TIMESINDONESIA, LOMBOK – Kampanye sebagai salah satu tahapan krusial dalam setiap momentum Pemilu atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pada Pilkada serentak tahun 2024, pergelaran kampanye dimulai sejak 25 September dan berakhir pada 23 November mendatang atau tiga hari sebelum hari pemungutan suara (masa tenang). Hal ini sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Di Lombok Utara NTB, proses demi proses tahapan Pilkada telah dilalui oleh kontestan untuk memperebutkan hati pemilih hingga hari pemungutan suara pada 27 Nopember mendatang. Sejak awal hingga berakhirnya masa kampanye, ketiga pasangan calon yang bertarung beserta tim masing-masing akan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkan waktu memengaruhi pemilih. Segenap daya dan upaya pun akan dikerahkan baik materi maupun immateri untuk mendulang dukungan elektoral pemilih.
Advertisement
Pada masa kampanye Pilkada kali ini, realita saling serang antar kubu pasangan calon yang bertarung tidak terelakkan terjadi. Konon, hal ini hanya riak-riak kecil dinamika pesta Pilkada menuju kematangan berdemokrasi masa depan.
Di tengah hiruk pikuk dinamika Pilkada Lombok Utara, menarik dicermati sisi "pesan" komunikasi politik dari ketiga kubu pasangan calon bupati dan wakil bupati yang adu jajal memperebutkan kursi Lombok Utara Satu. Pesan yang penulis maksudkan dalam konteks ini adalah "pesan empatik", atau penulis istilahkan dengan "pesan empati" komunikasi politik.
Lalu mengemuka pertanyaan cukup menggelitik, bagaimana pertarungan pesan empati para politikus dari ketiga Paslon Bupati dan Wakil Bupati guna meraup suara pemilih selama masa kampanye Pilkada berlangsung? Menemukan jawaban pertanyaan ini, ada baiknya kita flash back sejarah kemunculan teori empati dan urgensinya dalam kehidupan masyarakat, terutama pada ranah demokrasi, dalam hal ini Pemilu atau Pilkada.
Menilik sejarahnya, teori empati dikembangkan oleh Berlo (1960) dan Daniel Larner (1978), dikenal dengan theory influence theory of empathy (teori penurunan dari penempatan diri ke dalam diri orang lain), atau diartikan komunikasi mengendalikan. Teori ini televan ditautkan pada orang dalam posisi komunikator.
Anwar Arifin (2003) berpandangan bahwa dalam dunia politik, jika teori empati digunakan dalam aktivitas-aktivitas politis, disebut komunikasi politik yang manusiawi, karena aplikasinya dilakukan secara dialogis. Ada banyak sekali definisi empati.
Namun simpelnya, proses itu tertuju pada proses di mana seseorang memiliki kemampuan untuk memahami-dengan cara seolah-olah mengalami sendiri-perasaan, pikiran atau sikap orang. Dengan lain perkataan, kemampuan seseorang untuk merasakan sesuatu yang dirasakan orang lain, (Nurudin, 2020).
Jika empati dilekatkan pada komunikasi yang dilakukan oleh komunikator politik dalam kontestasi Pilkada, bisa dikatakan kemampuan seorang politisi untuk “menjadi” orang lain. Seorang politisi berusaha melibatkan dirinya pada apa yang terjadi pada masyarakat (pemilih). Ia berusaha menyelami perasaan, pikiran, dan perilaku yang dilakukan masyarakat wajib pilih.
Dalam agama Islam, komunikasi empati ini terang diuraikan dalam hadits Nabi SAW, berikut “Dari Abi Musa r.a. dia berkata, Rasulullah SAW, bersabda, Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan," (HR. Bukhari).
Hadits ini secara tidak langsung mengajarkan kepada kita agar mampu merasakan apa yang dirasakan orang mukmin yang lain. Praktisnya, apabila seseorang sakit, kita pun merasa sakit. Pun sebaliknya, apabila seseorang gembira, kita pun merasa gembira.
Dalam suasana Pilkada Lombok Utara hari ini, publik dapat menyaksikan narasi-narasi tidak asing terdengar di telinga warga, seperti kita butuh pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat, pemimpin Lombok Utara ke depan bukan dari golongan itu-itu saja, kita butuh pemimpin yang sehat bukan yang sakit-sakitan, Lombok Utara memutus dinasti politik, dan ungkapan serupa lainnya.
Fenomena sumir ini bukan hanya diperdengarkan secara langsung kepada masyarakat, tetapi dapat disaksikan pula oleh ribuan warganet, seperti di beranda facebook, twitter, youtube, dan kanal digital lainnya. Bejibun dan terus menerus berseliweran memadati jagad maya dengan ekspresi komunikasi verbal saling menjatuhkan.
Realitas di atas memperlihatkan betapa tidak mudahnya para politikus kampanye dengan cara-cara yang elegan untuk teriptanya pesan-pesan empati komunikasi politik dalam momentum Pilkada. Apalagi kita berbicara penyeragaman pesan empati sangat sukar sekali. Namun justru yang terjadi sebaliknya, politikus kontestan Pilkada Lombok Utara kali ini membuat narasi-narasi yang jauh dari empati dalam aktivitas politik mereka seperti saat debat calon.
Jamak di antara tiga peserta debat ada paslon dengan suara lantang melontarkan narasi-narasi pertanyaan dan tanggapan yang sangat pedas dan menyakitkan kepada peserta debat lainnya. Fakta sumir mirip arena sabung ayam tersebut ditonton oleh ribuan orang yang menyaksikan debat baik melalui TV maupun medsos.
Kalau kita mau jujur, narasi-narasi kampanye yang nir-elegan dalam debat paslon tersebut justru semakin menjauhkan dari dukungan para pemilih. Pasalnya, karakter masyarakat Lombok Utara itu adem ayem, lebih menyukai kata-kata yang menyejukkan jiwa. Sebaliknya, tidak suka tindakan-tindakan frontal, tidak suka kekerasan, dan ungkapan-ungkapan satir.
Karena itu, jika pasangan calon dan tim suksesnya ingin meraup suara pemilih sebanyak-banyaknya, maka perlu menggunakan cara-cara elegan dalam melakukan kampanye baik kampanye dalam skala terbatas maupun kampanye kolosal yang mengundang konsentrasi massa dalam jumlah sebanyak-banyaknya.
Calon dan tim sukses dari ketiga kontestan Pilkada perlu melakukan refleksi bersama, apakah pesan mereka efektif mengerek elektoral atau tidak dari pemilih. Kalau ya, maka pesan kampanye mereka tergolong pesan-pesan yang empatik. Perlu juga merefleksi sisi-sisi tertentu, misalnya mungkin selama aktivitas memengaruhi masyarakat ada ungkapan pernyataan atau pertanyaan yang mudah diucapkan namun sulit untuk wujud nyatakan dalam kenyataan empiris sehari-hari.
Itulah kiranya, dalam artikel ini hemat penulis, pentingnya para politikus terutama pasangan calon bupati dan wakil bupati yang adu jajal dalam kontestasi Pilkada 2024 perlu menghadirkan pesan-pesan empatik di samping penggunaan strategi-strategi lain untuk dapat mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya.
Tiadanya kepekaan para politikus memilih narasi-narasi pesan empati dalam aktivitas Pemilu atau Pilkada hanya akan membuka luka kronis dan menganga lebar bagi diri politikus itu sendiri.
Dus, retorika politikus dengan produk pesan-pesan sarkasme berbalur tindakan saling menjatuhkan antar elite hanya akan mewariskan awan gelap kepada generasi mendatang. (*)
***
*) Oleh : Sarjono S.I.Kom, M.Sos, Wakil Ketua IKA PMII Lombok Utara.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |