sosial dan bahasa, kematangan emosi, kematangan kognitif, keterampilan motorik dan perawatan diri, dan pemaknaan terhadap belajar yang positif. 

Situasi pembelajaran yang terjadi di awal tulisan ini membuat guru berhadapan dengan anak yang ‘menguji’ kedewasaan dan kemampuan menentukan perspektif guru. Guru bisa mengajak anak menemukan hal baik dari hal yang tidak disukainya. Misalnya, meski kulitnya berwarna sawo matang, kulitnya sehat. Lalu anak diajak bersyukur atas kesehatan kulitnya itu, alih-alih tetap diminta untuk membuat pernyataan bahwa anak tersebut menyukai warna kulitnya.  

Merdeka Bermain

Kurikulum Merdeka di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) disebut juga Merdeka Bermain. Hal ini dimaksudkan agar anak memiliki persepsi bahwa belajar itu menyenangkan dan tidak memberatkan. Lebih lanjut, dalam pembelajaran di PAUD, anak diajak belajar melalui berbagai kegiatan bermain. Dan mereka juga dapat mempelajari sesuatu dari kegiatan bermain tersebut.

Meniadakan tes calistung sebagai tes penerimaan siswa baru di sekolah dasar perlu dibarengi dengan pemahaman dan pelaksanaan belajar calistung memang dimulai dari sekolah dasar. Anak tidak perlu diperam, dipaksa bisa sebelum waktunya. 

Justru pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar, kita bersama-sama membangun pemahaman positif anak dan mendasarkan kegiatan bermain dan belajar yang bermakna dilandasi enam fondasi anak tersebut. Penerimaan akan dirinya secara utuh perlu dilakukan secara bertahap dan bersama-sama. Semua pihak berbenah bersama dalam kapasitas masing-masing dan bersinergi mewujudkan pendidikan berkualitas bagi anak.

Konsep Baik

Konsep baik dari Merdeka Belajar ini hanya akan menjadi konsep semata jika tidak ada kerja sama antar semua pihak. Selama ini, kita selalu disodorkan pemandangan anak usia dini berusaha untuk secepat mungkin lekas bisa membaca dan menulis. Padahal, hal itu belum tentu sesuai dengan tahapan perkembangan anak. 

Hal itulah yang kiranya menjadi semangat yang dituangkan dalam konsep Merdeka Belajar. Kurikulum Merdeka memberikan hak anak untuk bertumbuh, berkembang, dan mendapatkan layanan pendidikan secara tepat. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan secara fleksibel memberi keleluasaan pada guru sehingga anak dapat mencapai tahap perkebangannya tanpa diburu-buru. Tak hanya itu pembelajaran dapat dikembangkan dengan menyesuaikan konteks dan muatan lokal.

Dalam situasi belajar seperti yang dialami rekan saya tadi, penerimaan akan warna kulit bisa dihubungkan dengan kekhasan hidup di negara tropis. Warna kulit sawo matang mengandung pigmen melanin yang memberikan perlindungan alami dari paparan sinar matahari, kelembaban tinggi dan efek tropis lainnya. 

Kosep baik tersebut telah dibagikan dan disebarluaskan. Kita bisa mengakses informasi tersebut dengan mudah. Kita pun bisa mengadaptasi praktik pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah lain tanpa perlu meninggalkan kekhasan yang dimiliki tiap lembaga. Demikianlah, makna Merdeka Belajar menjadi hidup di tiap lembaga. 

Pada akhirnya, mewujudkan mimpi pendidikan berkualitas itu tidak bisa dibebankan pada sekolah saja atau pada pemangku kebijakan saja. Pertanyaan yang diucapkan kepala sekolah Tomoen Gakuen, Sosaku Kobayashi, dalam buku (dan film) berjudul Totto Chan tampaknya tepat untuk menjadi renungan kita bersama sebelum memutuskan rincian kegiatan yang bermakna buat anak-anak kita: “Sekolah seperti apa yang akan kita buat?”

***

*) Oleh: Katarina Retno Triwidayati.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES