TIMESINDONESIA, JAKARTA – Jokowi, sebagai presiden, “terjatuh” di satu tahun terakhir kepemimpinannya selama sepuluh tahun memimpin Indonesia sejak tahun 2014. Begitulah sebagian kesimpulan para pengamat politik Indonesia. Meskipun begitu, banyak pengamat dan analis lain yang menempatkan Jokowi sebagai presiden yang berhasil di banyak bidang dengan indikator tertentu.
Penekanan Presiden pada pembangunan ekonomi yang menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai andalannya, di tahun terakhir kepemimpinannya alih-alih mendapat pujian rakyat malah mendapat sambutan demonstrasi besar-besaran dengan narasi yang berbalik dan mengejutkan: “adili Jokowi dan tolak Gibran sebagai wapres”. Narasi ini menjadi anomali atas citra sembilan tahun dirinya sebagai pemimpin yang identik dengan wong cilik yang datang dari masyarakat sipil biasa.
Advertisement
Jokowi, karena alasan dan perhitungan politik dirinya, rela meninggalkan-untuk tidak mengatakan mengkhianati-partai yang telah melahirkan, membesarkan, dan menjadikannya sebagai wali kota, gubernur, dan presiden dua periode. Citra dirinya sebagai “Presiden sipil yang sederhana” menjadi sirna ketika nafsu kuasanya kian terlihat terang benderang di ujung kekuasaannya.
Keinginannya untuk menjabat tiga periode dan keinginannya untuk menambah usia jabatannya sebagai presiden menjadi bukti betapa ia tidak lagi sebagai “orang sederhana”. Gurita bisnis anak-anaknya dan penempatan anak dan menantunya di posisi-posisi penting politik kekuasaan telah menambah citra buruk atas dirinya dengan issu dan fakta nepotisme.
Jalan politik dua anak kandungnya telah merobek robek prinsip dan nilai demokrasi dan tentu saja menyakiti moralitas dalam berbangsa dan bernegara. Gibran Rakabuming Raka, anak sulungnya meniti “jalan haram” dengan menabrak konstitusi untuk melegalisasi dirinya sebagai cawapres. Adiknya, Kaesang Pangarep hanya butuh dua hari setelah menjadi anggota PSI (Partai Solidaritas Indonesia) untuk menempati posisi ketua umum partai. Fenomena ini mudah dibaca bahwa Jokowi memang menampakkan dirinya berbanding terbalik dengan citranya pada sembilan tahun lalu.
Lantas, kita pun bertanya-tanya: apakah selama ini Jokowi sedang memainkan “drama politik” dengan seluruh muslihatnya ataukah dalam waktu belakangan, ia sendiri bingung atas seluruh “peran asli” dan “peran palsu”nya?. Jika ada peran kepalsuan, siapakah yang sesungguhnya berperan di belakangnya.
Terlepas dari dramaturgi yang diperankannya, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi selama sepuluh tahun menyisakan pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi penerusnya: Prabowo Subianto. Proyek hilirisasi Presiden Jokowi yang diapresiasi oleh Prabowo masih harus menunggu realisasi dan dampaknya dalam lima-sepuluh tahun mendatang dengan beban hutang luar negeri yang tidak ringan.
Sementara pelemahan lembaga-lembaga negara oleh Presiden terutama lembaga hukum telah nyata digunakan sebagai “alat politik” untuk mencapai tujuan politiknya. Banyak para ahli hukum berpendapat bahwa Jokowi, sadar atau tidak sadar, sedang menggeser dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. Musuh-musuh politiknya disandera oleh kasus hukum. Sehingga dengan mudah ia menguasai hampir seluruh elit partai politik.
Kisah Nawa Cita yang digelorakan pada awal kepemimpinannya makin lama makin hilang ditelan angin. Jokowi sangat sibuk memikirkan proyek besar Ibu Kota Nusantara (IKN) yang hingga akhir masa jabatannya belum berhasil menarik investor asing yang digembar-gemborkan sebelumnya. Kegalauannya akhirnya memaksa APBN mengatasi pembiayaan IKN. Proyek ini akhirnya, selain dipuji juga dicaci.
Saya berani menyimpulkan bahwa dalam pembangunan demokrasi ia relatif gagal dalam membangun peradaban politik Indonesia. Kesimpulan ini hampir dirasakan oleh banyak kalangan. Bahkan lembaga dunia yang mengawasi praktek demokrasi di berbagai negara memiliki kesimpulan yang sama.
Indeks Demokrasi yang diukur oleh Economist Intelligence Unit mengalami penurunan, dari skor 6,95 pada 2014 menjadi 6,53 pada 2023, dengan peringkat turun dari 49 ke 56. Penurunan ini mencerminkan adanya tantangan dalam kebebasan sipil dan partisipasi politik selama masa kepemimpinan Jokowi.
***
*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
__________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |