Kopi TIMES

Paradoksal Deflasi dan Inflasi untuk Perekonomian

Jumat, 18 Oktober 2024 - 17:04 | 45.98k
Muhammad Nur, Pegiat Literasi Keuangan Negara
Muhammad Nur, Pegiat Literasi Keuangan Negara
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, RIAU – Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa Indonesia mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut sejak Mei 2024. Memang besaran deflasi seolah tidak terlalu mengkhawatirkan, mulai 0,03% di Mei, 0,08% di Juni, 0,18 di Juli, 0,03% di Agustus, dan 0,12% di September (umj.ac.id). Fenomena ini mengisyaratkan beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian dan mitigasi resiko dari pemerintah. 

Misalkan saja, turunnya daya beli masyarakat, turun kastanya kelas menengah sehingga mereka “makan tabungan”, hingga ancaman resesi ekonomi di tahun 2025 nanti (finance.detik.com). Di sisi lainnya, inflasi yang terlalu tinggi juga tidak baik bagi perekonomian suatu negara. Paradoksal lalu muncul, mana yang lebih baik, inflasi atau deflasi?

Advertisement

Deflasi dan Dampak Buruknya bagi Perekonomian

Deflasi adalah kondisi dimana harga-harga barang dan jasa di suatu wilayah mengalami penurunan, yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah uang beredar sehingga daya beli masyarakat ikut turun (djpb.kemenkeu.go.id). Di satu sisi, kita bisa melihat seolah-olah bahwa deflasi justru menguntungkan di kala harga barang dan jasa turun maka masyarakat menjadi memiliki kemampuan lebih untuk berbelanja. 

Namun pada faktanya, deflasi yang terjadi selama beberapa waktu berturut-turut justru mengkhawatirkan. Banyak ahli yang berpendapat bahwa turunnya harga barang dan jasa pasti memengaruhi daya beli masyarakat. Keengganan masyarakat untuk berbelanja, untuk mengeluarkan uangnya, dan lebih memilih untuk menyimpan uangnya dapat memengaruhi perputaran atau aktivitas ekonomi di sektor riil. 

Pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah bisa terancam ketika fenomena deflasi seperti saat ini terjadi. Sejarah mencatat, deflasi berturut-turut terakhir kali terjadi ketika pandemic Covid-19 lalu. Pada masa itu hal tersebut dapat dikatakan wajar, karena aktivitas masyarakat memang dibatasi dengan alasan kesehatan. 

Maka, keterbatasan aktivitas ini berdampak pada menurunnya angka pertumbuhan ekonomi, bahkan sampai minus di tahun 2020. Namun demikian, kondisi deflasi saat ini dibarengi dengan fenomena lebih dari 9,8 juta kelas menengah yang dikatakan survei BPS (news.detik.com, 6/9/2024) turun kasta tentu saja mengisyaratkan kekhawatiran pada perspektif ekonomi. 

Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan bisa terancam. Pertumbuhan ekonomi dengan multiplier effect ekonomi yang terjadi dari aktivitas jual-beli di masyarakat bisa terdampak negatif. 

Deflasi yang terjadi secara berturut-turut akan berdampak negatif bagi para pelaku usaha, seperti di sektor makanan, tekstil, dan properti. Hal ini sudah terjadi di Indonesia saat ini, dimana daya beli masyarakat menurun dengan ditandai salah satunya oleh turun kastanya kelas menengah, PHK yang terjadi di banyak perusahaan padat karya baru-baru ini, bahkan upah riil buruh yang juga turun hingga mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir (finance.detik.com). 

Dampak lainnya yang signifikan dari deflasi adalah naiknya angka pengangguran terbuka, lesunya pertumbuhan ekonomi, bahkan bisa sampai menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Maka, pemerintah perlu memikirkan kebijakan yang produktif untuk menanggulangi dampak-dampak negatif deflasi tersebut. 

Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan berperan serta dengan kembali meningkatkan aktivitas belanjanya, berusaha memeroleh tambahan penghasilan, serta jangan tergiur dengan utang berbunga tinggi seperti pinjaman online (pinjol). 

Inflasi Justru Menguntungkan?

Di sisi sebaliknya, dengan bergeliatnya aktivitas ekonomi dalam bentuk transaksi jual-beli di masyarakat, maka terjadi kenaikan jumlah produksi barang dan jasa. Artinya, konsumsi meningkat sehingga permintaan akan barang dan jasa juga meningkat, lalu produsen menambah hasil produksinya, kemudian terjadi distribusi barang yang tentu saja ikut menggerakkan sektor-sektor ekspedisi, transportasi, dan sektor terkait lainnya. 

Segala aktivitas ekonomi pada ilustrasi sederhana tersebut menunjukkan bahwa banyak pihak akan menerima keuntungan dari multiplier effect aktivitas ekonomi yang terjadi. Banyak pihak akhirnya akan menerima margin keuntungan sehingga pada gilirannya juga akan kembali meningkatkan tabungan masyarakat dan investasi baik dalam skala kecil maupun skala besar. 

Dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi, maka potensi akan munculnya perusahaan-perusahaan atau sektor-sektor usaha baru lebih mudah terjadi. Pada konteks inilah terjadi inflasi, dengan ilustrasi sederhana.

Pada konteks inflasi ini, mungkin kita akan beranggapan bahwa ketika harga-harga barang dan jasa naik maka masyarakat akan enggan untuk berbelanja. Masyarakat diduga akan lebih memilih menyimpan uangnya, alih-alih mengeluarkan uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Sebetulnya, pada konteks inflasi justru menguntungkan karena sebagaimana ilustrasi di atas, banyak pihak yang akan mendapat margin keuntungan dari aktivitas ekonomi masyarakat. Asalkan tidak terlalu tinggi, inflasi yang terjadi di suatu wilayah justru memberikan keuntungan pada pertumbuhan ekonomi. 

Kenaikan harga barang dan jasa yang tidak terlalu ekstrem dapat memberikan sinyal bahwa perekonomian bergerak secara positif, seperti halnya ilustrasi di atas.

Jadi, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menanggulangi deflasi beruntun yang terjadi maupun inflasi yang terlalu tinggi. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat, mengutamakan sektor riil, dan bukan kebijakan yang sebatas populis atau politis semata. Sektor-sektor terdampak perlu mendapatkan mitigasi dan respon kebijakan yang tepat. 

Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan tetap aktif melakukan aktivitas perekonomiannya, tidak menahan-nahan belanjanya terlalu lama/terlalu banyak atau cenderung lebih suka menyimpan uangnya, serta tidak mudah tergiur dengan easy money yang ditawarkan oleh pinjaman berbunga tinggi (pinjol). (*)

***

*) Oleh : Muhammad Nur, Pegiat Literasi Keuangan Negara.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES