TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Pada artikel ke tiga ini, saya akan membahas tipologi pemilih dan prilaku memilih, terutama ketika berhadapan dengan money politic. Membahas tipologi dan prilaku memilih menjadi penting karena maraknya money politic dan tertariknya para cukong untuk terlibat membiaya politik uang tak bisa lepas dari realitas masyarakat.
Jika diibaratkan, masyarakat adalan lahan. Lahan yang akan jadi pertimbangan para cukong dan politisi busuk untuk menebar benih jahat, money politic. Jika lahannya subur, masyarakatnya permisif dan menerima money politic, maka para cukong dan para politisi busuk akan datang menebar benih money politic.
Advertisement
Sebaliknya, jika lahannya tidak subur, masyarakatnya menolak money politic, masyarakat lebih memilih masa depan, pembangunan jangka panjang dari pada kompensasi receh uang, beras dan telor, maka para cukong dan politisi busuk tak akan berani menebar benih, tak mungkin melakukan money politic di tengah-tengah masyarakat.
Tipologi Pemilih dan Logika Cukong
Dalam kajian voting behavior, terdapat banyak tipologi pemilih. Salah satu kajian yang menarik untuk dirujuk adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Alvara Research Center. Menurut Hasanuddin Ali, founder Alvara Research Center, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2018, terdapat empat tipologi pemilih di Indonesia.
Pertama, rational voters, pemilih rasional. Pemilih rasional menempati prosentasi tertinggi, sebanyak 41,3 persen. Kedua, emotional voters, pemilih emosional sebanyak 10,4 persen. Ketiga apathetic voters, pemilih apatis 10,8 persen. Keempat, swing voters, pemilih galau, sebanyak 37,5 persen.
Dari empat tipologi pemilih ini, praktik money politic cenderung akan terjadi hanya pada dua tipologi pemilih, yaitu pemilih apatis dan pemilih galau, atau swing voters. Money politic sulit menembus pemilih rasional dan pemilih emosional. Pemilih rasional cenderung cerdas memilih dengan melibatkan berbagai pertimbangan rasional, sedangkan pemilih emosional akan sulit ditembus, karena pemilih ini tidak akan bermigrasi ke pilihan lain karena kemantapan hati dan emosinya telah terikat pada partai atau politisi tertentu.
Prosentase pemilih apatis dan gamang menjadi pijakan cukong menjadi bagian atau tidak dalam sebuah Pilkada. Jika besaran pemilih yang dapat di”beli” terbilang besar, maka cukong akan datang dan mencari calon kepala daerah yang bisa dikendalikan. Untuk memastikan besaran presentasi pemilih yang dapat di”beli” ini, biasanya, para cukong akan melakukan survei pasar. Pelaksana survei ini, dalam konteks politik local, terutama di daerah Tapal Kuda, namanya ceker (tukang cek).
Bersumber informasi dari para ceker ini, para cukong dan para politisi busuk ini akan mengambil beberapa kesimpulan. Di antaranya adalah, pertama tentang pemetaan tipologi pemilih, seberapa banyak pemilih yang masuk kategori gamang dan apatis, kedua tentang pemetaan dukungan calon di tiap dapil, ketiga, daerah pilihan mana saja yang dapat diintervensi dengan money politic. Paling tidak, tiga informasi ini yang diburu oleh para cukong dari survei lapangan yang dilakukan oleh para ceker ini.
Berbekal informasi ini, para cukong dan calon bupati atau wakil bupati mulai berkerja mendekati atau bahkan, kadang melakukan rekrutmen bagi calon calo. Calo adalah orang-orang yang menjadi perantara antara cukong dan masyarakat. Biasanya, dalam praktik Pilkada calo ini berbayar dan sekaligus menjadi tim sukses bagi calon bupati yang dimodali cukong.
Mencari calo di Tengah masyarakat yang masuk kategori pemilih apatis dan pemilih gamang, sangat mudah. Para calo ini tidak punya ideologi dan tidak punya ikatan dengan kekuatan politik apapun, selain mereka hanya terikat oleh uang yang diberikan oleh para cukong. Sekali lagi, money politik, calo dan cukong, hanya akan ada, jika masyarakat tidak memiliki komitmen pada demokrasi.
Menyadarkan Masyarakat
Tidak ada strategi yang paling ampuh untuk dicobakan dalam kerangka melawan money politik ini selain melakukan edukasi terus menerus pada masyarakat. Edukasi ini harus dilakukan dengan serius, dilakukan oleh banyak pihak, terutama para penjaga moral masyarakat, semisal kiai, dosen, guru, aktivis mahasiswa hingga ke pengurus ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah.
Tugas melakukan edukasi ini harus dengan cara-cara yang sederhana, tidak elitis dan terlalu teoritis. Masyarakat cukup diberi gambaran tentang bahaya money politic. Tentang bagaimana para cukong akan merampok APBD dan APBN yang dikucurkke daerah.
Masyarakat harus diberi informasi yang lengkap tentang konstruksi dan postur anggaran di daerah, di pos mana saja seharusnya anggaran tersebut dipergunakan, diprioritaskan dan di pos mana anggaran tersebut harus ditekan penggunaannya.
Bahkan, jika perlu, masyarakat harus tahu bagaimana seorang bupati dan wakil bupati bisa melakukan korupsi, di pos anggaran mana biasanya korupsi terjadi, bagaimana seorang bupati dengan uang korupsi tersebut mengembalikan uang pinjaman dari para cukong yang telah membiayai kemenangannya saat Pilkada dilaksanakan.
Sederhananya, masyarakat harus tahu, bahwa uang cukong yang telah mereka terima, akan menjadi pukulan balik pada mereka. Bahwa karena uang cukong yang telah mereka terima itu, seorang bupati harus melakukan korupsi. Dan, ketika korupsi terjadi, pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat sendiri.
Logika sederhana bahwa masyarakatlah pihak yang paling dirugikan atas korupsi yang dilakukan oleh seorang bupati atau wakil bupati harus terus disuarakan. Alur berfikir ini harus disampaikan pada masyarakat. Masyarakat yang dapat dibeli harga dirinya, akan menghadirkan cukong. Kehadiran cukong akan membuat Pemilu tak ideal, tak berkualitas. Pemilu tak berkualitas akan melahirkan pemimpin, bupati dan wakil bupati yang juga tak berkualitas.
Bupati yang tak berkualitas tak akan pernah memiliki pendirian. Bupati yang tak memiliki pendirian, tak memiliki integritas, tak mungkin berfikir kemajuan daerahnya, kemakmuran rakyatnya. Karena bupati tersebut hanya akan disibukkan dengan melakukan korupsi untuk menutup hutang-hutangnya pada seorang cukong. (*)
***
*) Oleh : Moh. Syaeful Bahar, Wakil Ketua PCNU Bondowoso.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |