
TIMESINDONESIA, PADANG – Ruang publik, sebagai aset bersama, seharusnya menjadi tempat di mana setiap individu merasa nyaman dan aman. Sayangnya, kehadiran perokok di ruang-ruang publik seringkali menyebabkan kenyamanan dan rasa aman itu menjadi terganggu. Asap rokok yang menyebar ke seluruh ruangan menjadikan ruang-ruang publik yang ada tak lagi menjadi milik bersama, melainkan hanya menjadi milik si perokok.
Bagi non-perokok tentu pernah merasakan gangguan asap rokok ketika berada di ruang publik, semisalnya cafe, rumah makan, bahkan kendaraan umum. Asap rokok yang mengganggu juga membahayakan kesehatan membuat tidak betah berlama-lama di tempat tersebut, ingin segera beranjak pergi.
Advertisement
Keberadaan perokok di ruang publik memicu konflik yang berakar pada pertentangan antara hak individu untuk merokok dan hak kolektif untuk mendapatkan udara bersih dan lingkungan yang sehat. Konflik ini bukan sekadar perdebatan tentang kebiasaan pribadi, melainkan mencerminkan perebutan makna dan penggunaan ruang publik yang lebih dalam. Berbicara mengenai perokok di ruang publik berarti berbicara tentang hak dan kewajiban yang seharusnya disadari ketika berada di ruang publik.
Perokok merasa bahwa merokok merupakan hak individu yang melekat pada dirinya. Ia memiliki hak untuk merokok ataupun tidak, selama tidak ada tanda “larangan merokok” maka tak ada yang salah jika memilih merokok. Bahkan jika ditegur mengenai asap rokoknya, seringkali para perokok ini malah menjawab “jika tak ingin kena asap rokok, jangan keluar rumah, dirumah saja!”.
Hal ini memperlihatkan bahwa merokok adalah hal yang wajar di ruang publik, dan justru yang menginginkan bebas asap rokok harus ke ruang privat seperti rumah. Logika berpikir yang sesat namun ada diantara kita hari ini.
Sudah sepatutnya kita sadari bahwa mendapatkan udara yang bersih merupakan hak asasi yang melekat pada manusia dan ini merupakan hak yang fundamental. Setiap individu memiliki hak mendapatkan dan menghirup udara yang bebas dari polutan, tak terkecuali asap rokok.
Asap rokok mengandung ribuan zat kimia berbahaya yang dapat menyebabkan berbagai penyakit serius, baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif. Ketika perokok menyalakan rokok di ruang publik, mereka secara langsung mengurangi kualitas udara yang dihirup oleh orang lain.
Tidak hanya terkait dalam masalah kesehatan, konflik antara perokok dan nonperokok ini juga terkait dengan aspek masalah kenyamanan. Kita tentu tahu bahwa asap rokok memiliki bau yang menyengat, abu rokok yang berserakan, noda hitam bekas puntung rokok, dan partikel-partikel kecil yang mengendap di pakaian dan perabotan dapat mengganggu kenyamanan orang lain. Bagi banyak orang, kehadiran asap rokok di ruang publik menciptakan lingkungan yang tidak menyenangkan dan tidak sehat.
Kita juga menemukan fenomena perokok yang menyalakan rokoknya dengan kondisi mengendarai kendaraan di jalan raya. Padahal kebiasaan ini dapat membahayakan pengendara lainnya. Bara api rokok maupun abu rokok yang diterbangkan oleh angin dapat menyebabkan kecelakaan. Abu rokok yang beterbangan dapat mengenai mata pengendara di belakangnya dan bisa berujung kepada kecelakaan. Sudah berulang kali terjadi pengendara yang matanya mengalami gangguan karena abu rokok pengendara lainnya.
Para perokok hadir seolah menjadi penjajah ruang publik. Kebiasaan merokok ini mengganggu hak orang lain untuk dapat menikmati ruang publik dengan nyaman. Kehadiran perokok dengan asap rokoknya di tengah ruang publik secara tidak langsung membatasi akses non-perokok terhadap ruang tersebut.
Merenggut hak dari non-perokok untuk dapat menggunakan ruang publik. Non-perokok dipaksa untuk menghindari area tertentu atau mengakomodasi perilaku merokok orang lain. Non-perokok dipaksa memaklumi kehadiran para perokok yang merasa bahwa merokok di ruang publik adalah hak mereka.
Para perokok sudah seharusnya menyadari bahwa mereka memiliki kewajiban di ruang publik. Memang benar merokok adalah hak mereka, mereka dipersilakan untuk merokok, akan tetapi mereka harus menghormati hak-hak dari mereka yang tidak merokok.
Hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain, merokok diperbolehkan dengan catatan tidak mengganggu yang tidak merokok. Jika berada di ruang publik dan ingin merokok maka gunakanlah ruangan khusus merokok, jika tidak tersedia maka tahan hingga mendapati ruangan tersebut.
Hak untuk merokok yang diklaim oleh para perokok sejatinya hanya berlaku di ruang privat, dan tidak berlaku di ruang publik. Jangan dibalik logikanya, jangan memaksa non-perokok yang menyingkir dari ruang publik. Hak merokok hanya berlaku di tempat tertentu, tidak di semua tempat. Hak tidak seharusnya merugikan dan mengurangi hak orang lain, yang dalam hal ini hak mendapatkan udara yang bersih bagi semua orang.
Para pemangku kebijakan juga dibutuhkan perannya dalam mengatasi permasalahan ruang publik yang tercemari rokok ini. Dibutuhkan ketersediaan area merokok khusus yang terpisah dari ruang umum dan dilengkapi dengan sistem ventilasi yang baik. Ketersediaan itu disertai dengan memperluas cakupan penerapan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) di semua ruang publik, termasuk restoran, cafe, tempat kerja, dan transportasi umum.
Perlu juga ditingkatkan edukasi masyarakat mengenai hal ini, edukasi yang intensif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya asap rokok dan pentingnya menjaga udara bersih. Terakhir, penerapan aturan dilarang merokok di ruang publik dan disertai dengan sanksi yang tegas jika melanggar. Selama ini seringkali aturan-aturan itu hanya menjadi isapan jempol saja, ada tapi tidak diterapkan.
Konflik ruang publik antara perokok dan non perokok adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi multidimensional. Dengan menerapkan kebijakan yang komprehensif dan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat, nyaman, dan bebas dari asap rokok. Mari normalisasi ruang publik yang bebas asap rokok. (*)
***
*) Oleh: Fendi Agus Syaputra, M.Sos., Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |