Kopi TIMES

Dinamisasi Anggaran Negara

Jumat, 27 September 2024 - 09:15 | 36.42k
Haris Zaky Mubarak, MA., Analis, Konsultan dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia
Haris Zaky Mubarak, MA., Analis, Konsultan dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah disahkan secara resmi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun jika ditelusuri secara bijak ada banyak tantangan nyata yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia agar dapat resisten dalam dinamika goncangan ekonomi. 

Diantaranya, menyangkut masalah middle income trap, dimana kondisi suatu negara akan mengalami kesulitan saat melakukan transisi dari kontekstual pendapatan menengah kepada kelompok ekonomi pendapatan tinggi agar memberi celah pertumbuhan ekonomi signifikan. Dalam realitas ini ada imaji proyeksi cerdas menstimulasi kebutuhan ekonomi nasional secara taktis

Advertisement

Secara rasional strategi memacu ekselensi atau daya tahan APBN ini dapat dicapai jika pemerintah dengan tata sistematis mampu membangun secara matang berbagai strategi investasi infrastruktur, reformasi pendidikan, simulasi investasi dan pengembangan sektor industri teknologi secara tepat guna. Dalam sisi inilah postur APBN pada 2025 telah disusun dengan target penerimaan Rp2.996,9 triliun sebagaimana besaran belanja Rp3.613,1 triliun atau dengan defisit anggaran Rp616,2 triliun (Kemenkeu RI, 2024). 

Dalam tolok ukur ini, pemerintah harus benar-benar serius membangun konektivitas, efisiensi logistik, dan produktivitas ekonomi. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah target rasional APBN ini akan dapat dengan mudah untuk dicapai dalam era pemerintahan Prabowo-Gibran?

Strategi Taktis

Dalam konteks pertumbuhan ekonomi di dunia, banyak negara yang terjebak dalam middle income trap yang umumnya menciptakan stagnasi pertumbuhan produktivitas. Anggaran negara menjadi bantalan yang utama dalam menjaga ketahanan fiskal negara. Dari sini dapat dipahami jika produktivitas investasi infrastruktur. Dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang, APBN 2025 suka tidak suka juga harus memberi insentif insentif investasi asing dan domestik, termasuk pajak dan subsidi, untuk meningkatkan aliran modal dan teknologi.

Untuk dapat keluar dari middle income trap, negara harus dapat melakukan banyak reformasi struktural, seperti diversifikasi ekonomi dan peningkatan kapasitas institusi, untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah. Pada posisi ini, APBN idealnya harus mencakup rencana reformasi struktural dalam sektor-sektor kunci, seperti industri dan pelayanan publik. Anggaran negara harus berfokus pada dukungan industri teknologi dan inovasi demi menciptakan keterbukaan lapangan kerja yang berkelanjutan.

Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan transisi menuju ekonomi pendapatan tinggi maka hal rasional yang layak dimajukan dalam efektivitas pelaksanaan dan koordinasi negara dalam menciptakan subsistensi ketahanan fiskal secara mandiri.Ketersedian anggaran APBN pada tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memang bukan hal yang utopis jika publik sangat berharap terjadinya percepatan maksimal dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI),kalkulasi dari postur anggaran yang telah disahkan oleh pemerintah dan DPR itu akan mematok target pendapatan negara sebesar Rp 3.005,12 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 2.490,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 513,6 triliun, dan penerimaan hibah yang berada dalam kisaran angka Rp581,1 miliar. 

Sementara, pada sisi belanja negara ditargetkan Rp3.621,3 triliun. Secara proporsi besaran anggaran belanja mengalami kenaikan sebesar 8,9 persen dibandingkan tahun 2024 yang sebesar Rp3.325,1 triliun. Dengan postur tersebut, defisit APBN 2025melebar hingga 2,53 persen, (Kemenkeu RI, 2024).

Tantangan besar kedepan adalah persoalan pemangkasan suku bunga acuan yang kiranya sangat diharapkan dapat memberikan harapan baru pada pertumbuhan ekonomi global dan domestik. Fakta tak terbantahkan dalam kurun waktu dua tahun terakhir, bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve alias The Fed, tercatat telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 11kali mencapai 5,25-5,5 persen (The Fed, 2024).

Adanya kenaikan suku bunga acuan ini sekaligus menandai era suku bunga tinggi untuk waktu yang lama. Tingginya tingkat inflasi itu sebagian dipicu oleh krisis pasokan seusai pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik perang Ukraina-Rusia. Melihat realitas ini mau tak mau, kebijakan suku bunga pun ditempuh sebagai upaya untuk menjinakkan laju inflasi hingga ke level 2 persen.

Dalam penalaran lain, tingginya tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat pada gilirannya diikuti oleh negara-negara lain terutama negara berkembang untuk dapat menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi. Akibatnya negara berkembang seperti halnya Indonesia secara tak langsung akan ikut dalam polaritas The Fed dalam menjaga stabilitas nilai tukar di tengah terus menguatnya dollar AS. 

Inilah yang kemudian membuat Bank Indonesia melakukan dinamisasi suku bunga acuan sebanyak delapan kali dengan total kenaikan sebesar 275 basis poin (bps) dalam dua tahun terakhir. Konsekuensi logisnya tingginya tingkat suku bunga acuan membuat perekonomian negara dapat tertekan karena beban biaya ekonomi nasional meningkat. Ini dampaknya membuat individual tau kelompok pelaku industri mendapatkan kenyataan pinjaman usaha yang kian mahal.

Prospek Masa Depan

Secara jeli kita sesungguhnya harus dapat mengukur secara prospektif terkait perhitungan pertumbuhan ekonomi yang kemungkinan besar berjalan secara perlahan. Estimasi dari angka pertumbuhan ekonomi global pada 2024 diperkirakan ada pada kisaran sebesar 2,6 persen, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 2,4 persen. 

Namun, berdasarkan data World Bank,proyeksi ini stagnan dari realitas yang terjadi pada 2023 dalam kisaran 2,6 persen. Khusus negara-negara berkembang, pertumbuhan ekonomi rata-rata 4 persen pada 2024-2025 atau melambat dibandingkan dengan 2023 sebesar 4,2 persen. (World Bank, 2024).

Solusi rasional untuk menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi pada era perdana pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka adalah kemampuan dalam membangun fleksibilitas anggaran yang berkelanjutan. Langkah ini dapat menjadi mudah dijalankan jika ada konsistensi strategi keberlanjutan pengelolaan keuangan negara yang dilakukan pemerintah. 

Pengalaman pandemi yang terjadi beberapa tahun lalu dapat menjadi 
kunci sejarah untuk membangun sistem anggaran yang adaptif dan responsif. Memahami dan mengatasi kekurangan serta memperkuat aspek-aspek positifnya, akan menjadikan pemerintah dapat memastikan diri untuk siap menghadapi tantangan yang akan datang dengan lebih baik. Fleksibilitas anggaran bukan hanya sebuah konsep, melainkan suatu kebutuhan mendesak untuk dapat memastikan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi negara. 

Dalam standarisasi ini dibutuhkan penyesuaian alokasi anggaran ketika terjadi kondisi darurat dan force majeure seperti era Covid 19. Kemampuan untuk merespons situasi yang tidak terduga atau berkembang dengan cepat menjadi kunci untuk memastikan efektivitas penanganan krisis. 

Fleksibilitas penganggaran akan membuat pemerintah secara mandiri dapat bergerak dinamis dalam mengubah prioritas pengeluaran anggaran sesuai dengan perkembangan situasi. Pemerintah dapat mengelola sumber daya yang terbatas dengan lebih efisien. Hal ini mencakup realokasi dana ke area yang paling mendesak dan strategis, sesuai dengan kebutuhan. 

Terakhir yang utama adalah soal kemampuan membuat fleksibilitas anggaran supaya tidak terkonsentrasi pembangunan pemerintah pusat tapi juga mencakup kewenangan dan adaptabilitas pemerintah daerah (pemda) dalam menyesuaikan anggaran sesuai dengan kondisi kebutuhan daerah. Fleksibilitas di setiap tingkat pemerintahan ini akan menciptakan sinergi dan respons yang akurat terhadap kebutuhan masyarakat di tingkat lokal. 

Fleksibilitas penganggaran dimaksudkan ini bukan hanya terkait dengan respons akut terhadap krisis, tapi juga mencakup pertimbangan jangka panjang. Pemerintah perlu memikirkan dampak jangka panjang dari penyesuaian anggaran, termasuk implikasi keuangan dan keberlanjutan keuangan dan ekonomi negara supaya benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak. (*)

***

*) Oleh : Haris Zaky Mubarak, MA., Analis, Konsultan dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES