Kopi TIMES

Cita-cita Kesejahteraan dan Keadilan Sosial

Minggu, 03 November 2024 - 09:25 | 23.34k
Rizal Abdillah, Pegiat Literasi
Rizal Abdillah, Pegiat Literasi

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat termaktub tujuan dan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia yang berbunyi, "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".

Cita-cita dan tujuan mewujudkan kesejahteraan umum serta keadilan sosial tampaknya menghadapi tantangan besar di era modern ini, salah satunya liberalisasi ekonomi. Sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara tidak langsung menyebabkan berubahnya cara pandang relasi sosial. Sehingga relasi yang terjadi tidak lagi berlandaskan nilai.

Advertisement

Sehingga semuanya dilihat dalam kacamata pasar, semua dikalkulasikan dalam untung rugi atau pragmatisme pasar. Dan secara tidak langsung proses tersebut mengakibatkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Sehingga dapat digaris bawahi bahwa liberalisasi ekonomi menyebabkan pergeseran cara pandang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tentu dalam konteks tersebut, situasi dan kondisi dampak dari liberalisasi ekonomi tentunya sangat tidak diharapkan. Dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan kemerdekaan Republik Indonesia dibutuhkan keberanian dan konsistensi dari pemerintah dalam membuat serta menerapkan kebijakan.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial pemerintahan musti menerapkan setidaknya dua prinsip dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan, akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas sosial. Sehingga pembangunan dan distribusi sumberdaya merata dan dirasakan oleh semua masyarakat.

Mengutip Paul Spicker dalam tulisannya, Social Policy: Themes and Approaches, menyatakan bahwa dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial harus berlandaskan ide dasar yang disepakati dan dipahami bersama. Dan modal ideal untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial antara lain dengan memberikan peran lebih kepada pemerintah dalam melayani rakyatnya.

Dengan begitu, kebijakan yang diambil tidak boleh parsial dan harus universal. Karena kesejahteraan baru akan terwujud bilamana pemerintah fokus dalam menerapkan sistem perlindungan sosial yang melembaga, sebagai representasi dari hak kewarganegaraan. Dengan demikian, semua itu ditujukan untuk menyediakan pelayanan sosial bagi seluruh masyarakat serta mengintegrasikan sumberdaya yang ada demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat secara berkelanjutan.

Dan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang besar selalu bergulat dengan kemiskinan dan ketimpangan. Negara dengan semboyan Gemah Ripah loh Jinawi, namun masih gagap dalam mengeksplorasi sumber daya alam. Sehingga kemiskinan dan ketimpangan selalu menghantui. Namun perlu diapresiasi presentase angka penduduk Indonesia mengalami penurunan sedikit demi sedikit.

Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024 presentase penduduk miskin di Indonesia turun menjadi 9,03 persen atau 25,22 juta orang, turun 0,33 persen atau 0,68 juta orang terhadap Maret 2023, dan turun 0,54 persen atau 1,14 juta orang terhadap September 2022. 

Garis kemiskinan pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp582.932/kapita/bulan (dengan komposisi garis kemiskinan makanan Rp433.906 dan garis kemiskinan bukan makanan Rp149.026). Lalu, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia pada Maret 2024 memiliki 4,78 anggota rumah tangga. Dengan gambaran rata-rata garis kemiskinan rumah tangga sebesar Rp2.786.415/bulan.

Namun perlu diingat bahwa saat ini Indonesia juga tengah menghadapi penurunan angka kelas menengah (kelas menengah adalah mereka yang pengeluarannya berkisar 3,5 sampai 17 kali garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia atau kisaran Rp2.040.262 sampai Rp9.909844). 

Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan pada tahun 2019 jumlah angka kelas menengah mencapai 57,33 juta orang dan tersisa 47,85 juta orang pada tahun 2024, artinya terdapat penurunan sebesar 9,48 juta orang atau 16,5 persen dari tahun 2019. Sehingga dapat dipahami dari penurunan angka kelas menengah sangat rentan sekali munculnya angka kemiskinan baru.

Kebijakan yang kurang efektif dan efisien serta tidak tepat sasaran adalah salah satu alasan utama mengapa Indonesia belum mampu melepaskan diri dari kemiskinan dan ketimpangan. Mengutip pandangan Paul Spicker, kesejahteraan dan keadilan sosial tidak hanya dirancang bagi orang miskin saja, akan tetapi juga dirancang untuk mencegah seseorang menjadi miskin. Sebagai mana amanat tujuan dan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia, Melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. (*)

***

*) Oleh : Rizal Abdillah, Pegiat Literasi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES