TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Al-Quran Al-Karim, seruan Allah kepada seluruh umat manusia, berdiri tegak dihadapan berbagai macam arus yang mengupayakan kebatilan untuk mengingkari hakikat-hakikatnya dan memperdebatkan pokok-pokoknya. Karenanya ia perlu membungkam intrik-intrik mereka secara konkrit dan realistis serta menghadapi mereka dengan uslub bahasa yang memuaskan, argumentasi yang pasti dan bantahan yang tegar.
Syahdan. Al-Quran dalam berdebat dengan para penantangnya banyak mengemukakan dalil dan bukti kuat serta jelas yang dapat dimengerti kalangan awam dan orang ahli. Ia membatalkan setiap kerancuan vulgar dan mematahkannya dengan perlawanan dan pertahanan dalam uslub yang konkrit hasilnya, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penyelidikan.
Advertisement
Al-Quran tidak menempuh metode para ahli kalam yang memerlukan adanya muqaddimah (premis) dan natijah (konklusi), seperti dengan cara ber-istidlal (inferensi) dengan sesuatu yang bersifat kulliy (universal) atas yang juz’iy (parsial) dalam qiyas syumul, ber-istidlal dengan salah satu dua juz’iy atas yang lain dalam qiyas tamsil atau ber-istidlal dengan juz’iy atas kulliy dalam qiyas istiqra’.
Kenapa demikian? Karena pertama, al-Qur’an datang dalam bahasa Arab dan menyeru mereka dengan bahasa yang mereka ketahui. Kedua, bersandar pada fitrah jiwa, yang percaya kepada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran mendalam dalam beristidlal adalah lebih kuat pengaruhnya dan lebih efektif hujjah-nya. Ketiga, meninggalkan pembicaraan yang jelas, dan mempergunakan tutur kata yang jelimet dan pelik, merupakan kerancuan dan teka-teki yang hanya dapat dimengerti kalangan ahli (khas).
Tentu saja, cara demikian yang biasa ditempuh para ahli Mantiq (logika) ini tidak sepenuhnya benar. Karena itu, dalil-dalil tentang tauhid dan hidup kembali di akhirat yang diungkapkan dalam al-Qur’an merupakan dalalah tertentu yang dapat memberikan makna yang ditunjukkannya secara otomatis tanpa harus memasukkannya ke dalam qadiyah kulliyah (universal proposition).
Perkataan Ibnu Taimiyah
Bukankah Syaikhul Islam Ibn Taimiyah pernah berkata dalam kitabnya, Ar-Raddu alal Mantiqiyyin: “Dalil-dalil analogi yang dikemukakan para ahli debat, yang mereka namakan ‘bukti-bukti (barahin) untuk menetapkan adanya Tuhan, Sang Pencipta, Yang Mahasuci dan Mahatinggi itu, sedikit pun tidak dapat menunjukkan esensi Zat-Nya. Tetapi hanya menunjukkan sesuatu yang mutlak dan universal yang konsepnya itu sendiri tidak bebas dari kemusyrikan.
Sebab jika kita mengatakan, Ini adalah muhdas (baharu) dan setiap yang muhdas pasti mempunyai muhdis (pencipta); atau ini adalah sesuatu yang mungkin dan setiap yang mungkin harus mempunyai yang wajib, pernyataan seperti ini hanya menunjukkan muhdis mutlak atau wajib mutlak. Konsepnya tidak bebas dari kemusyrikan.”
Selanjutnya ia mengatakan: “Argumentasi mereka ini tidak menunjuk kepada sesuatu tertentu secara pasti dan spesifik, tidak menunjukkan wajibul wujud atau yang lain. Tetapi ia hanya menunjuk kepada sesuatu yang kulliy, padahal sesuatu yang kulliy itu konsepnya tidak terlepas dari kemusyrikan. Sedang wajibul wujud, pengetahuan mengenainya, dapat menghindarkan dari kemusyrikan. Dan barang siapa tidak mempunyai konsep tentang sesuatu yang bebas dari musyrikan, maka ia belum berarti telah mengenal Allah.”
“Ini berbeda”, lanjutnya, “dengan ayat-ayat yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, seperti firman-Nya:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَآءِ مِنْ مَّآءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ کُلِّ دَآبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَآءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.” (QS. Al-Baqarah [2]: 164).
وَفِى الْاَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجٰوِرٰتٌ وَّجَنّٰتٌ مِّنْ اَعْنَابٍ وَّزَرْعٌ وَّنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَّغَيْرُ صِنْوَانٍ يُّسْقٰى بِمَآءٍ وَّاحِدٍ ۙ وَّنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلٰى بَعْضٍ فِى الْاُ كُلِ ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّـقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
Artinya: “Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, pohon kurma yang bercabang, dan yang tidak bercabang; disirami dengan air yang sama, tetapi Kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainnya dalam hal rasanya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 4).
وَجَعَلْنَا الَّيْلَ وَالنَّهَارَ اٰيَتَيْنِ فَمَحَوْنَاۤ اٰيَةَ الَّيْلِ وَجَعَلْنَاۤ اٰيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِّتَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَ ۗ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنٰهُ تَفْصِيْلًا
Artinya: “Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang-benderang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhanmu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.” (QS. Al-Isra’ [17]: 12).
Ayat-ayat, kata Ibnu Taimiyah, tersebut menunjukkan esensi Pencipta Yang Tunggal, Allah Swt., tanpa serikat antara Dia dengan yang lain. Segala sesuatu selain Dia selalu membutuhkan Dia, karena itu eksistensi segala sesuatu itu menuntut secara pasti eksistensi Pencipta itu sendiri.
Dari jelas, bahwa dalil-dalil Allah atas ketauhidan-Nya, ma’ad (hidup kembali di akhirat) yang diberitakan-Nya dan bukti-bukti yang ditegakkan-Nya bagi kebenaran rasul-rasul-Nya, tidak memerlukan qiyas syumil atau qiyas tamsil. Akan tetapi, dalil-dalil tersebut benar-benar menunjukkan maknanya secara nyata.
Itu sebabnya, pengetahuan tentang itu menuntut pengetahuan tentang makna yang ditunjukkannya, dan proses perpindahan pikiran dari dalil tersebut kepada madlul-nya pun sangat jelas bagai proses perpindahan pikiran dari melihat sinar matahari ke pengetahuan tentang terbitnya matahari itu. Dengan kata lain, inferensi semacam ini bersifat aksiomatik (badihi) dan dapat dipahami oleh akal.
Perkataan Az-Zarkasyi
Demikian juga Az-Zarkasyi berkata: “Ketahuilah bahwa al-Qur’an telah mencakup segala macam dalil dan bukti. Tidak ada satu dalil pun, satu bukti atau definisi-definisi mengenai sesuatu, baik berupa persepsi akal maupun dalil naql yang universal, kecuali telah dibicarakan oleh Kitabullah. Tetapi Allah mengemukakannya sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab; tidak menggunakan metode-metode berpikir ilmu kalam yang rumit, karena dua hal: Pertama, mengingat firman-Nya:
وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗ فَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَآءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim [14]: 4).
“Kedua, bahwa orang yang cenderung menggunakan argumentasi pelik dan rumit itu sebenarnya ia tidak sanggup menegakkan hujjah dengan kalam agung. Sebab, orang yang mampu memberikan pengertian (persepsi) tentang sesuatu dengan cara lebih jelas yang bisa dipahami sebagian besar orang, tentu tidak perlu melangkah ke cara yang lebih kabur, rancu dan berupa teka-teki yang hanya dipahami oleh segelintir orang.”
Oleh karena itu, Allah Swt. memaparkan seruan-Nya dalam berargumentasi dengan makhluk-Nya dalam bentuk argumentasi paling agung yang meliputi juga bentuk paling pelik, agar orang awam dapat memahami dari yang agung itu apa yang dapat memuaskan dan mengharuskan mereka menerima hujjah, dan dari celah-celah keagungannya kalangan ahli dapat memahami juga apa yang sesuai dengan tingkat pemahaman para sastrawan.
Dengan pengertian itulah hadis: “Sesungguhnya setiap ayat itu mempunyai lahir dan batin, dan setiap huruf mempunyai sesuatu hadd dan matla” diartikan, tidak dengan pendapat kaum Batiniyah. Dari sisi ini maka setiap orang yang mempunyai ilmu pengetahuan lebih banyak, tentu akan lebih banyak pula pengetahuannya tentang ilmu al-Quran.
Itulah sebabnya, apabila Allah Swt. menyebutkan hujjah atas rububiyah (ketuhanan) dan wahdaniyah (keesaan)-Nya selalu dihubungkan, kadang-kadang dengan “mereka yang berakal”, dengan “mereka yang mendengar”, dengan “mereka yang berpikir” dan terkadang dengan “mereka yang mau menerima pelajaran”. Hal ini untuk mengingatkan, setiap potensi dari potensi-potensi tersebut dapat digunakan untuk memahami hakikat hujjah-Nya itu. Misalnya firman Allah Swt:
وَفِى الْاَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجٰوِرٰتٌ وَّجَنّٰتٌ مِّنْ اَعْنَابٍ وَّزَرْعٌ وَّنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَّغَيْرُ صِنْوَانٍ يُّسْقٰى بِمَآءٍ وَّاحِدٍ ۙ وَّنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلٰى بَعْضٍ فِى الْاُ كُلِ ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰ يٰتٍ لِّـقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
Artinya: “Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, pohon kurma yang bercabang, dan yang tidak bercabang; disirami dengan air yang sama, tetapi Kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainnya dalam hal rasanya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 4).
Ketahuilah bahwa terkadang nampak dari ayat-ayat al-Qur’an, melalui kelembutan pemikiran, penggalian dan penggunaan bukti-bukti rasional menurut metode ilmu kalam. Di antaranya adalah pembuktian tentang Pencipta alam ini hanya satu, berdasarkan induksi yang diisyaratkan dalam firman-Nya:
لَوْ كَانَ فِيْهِمَاۤ اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَـفَسَدَتَا ۚ فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُوْنَ
Artinya: “Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada Tuhan-Tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha Suci Allah yang memiliki ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiya [21]: 22).
Sebab, seandainya alam ini mempunyai dua pencipta, tentu pengendalian dan pengaturan keduanya tidak akan berjalan secara teratur dan kokoh, dan bahkan sebaliknya, kelemahan akan menimpa mereka atau salah seorang dari keduanya. Itu disebabkan, andaikata salah seorang dari keduanya ingin menghidupkan suatu jisim, sedang yang lain ingin mematikannya maka dalam hal ini tidak terlepas dari tiga kemungkinan:
Pertama, keinginan keduanya dilaksanakan maka hal ini akan menimbulkan kontradiksi, karena mustahil terjadi pemilahan kerja andai terjadi kesepakatan di antara mereka berdua, dan tidak mungkin dua hal yang bertentangan dapat berkumpul jika tidak terjadi kesepakatan.
Kedua, keinginan mereka tidak terlaksana, maka yang demikian menyebabkan kelemahan mereka. Ketiga, keinginan salah satunya tidak terlaksana, dan ini menyebabkan kelemahannya, padahal Tuhan tidaklah lemah.
***
*) Oleh : Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |