Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Dinamika dan Problematika Kampus (PTN-BH)

Senin, 07 Oktober 2024 - 14:52 | 37.58k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) semakin memperjelas tujuan perguruan tinggi saat ini.

Hak otonom yang diberikan menjadikan kampus berhak mengatur atau mengelola perguruan tinggi secara independen, dari aspek akademis hingga keuangan. Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) adalah salah satu bentuk lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam sektor pendidikan dengan memberikan otonomi kepada perguruan tinggi di Indonesia salah satunya di sektor keuangan. PTN-BH memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangan dan sumber daya lainnya, termasuk dalam menentukan besaran biaya pendidikan.

Advertisement

Namun, meskipun bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, status PTN-BH sering kali dikritik karena dianggap merugikan masyarakat kampus. Salah satu dampak langsung dari perubahan status menjadi PTN-BH adalah peningkatan biaya pendidikan. PTN-BH diberi izin untuk mendirikan sendiri biaya kuliah, yang sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri biasa. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan PTN-BH untuk mandiri secara finansial, yang berarti harus mencari sumber pendapatan di luar subsidi pemerintah. Akibatnya, pelajar dan keluarganya harus menanggung beban biaya yang lebih besar.

Peningkatan biaya ini dapat mengurangi aksesibilitas pendidikan tinggi bagi kalangan menengah ke bawah. Banyak masyarakat yang kesulitan untuk melanjutkan pendidikan mereka karena ketidakmampuan membayar biaya kuliah yang tinggi. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi di antara siswa, di mana hanya mereka yang berasal dari klas menegah atas yang dapat menikmati pendidikan berkualitas.

Hal ini pula merupakan bentuk komersialisasi dan privatisasi pendidikan, jika kita berkaca kepada amanat konstitusi dimana negara ini baru berdiri melahirkan sebuah semangat “mencerdaskan kehidupan bangsa” dengan keadaan hari ini sudah melenceng jauh dari amanat konstitusi, negara sudah meliberalisasikan pendidikan, melepas tanggung jawab dan membuatnya menjadi barang komoditi dan menjualnya kepasar bebas, seperti barang dagangan yang lain hanya yang memiliki uanglah yang bisa menikmati pendidikan, khususnya dalam hal biaya pendidikan, aksesibilitas, dan kualitas layanan pendidikan, dan masyarakat kampus. (https://theconversation.com/uang-kuliah-mahal-mengapa-ptn-bh-jadi-akar-masalahnya).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Berita naiknya biaya kuliah di kampus-kampus negeri, baik kampus berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) maupun yang hendak menjadi PTN-BH sedang marak dalam beberapa bulan terakhir. Komponen yang awalnya akan dinaikkan adalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI)—sebelumnya disebut Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Beberapa pihak menyebutkan bahwa rencana kenaikan UKT dan uang sumbangan untuk kampus disebabkan oleh inflasi.

Namun, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menyatakan, penyebabnya bukan inflasi, melainkan adanya komponen baru yang dibebankan kepada mahasiswa. Komponen ini berasal dari beberapa program paket kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) berupa magang satu hingga dua semester di luar kampus. Meskipun kenaikan ini akhirnya dibatalkan, terdapat masalah yang lebih fundamental yang menjadi akar dari problematika UKT dan IPI, yakni kebijakan PTN-BH itu sendiri.

Meski kenaikan UKT maupun IPI adalah konsekuensi logis dari kebijakan PTN-BH yang menjadikan subsidi pemerintah stagnan atau bahkan berkurang, saya mengidentifikasi beberapa dampak negatifnya sebagai berikut: Pertama, kalangan menengah ke bawah menjadi sulit mengenyam pendidikan tinggi negeri yang berkualitas. Pernyataan Kemdikbudristek bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier dan tidak wajib seolah menunjukkan bahwa pemerintah tidak berupaya serius mengatasi masalah tingginya UKT dan IPI di kampus negeri, terutama PTN-BH.

Pemerintah seolah menyerahkan pendidikan tinggi negeri pada mekanisme pasar, yakni hanya yang berduit yang mampu mengenyam pendidikan tinggi. Dalam jangka pendek, bukan tidak mungkin akan banyak orang tua yang terjebak hutang, termasuk pinjaman online (pinjol) untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Ditetapkannya status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTN-BH pada perguruan tinggi seharusnya menjadi solusi bagi mutu pendidikan, pengelolaan, dan pendanaan. Meski demikian, Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum turut membuka pintu lebar pada liberalisasi pendidikan yang mengancam idealisme ruang intelektual. (https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/polemik-perguruan-tinggi-negeri-berbadan-hukum)

Meskipun banyak dinamika Kampus PTN BH tetap memiliki kelebihan dan keunggulan, Dengan otonom penuh, suatu Perguruan Tinggi Negeri bisa secara mandiri mengelola rumah tangganya sendiri sesuai dengan tujuan kampus tersebut. Dengan begitu diharapkan perguruan tinggi bisa lebih cepat berkembang dan berinovasi. Perguruan Tinggi Negeri yang berstatus Badan Hukum sejatinya memiliki otonom yang lebih luas. Yang artinya PTN BH tersebut bisa mengurusi rumah tangganya secara lebih mandiri. Misalnya, PTN yang berstatus PTN BH tersebut bisa membuka Progran Studi baru atau menutupnya ketika dianggap tidak lagi diperlukan.

Begitupun dalam urusan keuangan, urusan kepegawaian juga diatur sendiri oleh PTN tersebut. Benefit lainnya yaitu adanya keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan. Berubahnya status sebuah PTN menjadi PTN BH menuntut adanya perubahan yang meningkat dalam perguruan tinggi negeri tersebut secara reputasi maupun kualitasnya. Baik secara institusi maupun sumber daya begitu pula dengan lulusannya. Karena tujuan awal perguruan tinggi negeri berubah statusnya menjadi berbadan hukum adalah untuk meningkatkan kualitas. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES