Kopi TIMES

Supremasi Hukum dalam Politik

Minggu, 06 Oktober 2024 - 03:22 | 59.15k
Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Pada tanggal 20 oktober akan terjadi pergantian pemerintahan secara konstitusional, terlepas dari adanya problem-problem yang menyertainya. Dengan hadirnya pemegang pemerintahan baru (eksekutif), adanya harapan dari publik adalah suatu realitas.  Transisi ke pemerintahan baru sering kali datang dengan harapan akan perubahan, reformasi, dan kemajuan. 

Salah satu ekspektasi terpenting dalam pemerintahan baru, terutama dalam masyarakat demokratis, adalah penguatan supremasi hukum di atas supremasi politik. Supremasi hukum memastikan bahwa semua individu dan lembaga, termasuk pemerintah, bertanggung jawab pada hukum yang dipublikasikan secara terbuka, ditegakkan secara setara, dan diadili secara independen. 

Advertisement

Sebaliknya, supremasi politik mengacu pada dominasi kekuatan politik, yang sering kali mengakibatkan penyimpangan norma hukum untuk kepentingan partai atau pribadi. Seiring dengan perkembangan masyarakat, keseimbangan antara kedua kekuatan ini menjadi semakin penting, dan pemerintahan baru sering dilihat sebagai harapan untuk memastikan bahwa supremasi hukum menang atas ambisi politik.

Supremasi hukum adalah dasar dari tata kelola modern. Ia melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang oleh mereka yang berkuasa dan memastikan bahwa semua orang, tanpa memandang status, tunduk pada kerangka hukum yang sama. Dalam negara-negara demokratis, supremasi hukum menjamin kebebasan sipil, menegakkan hak asasi manusia, dan memastikan bahwa keadilan tidak memihak. 

Ini berfungsi sebagai landasan bagi ketertiban dan keadilan, menciptakan lingkungan yang stabil di mana ekonomi dapat berkembang, dan kemajuan sosial dapat dicapai. Tanpa supremasi hukum, sebuah negara berisiko terjerumus ke dalam kekacauan, di mana keputusan dibuat berdasarkan kepentingan politik daripada prinsip hukum.

Lebih dari itu, supremasi hukum yang kuat meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara. Ketika warga percaya bahwa pemerintah beroperasi di bawah sistem hukum yang adil dan tidak memihak, mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam proses politik, mematuhi hukum, dan berkontribusi pada stabilitas sosial. 

Sebaliknya, ketika supremasi hukum lemah atau dilemahkan oleh kekuatan politik, hal ini memicu sinisme, ketidakpedulian, dan dalam kasus ekstrem, kerusuhan sipil. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintahan baru untuk menunjukkan komitmen dalam memperkuat supremasi hukum sejak awal masa jabatannya.

Bahaya Supremasi Politik

Meskipun kekuatan politik diperlukan untuk menjalankan pemerintahan, dominasi yang tidak terkendali dapat membawa hasil yang merugikan. Supremasi politik terjadi ketika hukum dan proses hukum berada di bawah kehendak aktor-aktor politik. 

Dalam lingkungan seperti ini, hukum sering kali dimanipulasi atau diterapkan secara selektif untuk melayani kepentingan mereka yang berkuasa, bukan kepentingan umum. Supremasi politik merusak independensi peradilan, melemahkan lembaga-lembaga demokratis, dan merusak mekanisme akuntabilitas yang penting untuk menjaga masyarakat yang adil dan berkeadilan.

Salah satu bahaya paling mencolok dari supremasi politik adalah erosi mekanisme check and balance dalam demokrasi. Ketika para pemimpin politik menganggap diri mereka berada di atas hukum, mereka mungkin terlibat dalam korupsi, nepotisme, dan bentuk penyalahgunaan lainnya tanpa takut akan hukuman. 

Hal ini menciptakan sistem di mana pemerintahan didorong oleh kepentingan pribadi atau partai, bukan oleh kesejahteraan rakyat. Selain itu, ketika lembaga peradilan dan penegakan hukum menjadi instrumen kehendak politik, keadilan menjadi tidak merata, dan hak-hak individu terinjak-injak.

Negara-negara yang telah mengalami supremasi politik sering kali menghadapi dampak jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi bisa mandek karena investor kehilangan kepercayaan pada sistem hukum, dengan pemahaman bahwa kontrak dan hak properti tidak terlindungi dengan baik. 

Perpecahan sosial bisa semakin dalam, karena kelompok-kelompok yang terpinggirkan terkena dampak penegakan hukum yang selektif. Dalam kasus-kasus ekstrem, supremasi politik bisa mengarah pada otoritarianisme, di mana para pemimpin mengkonsolidasikan kekuasaan dengan membongkar lembaga-lembaga demokratis dan menekan perbedaan pendapat.

Peran Pemerintahan Baru

Dalam konteks pemerintahan baru, peluang untuk memprioritaskan supremasi hukum di atas supremasi politik sangat signifikan. Pemimpin yang baru terpilih memiliki kesempatan untuk mengarahkan arah yang berbeda dari pendahulunya dengan menerapkan kebijakan dan reformasi yang memperkuat lembaga hukum dan memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan konsisten. Ini membutuhkan komitmen terhadap transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap independensi peradilan.

Salah satu area kunci di mana pemerintahan baru dapat memberikan dampak adalah dalam mereformasi sistem peradilan. Ini mencakup memastikan bahwa hakim diangkat berdasarkan prestasi daripada loyalitas politik, menyediakan sumber daya yang memadai bagi pengadilan untuk berfungsi dengan efisien, serta melindungi independensi otoritas penuntutan. Selain itu, pemerintahan baru harus bersedia menyelidiki dan menuntut korupsi di dalam lingkupnya sendiri, mengirimkan pesan tegas bahwa tidak ada yang berada di atas hukum.

Lebih lanjut, pemerintah baru harus memprioritaskan reformasi hukum yang mempromosikan kesetaraan dan melindungi hak asasi manusia. Ini termasuk mengatasi masalah sistemik seperti kebrutalan polisi, diskriminasi, dan akses yang tidak merata terhadap keadilan. 

Dengan menciptakan kerangka hukum yang inklusif dan adil, pemerintah dapat membangun kepercayaan di antara warga negara dan menunjukkan bahwa supremasi hukum bukan hanya konsep abstrak, tetapi realitas yang hidup yang menguntungkan semua anggota masyarakat.

Tantangan yang Dihadapi

Meskipun pemerintahan baru mungkin berkomitmen untuk memperkuat supremasi hukum, tantangan tentu akan muncul. Aktor-aktor politik yang diuntungkan dari sistem supremasi politik sebelumnya mungkin menentang reformasi, karena takut kehilangan kekuasaan atau pengaruh. 

Mungkin juga ada inersia institusional dalam sistem hukum, di mana praktik yang telah mengakar dan korupsi menghambat kemajuan. Selain itu, skeptisisme publik, terutama jika pemerintahan sebelumnya gagal memenuhi janji reformasi, dapat membuat sulit untuk mendapatkan dukungan luas bagi perubahan yang diperlukan.

Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah baru harus terlibat dalam dialog yang terbuka dan jujur dengan publik. Mereka harus transparan tentang upaya mereka untuk mereformasi sistem peradilan dan bersedia mempertanggungjawabkan tindakan mereka. 

Organisasi masyarakat sipil, media, dan mitra internasional juga dapat memainkan peran penting dalam mendukung reformasi ini dengan memberikan pengawasan dan memperjuangkan perlindungan supremasi hukum.

Harapan pada pemerintahan baru sering kali terkait dengan ekspektasi bahwa mereka akan memperkuat supremasi hukum dan mengekang ekses-ekses supremasi politik. Meskipun jalan untuk mencapai tujuan ini penuh dengan tantangan, hal ini penting untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara. 

Supremasi hukum berfungsi sebagai dasar bagi pemerintahan demokratis, memastikan bahwa kekuasaan dijalankan dengan tanggung jawab dan bahwa keadilan dapat diakses oleh semua orang. Pemerintah baru yang memprioritaskan reformasi hukum, menjunjung independensi peradilan, serta berkomitmen pada transparansi dan akuntabilitas dapat membuka jalan bagi masa depan di mana supremasi hukum mengalahkan supremasi politik, yang akan mengarah pada perdamaian, kemakmuran, dan kohesi sosial yang langgeng.

***

*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES