Cerai Karena Suami Hilang: Fenomena yang Menghantui Keluarga Modern
TIMESINDONESIA, MALANG – Fenomena istri yang mengajukan gugatan cerai karena suami hilang tanpa kabar dalam waktu lama semakin sering terjadi dalam masyarakat modern. Ketidakhadiran suami dalam rumah tangga tanpa memberikan penjelasan atau alasan yang jelas tidak hanya menimbulkan perasaan terabaikan bagi istri, tetapi juga melanggar kewajiban suami dalam memberikan nafkah lahir batin.
Menurut hukum Islam, suami wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan istrinya, baik secara finansial maupun emosional. Ketika suami menghilang, istri memiliki hak untuk menggugat cerai di pengadilan, terutama jika ketidakhadiran ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan tanpa pemberian nafkah.
Advertisement
Salah satu contoh kasus yang sering terjadi adalah ketika seorang istri ditinggalkan oleh suaminya selama dua tahun tanpa kabar. Selama kurun waktu tersebut, sang istri tidak menerima nafkah dan tidak mengetahui keberadaan suaminya. Setelah bertahun-tahun mencoba bertahan dan mencari suaminya, ia akhirnya memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai melalui Pengadilan Agama.
Pengadilan pun mengabulkan gugatannya setelah proses yang panjang karena suami dianggap telah melalaikan kewajibannya. Dalam kasus ini, suami tidak hanya mengabaikan kebutuhan lahiriah istri, tetapi juga aspek emosional yang penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Kasus serupa banyak terjadi di pengadilan agama, di mana para istri memutuskan untuk menggugat cerai suami yang hilang tanpa jejak. Dalam konteks ini, perceraian menjadi solusi untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, serta memberikan kesempatan bagi istri untuk melanjutkan hidup yang lebih baik. Ini menunjukkan bahwa ketidakhadiran suami tanpa alasan yang jelas merupakan pelanggaran terhadap ikatan pernikahan dan bisa berujung pada perceraian.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dalam Islam, ketika suami menghilang tanpa kabar dalam waktu lama, pernikahan tidak otomatis berakhir. Statusnya tetap sah selama tidak ada talak dari suami atau keputusan hakim. Jika suami tidak kembali dan tidak memberi nafkah, istri berhak menggugat cerai ke pengadilan agama setelah menempuh berbagai upaya hukum. Sementara itu, menurut hukum negara, suami yang meninggalkan istri tanpa kabar dan nafkah dapat dijerat pidana karena melakukan penelantaran rumah tangga, dan istri dapat mengajukan gugatan cerai atas dasar penelantaran.
Perceraian akibat suami yang hilang tanpa kabar dalam waktu lama seringkali menimbulkan dampak negatif yang mendalam, terutama bagi istri. Ketika seorang istri memutuskan untuk menggugat cerai karena suami menghilang, ini bukanlah keputusan yang mudah. Salah satu dampak utama adalah terganggunya stabilitas emosional istri.
Ketidakpastian mengenai keadaan suami dan peran istri sebagai kepala keluarga yang mendadak seringkali membuat perempuan harus mengambil peran ganda dalam rumah tangga, baik sebagai ibu maupun pencari nafkah. Kondisi ini menciptakan beban psikologis yang berat. Selain itu, masalah finansial juga menjadi tantangan, terutama jika suami yang hilang sebelumnya adalah tulang punggung keluarga.
Dampak lain dari perceraian ini adalah pada anak-anak. Ketidakhadiran sosok ayah yang hilang tanpa kabar menyebabkan anak-anak kehilangan figur penting dalam kehidupan mereka, yang dapat mempengaruhi perkembangan psikologis dan sosial anak-anak. Sebagai contoh, dalam sebuah kasus di Yogyakarta, seorang perempuan terpaksa menggugat cerai suaminya setelah ia hilang tanpa kabar selama lebih dari dua tahun.
Sang istri, yang awalnya mencoba bertahan dengan harapan suaminya kembali, akhirnya menyerah karena harus menanggung beban keluarga seorang diri. Ia memutuskan untuk mengajukan cerai agar bisa melanjutkan hidupnya dan memberikan kepastian hukum bagi dirinya dan anak-anaknya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perceraian karena suami hilang tanpa kabar tidak hanya berdampak pada status pernikahan, tetapi juga mengakibatkan trauma psikologis, masalah ekonomi, dan ketidakstabilan keluarga secara keseluruhan. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |