Refleksi Politik Identitas: Peluang Menyerap Elektoral?
TIMESINDONESIA, MALANG – Tidak asing lagi bagi masyarakat bahwa politik identitas sering menjadi material paling rasional dalam membuat strategi perpolitikan. Politik identitas telah disinggung oleh Abdillah (2002), bahwa secara substansi politik berorientasi untuk merangkul kesamaan atas dasar persamaan-persamaan tertentu, baik persamaan agama, etnis, maupun jenis kelamin.
Hal ini lantas menjadi corak yang ideal terutama bagi negara Indonesia yang secara konseptual merupakan hasil dari kemajemukan. Seperti kita ketahui bahwa geneologis negara Indonesia memiliki corak yang beragam. Representasi ini tidak hanya sekedar sebagai bahan keberagaman yang menarik, tetapi sebagai peluang politik yang menggelitik.
Advertisement
Perkembangan politik identitas dalam beberapa waktu telah kita ketahui representasinya. Sebagaimana pada pemilihan presiden beberapa bulan lalu, tagar atau sematan kalimat tertentu dilingkungan media sosial menjadi material politik identitas. Atau bahkan gerakan-gerakan tertentu yang dilakukan oleh kelompok kepentingan baik lokal maupun nasional dapat kita petakan sebagai bagian politik identitas. Keberagaman yang cukup majemuk ini masih sering berorientasi pada agama. Bumbu politik yang di variasi oleh agama seakan-akan menjadi prioritas utama demi terciptanya kemenangan mutlak.
Memang tidak salah, tetapi seakan-akan penyerapan suara yang berorientasi agama masih menjadi peluang utama. Disisi lain, politik identitas sering juga dihubung-hubungkan dengan suku. Serapan yang cukup memungkinkan jika membawa suku tertentu menjadi komposisi utama dalam menyerap elektoral. Tentu hal ini merupakan peluang yang memang perlu dimanfaatkan dalam menciptakan kemenangan.
Akankah dengan Politik Identitas membawa Keadilan?
Pertanyaan atau pernyataan ini sepantasnya menjadi bahasan yang cukup menarik. Jika seorang atau kandidat mengalami kemenangan apakah mampu menciptakan konsep keadilan bagi konstituennya?
Hal ini lantas menciptakan dua persepsi, bahwa memang jelas secara administratif tugas dari seorang kontestan politik untuk menciptakan regulasi atau kebijakan yang adil. Tetapi peluang ini masih kita akhiri dengan peluang yang menyimpang, artinya kebijakan yang diproduksi terkadang tidak sesuai dengan harapan konstituen.
Tidak selayaknya bahwa penggunaan ruang kekuasaan jika diartikulasikan hanya untuk sebuah keinginan atau kepentingan. Meskipun apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan rasional cenderung mengesampingkan pemikiran konstituen.
Serapan yang telah bermanifestasi menjadi suara sah, menyudutkan sebuah pemikiran bahwa kandidat yang menang akan meng-iyakan apa yang menjadi kebutuhan konstituen. Sebagai mana apa yang disebut sebagai, hadirnya rakyat untuk mengaktualisasikan mandat. Tentu ketika serapan maksimal diperoleh dari hasil politik identitas, penerjemahan yang seimbang juga sepantasnya memperjuangkan minoritas.
Politik identitas sering digunakan sebagai upaya memaksimalkan suara, sehingga kalimat tersebut mengandung antonim minoritas sebagai yang tidak diprioritaskan. Maka sepantasnya jika politik identitas terkadang hanya untuk mengupayakan apa yang elektoral tertentu inginkan, tidak secara keseluruhan.
Refleksi ini sebagai upaya dalam menerjemahkan konotasi Politik Identitas perlu untuk menciptakan rekonstruksi yang ideal dan seimbang. Demi terciptanya kondisi yang ideal dalam menyelaraskan konsep demokrasi pada ranah prosedural, sekaligus terciptanya kondisi keadilan dalam konsep Pancasila.
***
*) Oleh : Muhammad Wahyu Prasetyo Adi, Mahasiswa Magister Ilmu Sosial Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |