Mulyono dan Proyek IKN: Eksekusi Gagasan atau Beban Warisan?

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Pak Mulyono (Presiden Jokowi) menegaskan bahwa pemindahan ibu kota negara bukan hanya keputusan dirinya, tapi keputusan bersama seluruh rakyatnya. Saya langsung teringat pada istilah "kerja bakti RT". Sebuah kegiatan di mana semua warga, katanya, bersepakat untuk ikut andil membersihkan lingkungan.
Kenyataannya? Biasanya cuma segelintir orang yang berkeringat menyapu jalan, sementara sebagian besar tetangga sibuk dengan agenda "urgent" masing-masing, entah memotong rumput (di game online), atau "menyiapkan nasi goreng" (untuk makan sendiri). Jadi, apakah ini keputusan bersama atau sekadar ilusi kolektif?
Advertisement
Pemindahan Ibu Kota: Proyek Gagasan yang "Sudah Ada"
Ia dengan polosnya bilang, "Saya cuma mengeksekusi ide presiden-presiden sebelumnya." Oke, Pak, kita paham, Anda itu tukang eksekusi, bukan tukang karang ide. Tapi kalau memang benar ini gagasan dari para pendahulu, kenapa mereka nggak ngerjain waktu mereka masih duduk di kursi empuk istana? Mungkin mereka berpikir, "Ah, biarlah ini jadi PR buat presiden selanjutnya. Gue nggak mau repot-repot mindahin ibu kota, capek!"
Dan sekarang, ide yang katanya sudah matang dari era presiden terdahulu ini diambil alih oleh Pak Mulyono. Seperti tukang bangunan yang diberi cetak biru rumah setengah jadi: "Ini rencana rumah dari dulu, tolong kamu bereskan ya!" Padahal, belum tentu fondasinya kuat. Siapa tahu desain lama ini harus disesuaikan dengan kondisi baru. Misalnya, kita kan sekarang sudah masuk era digital dan pemanasan global? Apa ini memang benar-benar langkah maju, atau cuma upaya untuk menambah bangunan mewah di tengah hutan?
Keputusan Rakyat atau Fraksi? Ayo, Kita Bedakan!
Pak Mulyono mengatakan pemindahan IKN ini didasarkan pada keputusan dari mayoritas fraksi di dewan yang mewakili rakyat. Saya harus tanya dulu: rakyat yang mana, Pak? Saya? Tetangga sebelah yang lagi sibuk main domino online? Atau tukang bakso di depan rumah yang nggak pernah diajak ngomong soal ini?
Perasaan Inferior yang Melatarbelakangi
Lalu, datanglah pernyataan yang paling menggelitik hati: Pak Mulyono mengungkapkan bahwa perasaan inferior melatarbelakangi pemindahan ibu kota. Ini serius, Pak? Kalau saya merasa inferior karena rumah saya kecil atau nggak Instagrammable, solusinya biasanya saya beli tanaman hias, bukan memindahkan seluruh rumah ke tengah hutan.
Tapi begini, mari kita anggap positif. Mungkin perasaan inferior ini berkaitan dengan keinginan untuk membuat sesuatu yang lebih besar dan megah. Kita semua kadang merasa minder, dan cara terbaik untuk mengatasinya ya dengan cara yang luar biasa.
Misalnya, kalau tetangga sebelah beli mobil baru, kita bangun garasi dua lantai walaupun belum punya mobilnya. Begitu juga dengan ibu kota baru: "Eh, negara-negara tetangga sudah punya kota modern, masa kita nggak?" Langsung deh mindahin ibu kota, biar keren. Pokoknya, biar nggak ketinggalan tren!
Tetap Ngakak
Jadi, pemindahan ibu kota ini adalah sebuah proyek epik, dengan dalih bahwa ini keputusan rakyat (meski kita nggak diajak rembukan), dan dilandasi perasaan inferior (karena kita merasa kurang 'wah' dibanding negara tetangga). Lucu? Banget! Tapi di balik semua kelucuan ini, tentu ada harapan bahwa proyek ini benar-benar berhasil dan membawa kebaikan bagi negara Konoha. Karena kalau nggak, ini semua cuma jadi sketsa komedi panjang yang kelak kita bahas di warung kopi sambil tertawa kecil.
Akhir kata, semoga ibu kota baru kita tidak hanya jadi ide bagus yang "sudah ada" dari dulu, melainkan langkah nyata yang memang membawa negeri ini ke depan, bukan sekadar mundur ke era tukang mindah!
***
*) Oleh : Jhon Qudsi, Pegiat Media Sosial.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |