Kopi TIMES

Urgensi Kesehatan Mental dalam Dunia Kerja Modern

Rabu, 09 Oktober 2024 - 07:55 | 130.04k
Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta.
Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Dalam era yang semakin kompetitif, kesehatan mental di tempat kerja menjadi topik yang krusial namun sering terabaikan. Lingkungan kerja yang positif dapat menjadi sumber motivasi dan stabilitas, sementara kondisi yang penuh tekanan berpotensi merusak kesejahteraan psikologis karyawan. 

Mengingat tema Hari Kesehatan Mental Sedunia 2024, "It is Time to Prioritize Mental Health in the Workplace", kita perlu menyadari pentingnya memprioritaskan kesehatan mental di lingkungan kerja. Hari Kesehatan Mental Sedunia diperingati setiap 10 Oktober (WFMH, 2024).

Advertisement

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa kesehatan mental adalah bagian integral dari hak asasi manusia. Namun, di Indonesia, kesadaran akan hal ini masih perlu ditingkatkan. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan: lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta mengalami depresi (Kemenkes, 2021). 

Angka-angka ini menyoroti urgensi untuk mengatasi masalah kesehatan mental di kalangan pekerja agar tidak menghambat potensi individu dan produktivitas nasional.

Kesehatan mental yang buruk berdampak luas, tidak hanya pada individu tetapi juga pada masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan penurunan prestasi pendidikan, produktivitas kerja yang rendah, kohesi sosial yang lemah, dan bahkan meningkatkan risiko kekerasan serta gangguan hubungan interpersonal. 

Sebaliknya, kesehatan mental yang baik berkorelasi dengan gaya hidup yang lebih sehat, peningkatan pencapaian pendidikan dan produktivitas, serta tingkat kekerasan dan kejahatan yang lebih rendah (Eliot, 2016).

Di era digital, perkembangan teknologi informasi turut mempengaruhi kesehatan mental karyawan. Fenomena "Teknostres" (Weil dan Rosen, 1997), atau stres akibat adaptasi terhadap teknologi baru, menjadi tantangan tambahan yang harus dihadapi para pekerja. Selain itu, beragam tekanan (stressor) dalam pekerjaan sehari-hari dapat mempengaruhi kinerja individu secara signifikan.

Jika tidak ditangani dengan baik, stres kerja yang berkepanjangan dapat berkembang menjadi kelelahan kerja (burnout). Burnout merupakan kondisi kelelahan emosional dan mental yang dapat memperburuk kesehatan fisik dan psikis karyawan (Staten, 2018). Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan karyawan (workplace well-being).

Workplace well-being mencakup situasi dan perasaan positif yang dirasakan karyawan di tempat kerja. Konsep ini berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan pribadi, kesehatan fisik, dan mental, yang pada akhirnya berdampak positif bagi perusahaan (Cvenkel, 2020). Karyawan dengan tingkat workplace well-being yang tinggi cenderung memiliki motivasi dan dedikasi yang lebih besar dalam bekerja, yang dikenal sebagai work engagement (Bakker & Leiter, 2010).

WHO menekankan tanggung jawab organisasi dalam mendukung kesehatan mental karyawannya dengan menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Secara individual, sesama karyawan dapat saling mendukung dengan bersikap empatik dan menghindari stigma negatif terhadap rekan kerja yang mengalami masalah kesehatan mental (WHO, 2024).

Meskipun kesadaran akan kesehatan mental (mental health awareness) mulai meningkat, studi menunjukkan bahwa stereotip negatif terhadap gangguan kesehatan mental masih ada di masyarakat. Indonesia perlu lebih giat lagi dalam mengedukasi dan mensosialisasikan pentingnya kesehatan mental untuk mengubah stigma yang ada. Pelabelan negatif terhadap gangguan mental hanya akan memperburuk keadaan, menimbulkan diskriminasi, dan membuat penderita enggan mencari bantuan.

Meningkatnya permasalahan kesehatan mental di kalangan pekerja menuntut langkah-langkah pencegahan dan pertolongan yang lebih aktif. Deteksi dini, diikuti dengan tindakan proaktif dan responsif dalam memberikan bantuan psikologis, akan membantu pekerja meningkatkan kualitas hidup mereka.

Kesimpulannya, memprioritaskan kesehatan mental di tempat kerja bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga organisasi dan masyarakat secara luas. Dengan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, menghilangkan stigma, dan meningkatkan kesadaran, kita dapat membangun masa depan yang lebih sehat dan produktif bagi semua pekerja.

***

*) Oleh: Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES