Kopi TIMES

Jakarta Under Pressure

Jumat, 06 September 2024 - 12:00 | 15.84k
Abdul Mukti Ro’uf, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abdul Mukti Ro’uf, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pilkada Jakarta, sedari dulu, selalu bercitarasa Pilpres. Issu dan dinamika politiknya selalu menyedot perhatian nasional. Tokoh-tokoh yang yang akan maju di pilkada pun bereputasi nasional. Maka tidak heran jika para calon gubernur dan calon wakil gubernur Jakarta berasal dari mereka yang sudah malang-melintang sebagai tokoh nasional.

Pemilu dan Pilkada 2024 mengabarkan fenomena yang berbeda dari pemilu dan pilkada sebelumnya. Hasil pilpres dan pileg 2024 sedikit atau banyak akan mempengaruhi dinamika pilkada pada semua tingkatan di seluruh Indonesia. Fenomena itu sangat terasa terutama di beberapa provinsi kunci. Sebut saja, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Sumatra Utara. Disebut sebagai provinsi kunci diantaranya karena alasan populasi pemilih yang berhubungan langsung dengan politik elektoral untuk kepentingan pilpres lima tahun akan datang, 2029.

Advertisement

Dinamika politik di Jakarta sudah mulai menghangat suhunya sejak satu bulan yang lalu hingga pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang telah ditutup sejak tanggal 29-08-2024 pukul 24.00 WIB. Skenario melawan kotak kosong oleh Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM-Plus) mulai berantakan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. 

Diketahui, pada Selasa (20/8), MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan penghitungan syarat usia calon kepala daerah, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, harus terhitung sejak penetapan pasangan calon. Dalam putusan ini, langsung atau tidak langsung telah menghambat rencana jalan politik Kaesang Pangarep untuk maju sebagai cawagub DKI dan atau Jawa Tengah.

Selain itu, MK juga mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. MK membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat. Lewat putusan tersebut, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala daerah. 

Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah bersangkutan, yakni berkisar dari 6,5 hingga 10 persen.

Perlawanan terhadap hasil putusan MK cukup terasa oleh DPR RI yang secara cepat semula akan merevisi Undang-undang Pilkada. Tetapi perlawanan itu segera datang dari kekuatan aksi mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat. DPR kalah dan akhirnya berujung pada penetapan P-KPU yang merujuk pada hasil putusan MK. 

Dari situlah terjadi dinamika politik yang berubah cepat di seluruh Indonesia termasuk di Jakarta. PDIP yang semula tidak bisa mencalonkan sendiri, kini memiliki peluang dan akhirnya menetapkan nama Pramono Anung Wibowo dan Rano “Doel” Karno sebagai bacalon Gubernur-Wakil Gubernur oleh PDIP. 

Sebelumnya, nama Anies Rasyid Baswedan dengan seluruh kontroversi perjalanannya menuju DKI 1 harus terhenti sejak PKS dan PKB merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan, dalam injury time, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri memilih kadernya sendiri, Pramono Anung Wibowo-Rano Karno maju sebagai bacalon PDIP setelah sebelumnya nama Anies Baswedan santer akan dicalonkan oleh PDIP.

Mengapa Mas Pram?

Kehadiran Pramono Anung dalam bursa cagub Jakarta cukup mendadak dan mengejutkan. Mas Pram sendiri mengatakan, “jangankan publik, wong saya sendiri terkejut”. Secara kronologis, Mas Pram semula berkali-kali menolak ketika Ketum PDIP memintanya untuk maju sebagai bacalon. Tetapi akhirnya, sebagai kader tulen dan militan, ia memutuskan bersedia setelah mendapat izin dari isterinya dan presidennya, Jokowi. 

Mas Pram adalah tokoh politik senior PDIP yang selama hampir sepuluh tahun tidak pernah berbicara di depan publik karena tugasnya sebagai sekretaris kabinet yang mengurusi dapur kabinet. Ungkapan menarik dari dirinya adalah: “politisi itu tahu sedikit, bicaranya banyak. Tetapi sebagai sekretaris kabinet, kerjanya banyak, bicaranya sedikit”. Ia hendak mengatakan bahwa kini, dalam konteks sebagai bacalon gubernur telah mengantongi pengalaman yang lengkap: mengetahui banyak hal dan bisa mengkomunikasikannya dengan baik.

Pramono Anung, sejauh ini dikenal sebagai politisi yang komunikatif dalam banyak urusan dan berelasi lintas-batas dengan banyak kalangan. Ia adalah tokoh yang mudah bergaul dan diterima oleh banyak kalangan. Kehadirannya di Jakarta seolah hendak menegaskan bahwa ia “bukan Anies Baswedan” yang terkesan “kanan-Islam” dan “bukan Ahok” yang menjadi antitesa dari Anies terutama pada gelaran pilkada tahun 2017. 

Mas Pram hadir sebagai “sosok tengah” yang sejauh ini bisa berkomunikasi dengan Ahok dan pengikutnya (Ahoker). Juga bisa berkomunikasi baik dan cair dengan Anies dan pendukungnya karena perjalanan sejarah keduanya. Hingga di sini, secara elektoral, potensi dukungan terhadap Mas Pram bisa datang dari dua sosok Anies dan Ahok dan para pengikutnya. Suatu potensi suara elektoral yang rasional dan menjanjikan.

Bagaimana dengan Si “Doel” Rano Karno?

Rano Karno, sebelum menjadi politisi PDIP dikenal sebagai seniman dan aktor. Namanya kian melejit ketika serial sinetron “Si Doel Anak sekolahan” pada tahun 90-an menghiasi layar kaya dan ditonton oleh jutaan pemirsa. Cerita yang berlatar belakang budaya tradisional Betawi bertahun-tahun menjadi tontonan masyarakat tidak hanya di Jakarta, tetapi di seluruh penjuru negeri. 

Sehingga, hingga kini, nama besar Rano Karno selalu identik dengan nama “Si Doeal anak Betawi”. Setelah menjadi anggota dewan DPR RI Fraksi PDIP dan wakil gubernur dan gubernur Banten, nama Rano Karno tetap saja identik dengan “Si Doel Anak Betawi”. Personal branding ini masih tetap relevan jika kini dikontekstualisasikan dengan pilkada DKI 2024.

Identitas “kebetawian” mau tidak mau akan selalu melekat pada diri Rano Karno. Ia tidak lagi berupaya mencitrakan dirinya sebagai “anak Betawi”. Dalam dirinya, atribusi Betawi telah menjadi inhern. Sehingga tidak diperlukan lagi upaya pemolesan dan pencocokan dengan pernak-pernik kebetawian. Namun demikian, dalam politik elektoral, atribusi identitas kebudayaan tidak selalu paralel dengan afiliasi dan pilihan politik seseorang. 

Tetapi setidaknya, bagi mereka yang merasa sebagai “orang Betawi” akan lebih identik dengan personifikasi Rano Karno dibanding bacalon lainnya. Si “Doel” tidak hanya identik dengan masyarakat Betawi. Ia juga telah dibekali pengalamannya dalam kerja-kerja legislatif dan eksekutif. Sehingga, dalam diri Si Doel telah tersimpan pengetahuan dan pengalaman yang lengkap.

Bagaimana Kompetisi antar Partai?

Ide dan gagasan melawan kotak kosong di pilkada DKI tetap membuncah meski telah ada pasangan lainnya pasca putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Hal itu tercermin dari dukungan partai politik terhadap bacalon gubernur-wakil gubernur. Koalisi Indonesia Maju-Plus (KIM-Plus) yang merupakan duplikasi dari Koalisi Pilpres 2024 menghendaki agar gubernur DKI mendatang menjadi satu paket dengan presiden dan wakil presiden terpilih karena alasan sinkronisasi dan kordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah. 

Bacalon Ridwan Kamil (RK) dan Suswono adalah vigur yang telah ditetapkan dan didaftarkan ke KPU oleh KIM-Plus dengan dukungan 15 partai politik: Gerindra (14 kursi), PKS (18), Golkar (10 kursi), Demokrat (9 kursi), NasDem (10 kursi) , PSI (8 kursi), PKB (10 kursi), Gelora, PBB, Perindo (1 kursi), PAN (10 kursi), PPP (1 kursi), Prima, PKN, dan Garuda dengan total suara sebesar 91 kursi dari total 106 kursi. 

Sementara, pasangan Pramono Anung Wibowo-Rano Karno hanya didukung oleh satu partai, PDIP dengan jumlah 15 kursi. Artinya, dari aspek dukungan partai, bacalon Pramono Anung Wibowo-Rano Karno dengan modal 15 kursi akan melawan dengan kekuatan dukungan 91 kursi.

Masalahnya, pilkada bukanlah pertarungan antar jumlah kursi di gedung DPR. Ia adalah kompetisi yang melibatkan pemilih sebagai pemegang suara. Sehingga, logika jumlah dukungan partai dan kursi tidak bisa paralel dengan logika “one man one vote”. Sejarah pilkada DKI tahun 2012 telah mengkonfirmasi bahwa “koalisi besar dan gemuk” tidak selalu memenangkan pertandingan. 

Pada saat itu, Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah pasangan yang diusung oleh PDI-P dan Gerindra sebagai “koalisi kecil” melawan pasangan petahana Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang didukung oleh koalisi besar partai-partai, termasuk Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKS, dan PPP. Pasangan Jokowi-Ahok dapat memenangkan pertandingan Karena kreativitas dan inovasinya pada saat itu.

Bagaimna peluang pasangan Mas Pram-Si Doel?

Dengan seluruh variabel politik yang tersedia dan dinamikanya yang unik, pasangan ini tetap memiliki kans dengan “keajaiban politik” yang bisa saja datang dan terjadi. Fakta historisnya telah tersedia dengan seluruh plus-minusnya. Pasangan ini dapat berkompetisi dengan ketat meski melawan “koalisi gajah” dengan beberapa faktor pendukung:

Pertama, figur Pramono Anung dan Rano Karno adalah figur yang telah teruji dengan pengalaman lengkap dan matang. Keduanya sudah kenyang makan “asam-garam” perpolitikan dan masalah-masalah Jakarta. 

Kedua, pasangan ini telah mendapat stempel “kebudayaan Betawi” terutama pada diri Rano Karno yang tentu saja identik dengan preferensi masyarakat Betawi.

Ketiga, pasangan ini telah memiliki sumber suara potensial yang berasal dari gabungan “suara fanatik” Anies Baswedan dan Basuki Thahaya Purna (Ahok). Kenapa? Jika persepsi gagalnya Anies maju sebagai cagub DKI karena alasan penghadangan dari barisan KIM-Plus, maka kekecewaan itu bisa dialihkan sebagai sumber suara pasangan non KIM-Plus, yaitu Parmono-Rano Karno. Juga dengan pendukung setia Ahok yang secara elektoral akan identik dengan PDIP. 

Keempat, sosok Pramono Anung relatif dapat diterima oleh tokoh-tokoh kunci dalam KIM-Plus karena kapasitas dann personalitinya. Sehingga, kekhawatiran berlebihan soal sulitnya kerjasama pusat-Daerah dapat diminimalisir dan ditepis.

***

*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES