TIMESINDONESIA, PACITAN – Kecerdasan bukanlah sekadar kemampuan akademis atau teknis; ia meliputi kemampuan untuk memilih apa yang terbaik dan benar dalam konteks hidup yang semakin ndak karuan. Saat ini, fenomena tren viral menjadi budaya anak muda di jagat dunia maya, yang mendorong generasi ini untuk mengutamakan popularitas instan di atas esensi kualitas dan integritas.
Tulisan kali ini cukup serius, karena bertujuan merefleksi kekacauan paradigma berpikir anak muda yang hanya mengedepankan tampilan "otak kosong" dan keinginannya untuk populer tanpa mempertimbangkan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga tulisan ini di baca oleh generasi emas 2045, yang sejak tulisan ini dibuat, kabarnya terus dielu-elukan kelak menjadi pemimpin dan inovator negeri ini.
Advertisement
Tahukah kalian, bahwa di era ini, kalian sedang dihadapkan perangkap berbahaya viralitas konten media sosial?, perangkap yang diam-diam mereduksi esensi kesuksesan hanya di tingkat popularitas sesaat yang menggiurkan. Saya tidak bermaksud mengkritik tren ini sebagai 100% pembodohan, karena toh ada juga beberapa konten kreatif inspiratif yang sempat viral dan bermanfaat, namun sayangnya jumlah tak segila konten hiburan otak kosong.
Kembali ke pokok tulisan, mengingat dampak bahaya yang luar biasa dari tsunami konten "otak kosong". Tulisan ini saya persembahkan untuk mengajak kalian agar meninggalkan keinginan menjadi viral dan sebaliknya fokus mengembangkan intelektual dan emosional yang mendukung terbentuknya keahlian (skill) dan integritas (trust).
Tulisan yang berupaya menggugat akal sehat generasi yang sedang terhipnotis oleh budaya viral, budaya yang lebih menghargai kemampuan "joget-joget" dibandingkan berpikir kreatif dan inovatif. Atas dasar kekhawatiran, jika fenomena ini terus berkembang tanpa intervensi kritis, maka nilai keunggulan bangsa ini semakin tahun akan bergeser, dari kualitas dan integritas ke popularitas semu.
Budaya popularitas yang didapatkan secara instan pasti akan merusak karakter, akal sehat, dan mental bersaing generasi bangsa. Pendidikan yang diupayakan bertahun-tahun melalui berbagai kurikulum yang berganti-ganti, penanaman nilai budaya ketimuran, dan ajaran moral agama lambat laun berpotensi tergusur oleh pola pikir singkat (yang penting viral), sehingga yang dikedepankan hanyalah kemasan yang "waw" di atas substansi yang "nol".
Di tengah kondisi seperti ini, saya setuju bahwa esensi pendidikan seharusnya diarahkan untuk menanamkan daya kritis, kemampuan membedakan yang baik dan benar, serta kemampuan mengambil keputusan yang bijak. Meskipun kita sadar, pembentukan generasi berkarakter harus melalui proses panjang, bukan hasil instant yang hanya mengandalkan viralitas sebagai patokan kesuksesan.
Fenomena yang tidak muncul tanpa adanya sebab. Kehadiran media sosial sebagai ruang publik tanpa batas, telah mengubah banyak perspektif tentang kesuksesan dan masa depan. Ketika seseorang mampu mengumpulkan jutaan pengikut hanya dengan aktivitas membuang akal sehat dan etika, tolak ukur keberhasilan pun bergeser.
Pola pikir bahwa kesuksesan diukur oleh banyaknya interaksi digital ketimbang pencapaian kualitas akal dan kepribadian telah mewabah. Dampaknya, anak muda akan melihat posisi kepemimpinan atau keberhasilan hidup hanya dari aspek permukaan, tanpa memahami bahwa pemimpin yang baik memerlukan kompetensi yang lebih mendalam daripada keterampilan menghibur.
Kritik ini menuntut kita untuk mempertanyakan: bagaimana upaya mencerdaskan generasi bangsa yang berkarakter, bermental tangguh, dan memiliki kesadaran akan akal sehatnya? Dalam menjawabnya, saya mencoba berpikir serius untuk memberikan dua catatan penting yang semoga ada manfaatnya:
Pertama, pendidikan agama maupun umum harus mampu mengakomodasi perubahan teknologi tanpa mengorbankan esensi pembentukan karakter dan akal sehat. Sistem pendidikan apapun, perlu mengutamakan pendekatan yang mengintegrasikan pemahaman terhadap teknologi dengan pengembangan nilai-nilai yang mendalam atas asas manfaat dan resikonya, sehingga mereka tidak hanya mampu memanfaatkan dengan tepat teknologi, tetapi juga memiliki kriteria etika dan moral yang kuat dalam penggunaannya.
Lebih dari itu, kebijakan pendidikan seharusnya tidak hanya mengejar capaian akademik siswa dan akreditasi unggul lembaga, tetapi juga memastikan bahwa akal sehat dan kesadaran kritis terhadap budaya baru dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan kurikulum.
Dengan menanamkan pemahaman bahwa popularitas bukanlah indikator kecerdasan atau keberhasilan hakiki, kita dapat membangun kembali pola pikir yang menghargai proses dan esensi daripada kepopuleran semata.
Kedua, peran orang tua, guru, dan masyarakat juga krusial dalam menciptakan lingkungan yang menghargai nilai ketekunan, kerja keras, dan integritas di atas popularitas. Jika kita ingin menyelamatkan generasi masa depan dari jebakan viralitas (otak kosong), maka pembentukan karakter yang kuat harus dimulai dari rumah, kemudian didukung oleh institusi pendidikan, dan pastinya dikawal oleh kebijakan publik yang menekankan pentingnya moral dan etika.
Membimbing generasi muda pada jalan yang tepat memerlukan kerja keras bersama. Pendidikan dan pengawasan berkesinambungan, baik internal maupun eksternal menjadi pilar utama. Sehingga mereka mampu memilah dan memilih mana yang layak dijadikan tuntunan dan mana yang hanya sekadar tren tontonan.
Semoga kita semua diberikan pertolongan oleh Allah SWT dalam upaya mengingatkan dan menjaga diri, membimbing keluarga dan mencerdaskan generasi bangsa menuju generasi emas 2045.
***
*) Oleh : Zanuar Mubin, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |