TIMESINDONESIA, MALANG – Saat ini, banyak makanan dan minuman olahan dengan mudah dibeli dengan harga yang murah. Konsumen menginginkan produk makanan dan minuman dengan rasa enak dan harga murah. Produsen dengan dengan senang hati dan bersemangat menyediakannya.
Kondisi seperti ini sulit diputus. Bagaiamana tidak, di tengah daya beli masyarakat yang semakin menurun, produsen berusaha menekan biaya produksi serendah mungkin sehingga harga jual bisa murah. Masyarakat Indonesia umumnya menyukai produk-produk dengan harga yang murah.
Advertisement
Hampir semua produk olahan pangan tidak lepas dari bahan tambahan pangan, baik yang diproduksi oleh pabrik (besar) maupun oleh industry rumah tangga atau perorangan. Bahan tersebut sebagai pengawet, pewarna, perisa, pemanis, penguat rasa, mengeraskan, mengenyalkan, atau mengentalkan produk, dll. Semua bahan tambahan pangan tersebut pada dasarnya adalah bahan asing bagi tubuh manusia.
Bahan tambahan pangan (BTP) yang masuk ke dalam tubuh, akan diurai (didegradasi) melalui proses metabolisme agar tidak berbahaya bagi kesehatan. Hasil degradasi akan dikeluarkan oleh tubuh melalui urin, feses atau keringat. Oleh karena itu, penggunaan bahan tersebut dibatasi jenis dan jumlahnya. Jika digunakan sesuai dengan aturan, maka tubuh masih mampu untuk melakukan proses degradasi untuk dikeluarkan. Tetapi jika melebihi dosis, maka akan terakumilasi dalam tubuh dan dalam jangka panjang akan menimbulkan penyakit.
Food aditif ada 2 jenis yaitu yang alami dan buatan (sintetik). Food aditif alami diperoleh dari tanaman atau hewan seperti daun suji (warna hijau), kunyit (warna kuning), bawang putih (rasa gurih), kuning telur (pelembut es krim), daun pandan (bau) empon-empon (pengawet, rasa, bau) dan masih banyak yang lainnya.
Sedangkan food aditif sintetik diperoleh dari bahan kimia atau proses fermentasi oleh mikroorganisme. Beberapa food aditif yang sering digunakan antara lain MSG / vitsin (penguat rasa gurih), pewarna, essens (bau apel, nanas, strawberri, jeruk dan lain-lain), benzoat (pengawet), CMC, (pengental), Na-bikarbonat (pengembang), siklamat, sakarin (pemanis) dan lain-lain.
Food aditif sintetik lebih disukai produsen karena harganya murah, mudah didapat, dan stabil dalam penggunaanya. Bahan ini tidak mudah berubah atau hilang selama proses pengolahan atau penyimpanan (selama pemasaran). Food aditif sintetik boleh digunakan dengan dosis yang ditentukan. Tetapi juga ada yang dilarang sama sekali meskipun dalam jumlah sedikit seperti formalin, boraks, pewarna tekstil, dll.
Oleh karena itu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengatur jenis dan batas penggunaannya food aditif atau Bahan Tambahan Pangan dalam bahan makanan dan minuman. Hal itu tertuang dalam Peraturan BPOM No. 11 tahun 2019.
Tetapi kenyataan di lapanagn, penggunaan bahan tambahan pangan tidak sedikit yang melanggar aturan. Mulai dari jenisnya maupun dosisnya. Pengawet berupa formalin dan boraks masih banyak ditemui dalam produk makanan olahan seperti bakso, kerupuk, ikan asin/segar. Pewarna rhodamin B (pewarna tektil) juga masih banyak ditemukan dalam makanan seperti kue, kerupuk. Food aditif tersebut da;pat menyebabkan kerusakan sel pada organ-organ manusia.
Hasil penelitian menemukan bahwa ikan dan udang segar di pasar minggu Jakarta positif mengandung formalin sebesar 888,32 ug/g. Sedangkan dalam udang segar sebesar 1013,30 ug/g (Wicaksono, 2011). Penelitian juga dilakukan pada 39 sample ikan segar di pasar pagi Lawe Bulan Kutacane Kecamatan Babusalam Kabupaten Aceh Tenggara. Hasilnya, 25 sampel ikan positif mengandung formalin. Sample ikan yang diperiksa adalah ikan tongkol dengan kadar yang dimiliki 0,90 mg/kg dan ikan gembung dengan kadar yang sama yaitu 0,90 mg/kg. Ikan ini merupakan ikan yang sangat diminati oleh masyarakat Kutacane (Harahap, 2019),
Dewi, dkk (2023), melakukan penelitian di Pasar Tradisional Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. Hasilnya menunjukkan bahwa ditemukan 1 sampel dari 5 sampel olahan ikan Sardinella lemuru positif mengandung formalin. Setyowati, dkk, (2020) juga melakukan penelitian di pasar ikan di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Hasilnya bahwa ikan mengandung formalin sebesar 4,54 mg/l.
Selain formalin, borak juga sering digunakan dalam pangan olahan sebagai pengawet dan pengenyal. Hasil penelitian Nurlailia, dkk (2021) menunjukkan bahwa dari 15 sampel makanan yang dijual di wilayah Kota Banyuwangi sebanyak 10 sampel (66,7%) yaitu pada 5 sampel pentol, 3 sampel bakso serta satu sampel kerupuk dan tahu walik posifit mengandung boraks.
BPOM Surabaya, mengambil 37 sampel bahan makanan di Pasar Singosari Malamg Jawa Timur. Hasilnya ditemukan 23 sampel bahan makanan yang boraks, rhodamine (pewrna tekstil) serta formalin.
Boraks banyak digunakan untuk membuat kerupuk menjadi renyah (kerupuk puli), mie dan bakso menjadi kenyal dan awet. Krupuk yang mengandung boraks, ketika dimakan bisa renyah dan rasa getir-getir. Kalau formalin, itu di ikan cumi kering, teri medan sama ikan jabal roti yang tebel.
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) juga tidak luput dari penggunaan formalin dan boraks. Hasil penelitian Wariyah dan Dewi (2013) menemukan bahwa PJAS yang beredar di Sekolah Dasar di kabupaten Kulon Progo mengandung boraks ada 3% sampel (cilok, sosis, kerupuk rambak) dan formalin 1% sampel pada burjo dan cimol.
Disamping itu, PJAS tersebut juga mengandung bahan tambahan pangan dengan dosis tidak memenuhi Syarat (TMS) atau melebihi dosis yang diijinkan. Terdapat 4% sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dengan pengawet sodium benzoat dan asam sorbat TMS dan pemanis sodium siklamat 8% sampel.
PJAS di sekolah Kelompok Bermain (KB) Az Zahra Sidoarjo Jawa Timur. Terdapat satu jajanan yang mengandung siklamat dengan kadar 218,75 ppm. Responden yang paling banyak mengalami keluhan kesehatan adalah responden yang selalu mengonsumsi jajanan. Keluhan kesehatan yang paling banyak dialami yaitu batuk. (Hadiana, 2018).
Penelitian tentang pangan jajanan di SD Kompleks Lariangbangi, Makassar masih terdapat pemanis buatan jenis siklamat. Dari enam sampel yang dianalisis dua diantaranya positif mengandung pemanis sintetis siklamat yaitu masing-masing sebesar 181,04 mg/kg dan 543,123 mg/kg (Thamrin, et al 2014). Batas maksimal penggunaan siklamat sebesar 11 mg/kg berat badan.
Pemakaian pewarna rhodamine juga ditemukan dalam makanan. Penelitian di Kota Jambi oleh Hadriyati (2021) menemukan sebanyak 8 sampel kue bolu kukus, 3 sampel diantaranya positif mengandung pewarna Rhodamin B.
Melihat uraian di atas, maka kondisi kemamanan pangan kita sangat mengkhawatirkan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan, lebih dari 99% anak sekolah mengonsumsi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) untuk memenuhi kebutuhan energinya saat berada di sekolah (Kominfo, 2014).
Kondisi tersebut di atas menjadi tanggung jawab kita. Ini memerlukan penangan yang serius dan komprehensip karena saling terkait dari beberapa unsur yaitu produsen, konsumen, lembaga pendidikan (SD sampai Perguruan Tinggi), pemerintah (Pemberi Ijin industri makanan/minuman, Penegah Hukum), pedagang food aditif dan lain-lain.
Untuk manangani masalah tersebut bisa dari dua pendekatan yaitu (1) Pendekatan dari Produsen dan (2) Pendekatan dari Konsumen. Pendekatan dari produsen bisa dilakukan melalui beberapa cara yaitu: (a) Pembinaan oleh BPOM kepada produsen pangan (industry besar maupun rumah tangga) untuk menggunakan food aditif dengan benar. (b) Perlu melibatkan tokoh agama untuk memberikan pemahaman kepada produsen bahwa penggunaan bahan tambahan yang membahayakan kesehatan merupakan tindakan yang dilarang oleh agama. (c) Perlunya pendekatan secara hukum positif bahwa penggunaan bahan tambahan yang berbahaya merupakan pelanggaran hukum yang termasuk Tindakan pidana yang bisa diproses secara hukum (Undang Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, pasal 136). (d) Upaya pemanfaatan food aditif alami yang tidak berbahaya bagi kesehatan.
Untuk menerapkan Undang-undang No. 18 tahun 2012 Ntentang pangan, perlu sosialisasi kepada seluruh produsen makanan/minuman dan penegak hukum mengenai Undang-undang tersebut. Selanjutnya perlu disiapkan seluruh perangkat yang berkaitan untuk penerapannya.
Pendekatan dari pihak konsumen bisa dilakukan melalui bebarap cara yaitu (1) pendidikan bagi keluarga (orang tua dan anak) tentang bahaya food aditif bagi kesehatan. (2) Pendekatan melalui sekolah, bisa melalui pendidikan formal mulai TK hingga Perguruan Tinggi. Jika perlu harus ada materi tentang kemanan pangan yang dimasukkan dalam kurikulum di sekolah maupun Pendidikan tinggi.
Orang tua di rumah dan para pembantu rumah tangga sangat berperan karena merekalah yang membelikan jajanan ketika mereka di rumah. Guru atau dosen sebagai pendidik juga merupakan ujung tumbak dari upoaya ini. Perlu pemahaman dan pengenalan jenis-jenis makanan yang mengandung food aditif dan makanan yang tidak mengandung food aditif. Bahan pangan apa saja yang sering menggunakan food aditif yang dilarang.
Mudah-mudahan dengan niat yang tulus dan usaha yang gigih dari semua pihak, generasi penerus kita bisa menjadi generasi yang sehat fisik dan mental.
***
*) Oleh: Prof. Dr. Ir. Moh Su'i, MP., Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Widya Gama Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |