
TIMESINDONESIA, LAMONGAN – ”Law is widely viewed as an empty vessel to be filled as desired, and to be manipulated,” Brian Z Tamanaha: 2009.
Ditetapkanya mantan Kabadiklat Kumdil Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar (ZR) sebagai tersangka kasus dugaan suap dalam putusan tingkat kasasi terhadap Gregorius Ronald Tannur, adalah potret penegakan hukum di negara kita. Terdapat ruang gelap transaksi keadilan, oleh para oknum penegak hukum, semakin memperjelas wajah penegakan hukum di negara kita.
Advertisement
Hakikatnya, eksistensi hukum diformulasikan oleh badan pembuat hukum, merupakan instrumen untuk melahirkan, keadilan, kepastian hukum dan ketertiban (order). Idealisme hukum dan penerapannya adalah adanya keniscayaan konsistensi antara tujuan hukum secara tekstual dan dalam praktik.
Apabila hukum tidak pernah dilaksanakan sebagaimana harusnya, maka hukum akan tereduksi maknanya untuk disebut konsisten dengan pengertian hukum, karena yang tertulis dalam hukum, yang berisikan kaidah-kaidah dan norma-norma meniscayakan untuk digerakkan oleh orang-orang (penegak hukum) yang memiliki integritas, sehingga norma dan kaidah dimaksud menjadi implementatif, serta produktif melahirkan keadilan dan kemanfaatan publik.
Hukum dalam wujudnya sebagai peraturan (secara teks), jelas tidak secara otomatis dapat melakukan tujuan hukum. Dari sinilah masuknya peranan para penegak hukum, yang tidak lain adalah manusia-manusia, yang memiliki posisi strategis dalam mewujudkan fungsi dan peranan hukum dalam konteks keadilan subtansial.
Kehadiran manusia di samping hukum, turut memberi corak pada hukum itu sendiri. Sehingga aspek sikap dan perilaku manusia (Human attitude) merupakan variabel penting dalam menentukan efek dan corak yang timbul dari pemberlakuan hukum.
Fenomena hukum dan penegakkannya hari ini justru menunjukan sebuah potret yang memprihatinkan, menyedihkan dan sangat ironis, tidak sebagaimana yang diharapkan. Hukum yang diharapkan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang kongkritnya bahwa dengan hukum diharapkan tercipta keadilan dan kesejahteraan, tapi dalam kenyataannya apa yang menjadi harapan hanyalah tinggal harapan.
Setiap peristiwa hukum yang telah dipertontonkan kepada rakyat, adalah pertunjukan penegakan hukum yang menyedihkan. Hal tersebut semakin mempertegas statement Brian Z Tamanaha, bahwa hukum itu laksana “empty vessel” (bejana kosong) diisi dengan harapan-harapan dan manipulasi.
Hukum sering hanya diposisikan sebagai instrumen legal untuk memenuhi kepuasan orang-orang yang berkepentingan. Tanpa diupayakan bagaimana subtansi dari instrumen legal tersebut, memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Fenomena praktik hukum akhir-akhir ini, apabila direnungkan secara mendalam akan melahirkan pertanyaan mendasar, untuk siapa sebenarnya hukum?. Apabila hukum dalam praktiknya absen untuk memberikan perlindungan kepada rakyat, dikuatirkan rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada hukum itu sendiri.
Kondisi rendahnya kepercayaan publik akan hukum, dipastikan akan melahirkan hukum baru, yaitu hukum yang didasarkan kepada asumsi kelompok-kelompok yang ada di masyarakat (street justice), yang menurut kelompoknya bisa menghadirkan rasa keadilan.
Keadaan demikian menuntut untuk diwaspadai oleh pengambil kebijakan, dengan cara mengembalikan lagi posisi hukum kepada khittohnya, yaitu ditegakkan bukan atas dasar pesanan tapi atas dasar kemaslahatan masyarakat serta demi rasa keadilan.
Kejadian demi kejadian yang mengharuskan hukum adalah bagian penting dari kejadian tersebut, karena diharapkan bisa menjadi instrument dalam memberikan solusi yang berkeadilan, akan tetapi praktik hukum memberikan catatan yang tidak menggembirakan kepada para pencari keadilan. Untuk itu, sangat diperlukan adanya intropeksi dalam berbangsa dan bernegara.
Ironi Negara Hukum
Klaim sebagai Negara hukum menjadi tidak bermakna, ketika Negara itu sendiri sering menampilkan “abuse of power” pada semua aspek kekuasaan Negara. Bahkan ironisnya penyimpangan kekuasaan terjadi pada wilayah hukum, yang idealnya adalah di garda depan dalam penegakan hukum. Dus, apalah arti Negara hukum, jika tidak berbanding lurus dengan penegakkan hukum yang seharusnya (Gab between das sollen and das sein).
Penyimpangan dalam proses penegakkan hukum, justru akan mengurangi kadar kualitas negara hukum sendiri. Kualitas penegakkan hukum secara tidak langsung akan mempertegas eksistensi dari negara untuk disebut sebagai negara hukum.
Dalam setiap kasus hukum, di mana yang terlibat adalah orang-orang yang memiliki akses pada kekuasaan, maka akan memperlihatkan betapa hukum terkesan tidak berdaya dan serta lumpuh.
Hukum yang diimajinasikan sebagai “sabda” yang keluar dari statemen orang bijak, arif dan penuh wibawa, berubah bentuk menjadi kata-kata biasa keluar dari mulut orang biasa. Hukum hanya akan menjadi obrolan di warung kopi, bahan diskusi dan seminar. Hukum hanya sebatas sebagai pelengkap dan pemanis untuk disebut sebagai Negara hukum.
Ketika Negara ini dioperasionalkan dengan pendekatan kekuasaan dan kekuatan, maka keberpihakan kepada yang lemah menjadi absent. Hukum dalam suasana demikian, hanyalah label atau merk. Bekerjanya hukum sebatas untuk memenuhi dan melayani kepentingan siapa yang berperan dominan dalam kekuasaan tersebut. Senada dengan apa yang dinyatakan Donald Black bahwa “Law is notorious for giving advantages to the haves against the have-not(Donald Black: 1989).
Peristiwa demi peristiwa dari kasus hukum di negara yang mengeklaim sebagai negara hukum ini, mempertegas bahwa telah terjadi anomali negara hukum, hukum dioperasionalkan hanya untuk memberi keuntungan dan melayani kepentingan ”the have”.
Lebih ekstrim bahwa hukum bisa diperjualbelikan kepada siapa yang mau membeli dengan harga tinggi. Faktor dominan yang menjadikan hukum menjadi abnormal, adalah karena hukum tersebut digerakkan oleh orang-orang yang tidak memiliki integritas moral dan spiritual.
Membiarkan kondisi negara hukum dalam kondisi sakit, sama halnya dengan menyerahkan eksistensi negara hukum pada ujung kematian hukum. Artinya negara ini akan digerakkan oleh kekuasaan, bukan oleh rule of law. Upaya penyehatan hukum adalah meniscayakan, agar hukum di negara ini memiliki supremasi. Upaya menyehatkan hukum yang menjadi prioritas utama adalah bagaimana menyehatkan para penegak hukum dari penyakit ”sering memperdagangkan hukum” (law trade).
Memperbincangkan penyembuhan penyakit penegak hukum pada dasarnya adalah upaya recovery negara hukum. Hukum bisa tegak, hanya ditegakkan oleh orang-orang yang sehat secara moral dan spiritual. Integritas moral dan spiritual pada diri penegak hukum adalah syarat utama dalam mengoperasionalkan hukum.
Menyerahkan hukum pada orang yang cacat secara moral dan spiritual sama halnya dengan membiarkan hukum di negara hukum ini menjadi hukum yang mati dan abnormal. Hukum hanya akan menjadi pasal-pasal indah dalam kodifikasi, yang tercerabut dari ruhnya, atau bagaikan pusaka yang sudah kehilangan daya kesaktiannya, hanya menyisakan kerangkanya.
Negara hukum formalitas dan negara hukum subtansial, pembedanya terletak pada apakah hukum suatu negara ditegakkan dalam rangka menciptakan keadilan atau ditegakkan dalam rangka memenuhi atau melayani kebutuhan kekuasaan. Untuk mengembalikan menjadi negara hukum subtansial, paradigma pembangunan manusia secara komprehensif (intelektual, spiritual dan moral) adalah prioritas utama.
Hiruk pikuk penyelenggara negara ini, dalam mempersiapkan reformasi hukum (masih sebatas diskursus) menjadi tidak bermakna sedikitpun manakala anomali hukum dalam penegakannya masih problematik. Agenda mendesak dalam menormalkan hukum agar tetap berada pada khitohnya, adalah dengan melakukan reformasi sistem hukum secara komprehensif.
Kemudian yang paling mendesak untuk dilakukan reformasi adalah mental penegak hukum, karena posisinya sangat strategis dalam menggerakkan hukum, ke arah mana hukum dioperasionalkan. Materi hukum yang elok dan indah terkesan memberikan harapan besar terhadap perlindungan publik, akan berbelok arah hanya karena penegak hukumnya yang sejak awal menghendaki hukum sebagai instrument untuk memberikan keuntungan secara pribadi. (*)
***
*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |