Kopi TIMES

Potensi Miskomunikasi Politik Prabowo-Gibran dalam Kepemimpinan Nasional

Jumat, 08 November 2024 - 09:55 | 64.27k
Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik dan Kepala Gerakan Bersama Antikorupsi Universitas Negeri Padang
Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik dan Kepala Gerakan Bersama Antikorupsi Universitas Negeri Padang

TIMESINDONESIA, PADANG – Setelah dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, duet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah memasuki panggung politik dengan segala dinamika dan tantangannya. Ditilik dari perspektif komunikasi politik, di balik harapan akan keselarasan dalam kepemimpinan, ada potensi besar miskomunikasi antara kedua pemimpin teratas di negeri ini yang bisa mengancam efektivitas pemerintahan. 

Dari data identitas diri, keduanya berasal dari generasi yang sangat berbeda. Prabowo, seorang eksponen generasi baby boomers yang penuh pengalaman politik dan militer. Sementara Gibran, seorang eksponen generasi milenial. Perbedaan generasi ini sejatinya tidak hanya sebatas soal usia, tetapi juga penguasaan nilai-nilai, cara berkomunikasi, dan karakteristik berkomunikasi, yang kesemuanya berpengaruh kepada gaya kepemimpinan mereka. 

Advertisement

Dalam artikel ini, kita akan coba menganalisis potensi miskomunikasi yang mungkin terjadi di antara keduanya, serta dampaknya terhadap stabilitas pemerintahan secara umum. 

Perspektif Jurang Generasi

Perbedaan paling mencolok antara Prabowo dan Gibran tentu saja adalah latar belakang waktu kelahiran di antara mereka. Prabowo adalah seorang baby boomer, yang tumbuh di tengah ketegangan politik era Orde Baru dan berkarier dalam dunia militer. 

Gaya komunikasinya sering kali mencerminkan sikap otoriter dan tegas, dengan banyak sekali elemen retorika yang berfokus pada nasionalisme, ketahanan negara, dan semangat patriotisme. Dalam setiap pidatonya, Prabowo menunjukkan karakter seorang pemimpin yang kuat, dengan nada yang penuh keyakinan dan kadang-kadang keras dalam menyerang oposisi.

Sebaliknya, Gibran, yang lahir pada akhir era Orde Baru dan dibesarkan dalam budaya pasca-reformasi, berkomunikasi dengan cara yang lebih terbuka, berbasis data, dan lebih mengedepankan pendekatan khas milenial. Sebagai seorang milenial, Gibran cenderung lebih santai dan tidak terbebani dengan gaya komunikasi yang kaku. Ia lebih akrab dengan teknologi digital dan media sosial, yang membuatnya lebih dekat dengan generasi muda, yang mengutamakan transparansi, dialog, dan keterbukaan.

Potensi Miskomunikasi

Perbedaan berbasiskan tahun kelahiran sudah jelas berpotensi menciptakan celah miskomunikasi yang lebar. Prabowo mungkin melihat gaya komunikasi Gibran yang lebih fleksibel dan informal sebagai kurang serius, kurang berwibawa atau bahkan kurang “beretika”. 

Sebaliknya, Gibran bisa merasa terhambat dengan pendekatan otoriter Prabowo yang lebih tradisional, terutama jika kebijakan atau arahan yang diberikan terlalu menekankan pada hirarki dan komando. Ini bisa menimbulkan ketegangan, apalagi jika keduanya tidak berhasil menyelaraskan cara berkomunikasi yang sesuai dengan kepentingan dan dinamika situasi.

Potensi miskomunikasi kedua terletak pada kesepahaman antara presiden dan wakil presiden, terutama dalam hal pengambilan keputusan dan eksekusi kebijakan. Prabowo, yang dikenal sebagai seorang yang suka mengambil keputusan tegas, mungkin lebih condong pada pendekatan "top-down" dalam memimpin. 

Gibran, di sisi lain, sebagai seorang yang lebih mengedepankan pendekatan partisipatif, cenderung lebih mengutamakan dialog dan pendapat dari berbagai pihak sebelum membuat keputusan. Ini relevan dengan karakteristik generasi milenial yang lebih memilih cara penyampaian pesan yang “bottom-up” dan cenderung anti kepada indoktrinasi.

Jika Gibran merasa tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan ide atau pandangannya dalam pengambilan keputusan, atau jika Prabowo merasa bahwa Gibran tidak cukup cepat atau tegas dalam mengeksekusi kebijakan, ini bisa menimbulkan ketegangan yang merugikan keduanya. 

Misalnya, dalam hal penanganan isu-isu penting yang memerlukan keputusan cepat, seperti penanggulangan bencana atau krisis ekonomi, pola komunikasi yang berbeda bisa memperlambat respons yang seharusnya cepat dan efektif. Miskomunikasi ini bisa menurunkan efisiensi dan efektivitas pengambilan kebijakan. 

Berikutnya, potensi miskomunikasi ketiga, terletak pada perbedaan prioritas antara Prabowo dan Gibran. Prabowo, dengan latar belakangnya yang kuat dalam bidang pertahanan dan keamanan, mungkin lebih fokus pada isu-isu ketahanan nasional, seperti memperkuat militer, menjaga stabilitas politik, dan memperjuangkan kedaulatan negara. 

Di sisi lain, Gibran yang lebih berfokus pada isu sosial-ekonomi dan pelayanan publik, terutama di bidang digitalisasi dan reformasi birokrasi, mungkin menganggap fokus Prabowo terlalu sempit atau terlalu berat sebelah pada aspek pertahanan.

Selanjutnya, potensi miskomunikasi keempat, sejatinya adalah semacam eskalasi dari miskomunikasi pertama-ketiga. Ketika kedua pemimpin ini tidak dapat menyatukan visi mereka dalam menetapkan prioritas kebijakan, bisa timbul kebingungan atau bahkan kontradiksi dalam tindakan pemerintahan. 

Gibran bisa merasa bahwa terlalu banyak sumber daya dialokasikan untuk sektor pertahanan, sementara Prabowo bisa melihat Gibran terlalu fokus pada aspek administratif yang lebih teknis tanpa memberi perhatian lebih pada stabilitas negara yang lebih fundamental. 

Ketidaksepahaman ini secara internal berpotensi menyulut ketidakharmonisan yang semakin kronis dalam lanskap komunikasi politik presiden-wakil presiden. Sementara di tataran eksternal, berpotensi memperburuk citra pemerintah di mata publik yang akan merasakan secara langsung atau tidak langsung miskomunikasi dalam eksekusi kebijakan.

Berikutnya, pola komunikasi publik dari Prabowo dan Gibran juga berpotensi menimbulkan miskomunikasi yang signifikan. Prabowo cenderung menggunakan gaya komunikasi yang lebih emosional dan simbolik, sering kali dengan retorika keras yang mengangkat isu-isu besar seperti nasionalisme dan kedaulatan. Ia lebih memilih berbicara langsung kepada publik dalam format pidato yang membangkitkan semangat perjuangan.

Di sisi lain, Gibran, meskipun belum terlalu jelas seperti apa pendekatan komunikasinya, diperkirakan akan lebih pragmatis, lebih sering fokus pada hal-hal yang tidak terlalu substantif. Konsekuensinya, ia (akan) lebih suka berbicara melalui bahasa yang lebih sederhana, dan kadang menggunakan platform media sosial untuk berkomunikasi langsung atau membangun citra di hadapan publik. Ini tidak beda jauh dengan pola komunikasi ayahnya, Jokowi yang pernah memimpin negeri ini.

Terjebak dalam Miskomunikasi?

Ringkasnya, Perbedaan generasi antara Prabowo dan Gibran menyimpan potensi miskomunikasi yang besar, namun bukan hal yang mustahil untuk diatasi. Dengan kesepahaman yang jelas tentang peran dan komunikasi yang saling melengkapi, keduanya bisa membangun sinergi yang produktif. Namun, jika perbedaan gaya komunikasi ini tidak dikelola dengan baik, bisa berisiko menimbulkan ketegangan internal yang merusak stabilitas pemerintahan.

Penting bagi Prabowo dan Gibran untuk menyadari bahwa meskipun mereka berasal dari latar belakang yang sangat berbeda, mereka memimpin sebuah negara dengan pluralitas dan dinamika yang sangat tinggi. Oleh karena itu, adalah hal mendesak bagi keduanya untuk berkomunikasi secara lebih terbuka dan secara legowo menepis sekat dan perbedaan, baik dalam konteks pemerintahan maupun dalam konteks relasi dengan publik. 

Jika hal ini tidak tercapai, potensi miskomunikasi yang ada bisa mengancam kredibilitas dan keberlanjutan kepemimpinan mereka sebagai duet presiden-wakil presiden Indonesia.  Pola komunikasi politik yang buruk dari puncak kekuasaan dikhawatirkan akan mewarnai pola komunikasi politik di level bawah. (*)

***

*) Oleh: Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik dan Kepala Gerakan Bersama Antikorupsi Universitas Negeri Padang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES